Masukan nama pengguna
Sumur Setan
"Sumur setan, sumur setan, gemanya tak teredam. Sumur setan, sumur setan, mencari anak nakal."
Lin, kau sehat? Hari ini aku baru saja menyelesaikan cerpen realisme magis pertamaku. Aku kirimkan ini untuk engkau baca lebih awal. Hidupku terlalu miskin lagi papa sehingga tidak banyak pemberian yang dapat kuberikan di hari pentingmu ini. Hari pertama kali kau melongok menatap dunia dengan terisak-isak karena ketidaktahuanmu akan hakikat dunia yang fana. Tetapi aku yakin, sudah lama sekali kau pasti berhenti menangis macam itu, kau pasti tidak lagi merengek-rengek sebebas hari itu, dan memang sebaiknya kau tidak perlu lagi membuang-buang air matamu hanya untuk hal yang tidak perlu. Air mata terlalu berharga untuk persoalan remeh, sahabatku. Apa yang kurang dari hidupmu, duhai Lin yang manis? Kau menghadapi dunia yang lunak dan lemah lembut padamu. Sementara aku tidak, aku adalah anak tiri dunia yang terus-terusan diinjak-injak kemalangan. Berkali-kali aku berdiri dan bangkit melawan, berkali-kali pula aku dijatuhkan hukuman, sedangkan harapanku dicabik-cabik tanpa ampun. Percuma melawan. Sungguh percuma, Lin, rasanya sia-sia aku melawan musuh yang mungkin tak punya kelemahan ini. Menangis satu-satunya perlawanan terakhir yang dapat kulakukan saat ini. Menangis tanpa air mata. Sejak hari kelahiran terkutukku itu, aku tidak dapat menghentikan kesedihan atas keberadaanku di dunia bajingan ini.
Tapi lupakan bagian itu, hari ini aku mengirimkanmu cerpen—semoga kau menerimanya dengan utuh—melalui asisten rumah tanggamu gemuk itu. Perempuan itu entah kali ke berapa harus kesal menghadapiku yang terus-terusan menitip-nitipkan pemberian tanpa berani bertemu kau secara langsung. Rasanya aku kelewat malu, malu semalu-malunya, aku merasa rendah diri padamu, kau sudah banyak membantuku dahulu, tetapi sampai hari ini belum ada satu pun pemberian dariku yang layak menggantikan kebaikan-kebaikanmu itu.
Lin, tolong katakanlah pendapatmu—di dalam hati—setelah selesai menyantap tulisanku nanti. Setidaknya jika kau bilang bagus, aku lega, artinya cerpen yang kutulis ini layak ditayangkan. Hari ini juga aku akan segera mengirimnya pada redaktur cerpen sialan yang kudengar suka pilah-pilih naskah itu. Tahukah kau, Lin? Aku sudah menulis ratusan cerpen dan berujung tanpa balasan, tanpa kabar, entah karena naskahku benar gagal, atau redakturnya sudah koit. Aku tidak tahu. Aku tidak mencari tahu. Dan, sebaiknya memang aku tidak perlu tahu. Segala bunyi penolakan itu tidak liyan cuma omong kosong tak berarti dari mereka. Kudengar kebanyakan redaktur itu memang cenderung punya selera khusus. Ya, selera khusus yang konyol. Mereka tergila-gila pada sastra yang dianggap bermutu tinggi, lezat, adiluhung, universal, kaya diksi indah, megah, dan menggugah kemanusiaan pembaca dari sekian lintas zaman, yang kelak diingat sekian-sekian peradaban, peradaban umat manusia masa depan. Masa depan sialan! Aku tidak punya masa depan.
Aish, Lin, andai kata, andai kata bisa, niscaya akan keteriakkan di depan muka sang redaktur itu satu per satu: Persetan selera kalian! Persetan sastra mandul! Kalian semua mabuk estetika! Kalian semua sibuk membangun candi atas nama kalian sendiri! Kemapanan hari ini bakal roboh, tunggu saja, kalian akan kehilangan harga diri pada suatu hari nanti. Dasar penyembah karya sastra mandul! Sastra yang tak mengizinkan pacul berbunyi, kerak nasi mengumpat, dan para blangsak bercerita ironinya dengan jujur; yang tak tak memberikan kesempatan buat orang sepertiku mengatakan kebenaran. Yang tak membiarkanku membebaskan lidah miskinku bergerak dan pita suaraku bergeletar.
Kalian memaksa kami membungkus kelat masam hidup dengan kata-kata arkais, manis, dan mendayu-dayu. Kalian hanya ingin pembaca di luar sana berpikir, "Oh! Betapa bagusnya daya pikir para pengarang, betapa agungnya tangan-tangan mereka. Lihatlah, di tengah kemelaratan, mereka masih sanggup menulis karya sastra penuh keindahan, santun, bernas, dan lihai merangkai metafora. Betapa bagusnya selera redaktur media ini mampu memilih naskah bagus dengan ketat!"
Mereka tidak tahu. Padahal, kenyataannya, saat itu redaktur telah menolak ribuan naskah para penulis yang rela menelanjangi diri mereka demi mengabarkan kepedihan. Naskah sepenuh hati milik para penulis yang berharap dunia sekali saja bersikap adil pada mereka. Penulis-penulis tertolak itu sebagian rumah-rumahnya sedang digusur penguasa lalim, sebagian orang tuanya melarat sakit-sakitan karena cemaran limbah, sebagian kebun-kebun mereka dibabat digantikan perkebunan cukong kotor, dan sisanya mereka jadi buruh kasar dibayar sekehendak hati. Mereka yang menderita membawa lembar fotokopi ijazah sekolah dari kantor ke kantor, dari pabrik ke pabrik, hingga suatu waktu sempat bersyukur karena diterima menjadi kuli kasar, lalu mereka tanpa sadar dihinakan. Mereka diperlakukan keras layaknya kerbau dipecut agar menaikkan kapasitas produksi tahun demi tahun, dan bahkan, masih lebih baik nasib kerbau karena setidak-tidaknya masih diberi makan dengan layak. Ah, lupakan itu, Lin. Kenapa aku jadi naik tensi bila sudah membahas perkara sastra? Akhir-akhir ini aku memang gampang nyapnyapan kalau membahas kemapanan sastra kita. Barangkali aku ini kena sawan. Atau jangan-jangan aku mulai kehilangan kewarasan. Entah.
Yang penting kali ini aku sudah selesai menulis cerpen mistik pertamaku, cerpen yang sesungguhnya tidak kuharapkan sama sekali terbaca oleh siapa pun, tapi jika kelak kau suka, lalu redaktur nanti meloloskannya. Maka, aku percaya bahwa sastra kita benar-benar sudah dikuasai orang-orang sinting itu. Tapi masa bodohlah kesintingan mereka itu, kalau aku sudah punya naskah baru yang layak dikirim, besok aku tinggal berjanji pada pemilik indekos bermulut baskom itu kalau tunggakan akan kulunasi segera setelah honor cerpenku cair. Dia setiap hari menagih dan memakiku tanpa belas kasih. Aku sudah janjikan padanya bahwa minggu depan tagihanku akan kulunasi segera lewat honor cerpen bodoh ini.
Tapi andai naskahku ini tidak lolos ... ya, aku tidak kaget. Aku tahu jelas yang akan terjadi setelah itu. Mungkin seperti yang sudah-sudah, wanita itu akan mengumpat, menyerapah, dan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang pembual yang bersembunyi di balik kata penulis idealis, padahal aslinya aku lebih layak disebut sampah kesusastraan. Sampah kesusastraan yang tak dapat didaur ulang dan tidak pula dapat diurai. Itulah aku, menurut otak kerdil dan piciknya itu.
Tetapi kurasa dia ada benarnya, aku sudah pernah mengarang tiga novel bertema kehidupan orang miskin yang realistis, kau tidak perlu menebak-nebak, Lin, semuanya laku kurang dari enam eksemplar, dan itu pun yang membelinya sahabat-sahabat SMP-ku jua, termasuk kau. Ah, kau sekarang tidak meringis membaca ini, kan? Jangan mengasihani aku, Lin. Ini toh biasa saja. Nilainya kuakui memang tidak sepadan dengan pengorbananku selama berbulan-bulan lama mengerjakan naskah-naskah itu. Tapi perihalku sebetulnya bukan apa-apa, aku justru lebih kasihan lagi dengan nasib penerbit kecil itu. Semoga ia hanya sekarat dan tidak sampai gulung tikar. Alangkah jelek nasibnya apabila harus bubar gara-gara pernah menerbitkan tulisan sampah kesusastraanku itu.
Lin, abaikan kalimat-kalimatku tadi. Aku mungkin sudah bicara melantur terlalu jauh. Pikiranku begitu penuh, kata-kata jadi seenaknya menguap dan memaksa diluapkan. Belakangan aku jadi susah tidur, aku bingung memikirkan bagaimana cara membunuh semangat penaku, bagaimana cara mengakhiri jari-jariku agar berhenti menulis. Demi Tuhan! Aku ingin berhenti menulis. Asal kau mau tahu, sudah kupatahkan selusin pena dan kubakar semua karya-karyaku, tetapi tak berhenti juga tangan ini ingin memberontak.
Maka, sejak kemarin aku penuh tekad berjanji, aku berjanji bakal menulis satu cerpen terakhir sebelum aku berhenti menulis untuk selama-lamanya. Cerpen spesial untuk perempuan yang paling berharga di hidupku. Cerpen ini sebagai bentuk perlawanan terakhirku kepada dunia yang suka meringsak kaum blangsak. Yang kerap menumbalkan kami. Anak-anak kaya sebangsamu pernah berkata Lin, kemiskinanlah yang membuat kami jadi pembenci. Kemiskinan yang membikin kami mudah menuding orang-orang kaya macam kalian. Kemiskinan itu asalnya dari diri kami, kesalahan yang disebabkan bapak, ibu, moyang kami, bukan salah kalian atau pejabat jahanam itu. Kalian bilang salah kami, tidak berkomitmen menimbun uang agar harga diri bisa naik. Entah dengan cara-cara kotor, keji, dan dosa. Siapakah yang peduli pada dosa? Dosa itu cuma kata-kata palsu agar menahan manusia berdikari.
Lin, cerpen beserta prolog panjang ini akan menjadi tulisan terakhirku yang kukirimkan kepadamu dan redaktur musuhku itu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, jadi aku tak punya alasan berlama-lama menderita. Lagi pula, tak ada harapan lagi. Semua tampak gelap di depan sana. Esok hari jika kabar itu sampai ke telingamu, jangan pernah sekali-kali kau datang melayat ke tempatku. Aku tak punya rumah. Pemilik kos bengis itu mana mungkin membiarkan semenit pun tempatnya dijadikan persinggahan mayat.
Dengar, Lin, cerpen ini kutulis sebagaimana kegemaranmu dulu suka membaca kisah-kisah gaib, aneh, dan suram; sebagaimana pengalaman hidupku yang kautahu begitu suram, ganjil, dan mengkhawatirkan. Sebab itu, aku menulis satu cerpen terakhir buatmu; satu cerpen yang kudedikasikan untukmu. Kau harus baca detik ini juga atau kau akan mati penasaran.
***
Dia adalah satu-satunya saudara ayahku. Ia tinggal berdua saja dengan istrinya. Setiap malam Minggu, Bapak rutin memintaku menemani lelaki itu mengobrol agar ia tidak jemu duduk-duduk sendirian sembari merawat bininya. Bininya yang membatu. Wak Zainal jarang keluar rumah semenjak istrinya tak berdaya dan kehilangan segenap kemampuan bicaranya. Perempuan itu menjadi patung emas yang hari-harinya perlu dirawat dan dijaga. Sebagaimana arca, dia tak mampu mengeluarkan suara, semua dilakukan dalam sunyi. Jadi, sepanjang hari Wak Zainal tidak punya teman mengobrol, kecuali saat aku bertandang ke rumahnya.
Aku masih ingat, setiap kali selesai memamah kudapan titipan dari Ibu, terus-terusan mulut lelaki itu berkata-kata, kadang diselingi tawa getir yang terdengar dipaksakan. Belum lagi kalau dia terbatuk-batuk, itu seakan-akan paru-parunya mau meledak. Kadang-kadang di tengah-tengah cerita yang sedang seru, aku harus tabah menunggui beliau menyelesaikan perkara penyakit menahunnya itu. Tapi kuakui, sejujurnya aku menikmati semua kisahnya.
Ada banyak cerita yang pernah laki-laki menyedihkan itu bagikan kepadaku sepuluh tahun silam. Dongeng yang nyaris tidak bisa kulupakan, bahkan setelah sekian lama ia pergi selama-lamanya dari hidupku usai lubang itu menelannya bulat-bulat. Dia sebetulnya bukanlah seorang pendongeng yang lihai, acap kali ceritanya melompat-lompat, tidak jelas juntrungannya, aneh, dan suka menggurui, ditambah lagi suaranya cempreng seperti nyanyian bebek, nyaring, kadang membikin kepalaku pening sampai-sampai telingaku rasanya mau pekak badak. Namun, aku sulit mengabaikan kata-kata yang keluar dari bibirnya itu. Dapat kudengar ada getaran halus di tiap nada-nada suaranya yang takzim, getaran sehalus rambut-rambut daun telinga yang segera kumengerti sebagai suara orang kesepian. Suara amat tulus dari seorang pengarang yang gagal. Pria itu selalu gembira tiap kali mendapatkan kesempatan membacakan isi cerpennya yang aneh itu. Kupikir sepinyalah barangkali yang telah mewujud menjadi kisah-kisah aneh.
Aku masih bisa mengingat salah satu ceritanya dengan baik. Kisah itu berjudul Sumur Setan. Cerpen ke-99 yang dia berikan kepadaku malam itu. Cerpen yang menginspirasi kematianku.
***
Alkisah, diceritakan di daerah yang tak diketahui rimbanya, tempat yang masih dikuasai belantara luas penuh tanya, tetapi kabarnya si setan jelek, mantan penjaga buah terlarang, telah berabad-abad terperangkap di dalamnya. Setelah tragedi pengusiran oleh Sang Pencipta, maka sehari-harinya, setan berkepala dua itu menjadi pengangguran yang bersarang di kawasan tak bernama. Kerjanya cuma merebah dan memetik alat musik petik sembari melata (sebab sialnya ia dikutuk tak memiliki kaki), berkeliaran tak tentu arah, kadang melingkar-lingkar dari dahan ke dahan, pohon ke pohon, puncak ke lembah, gunung ke bukit, berputar-putar di daerah itu-itu saja (sungguh tidak aneh kemudian kita mengenal istilah lingkaran setan). Dialah setan yang paling jelek rupanya di antara kaumnya dan paling malang sebab tak punya kawan apalagi kerabat dekat. Sengsara, demikian kuringkas tentang nasibnya.
Kau barangkali bertanya-tanya, mengapa dia tidak bergaul dengan setan-setan lain di alam semesta yang terbentang luas ini? Di muka bumi ini? Bukankah setan jumlahnya tak terhitung banyaknya di segala sudut bumi? Bahkan, katanya, andaikan jarum kau lempar ke atas kepala, niscaya tidak akan turun ke bawah lantaran tersangkut di bola mata mereka. Sungguh kau pasti menganggap ini aneh, mengapa dia saja yang menanggung kesepian dengan dikurung di hutan itu?
Mungkin kau belum pernah mendengar secara utuh kisah rahasia ini.
Di hari tragedi besar pengusiran itu, selain dikeluarkan dari lingkaran pergaulan langit, ia telah dikucilkan oleh kaumnya sendiri. Aku serius mengatakan ini, jika manusia bisa memaafkan kakek-neneknya karena melanggar perintah Tuan Segala. Tetapi, tidak dengan bangsa iblis. Mereka telah berubah menjadi makhluk pendendam dan dendam menjadi darah mereka. Api dendam menyala-nyala di setiap jengkal kulit dan lapisan daging di tubuh mereka. Lidah api berkobar-kobar di mata mereka setiap kali mengingat semua kekacauan yang ditimbulkan oleh salah satu setan pengacau itu. Jika tidak karena obsesi makhluk keparat itu, tentu saja mereka tidak perlu ikut-ikutan dihukum menjadi bangsa penggoda, padahal sebelumnya mereka dianggap mulia di hadapan Sang Penguasa. Seandainya setan bedebah itu bisa sedikit lebih lama menahan rasa dengkinya yang lama berkarat kepada para malaikat dan manusia, mungkin alur pemberontakan tidak begini jadinya.
Kau tahu, Mar? Hari ketika rombongan setan hendak mengungsi dari surga, semuanya saling berpelukan dan berpegangan tangan mengukuhkan tanda pertalian senasib sepenanggungan, dan setan jelek itulah satu-satunya yang diabaikan oleh sesama kaumnya. Benci. Mereka telanjur benci kepadanya. Namun, tak ada caci-maki ataupun hantaman tinju ke bibir besar yang dulunya terlalu banyak oceh itu. Mereka sudah teramat muak dan kecewa. Dan rasa kecewa dan marah itu dipendam dalam-dalam menjadi sebentuk pengucilan dan pengabaian. Mereka bersumpah tak akan pernah berdamai, apalagi memaafkan, meskipun setan itu kaum sebangsanya. Maaf sesungguhnya bukanlah sifat iblis. Maaf adalah sifat Tuan Segala. Maaf memadamkan dendam dan kemarahan. Bila tak ada dendam, kemarahan, dan kebencian, maka mereka niscaya mati; melebur dan melenyap menjadi gelap dan senyap. Sungguh makin rugilah mereka bila harus mati cuma untuk berdamai dengan setan jelek itu.
***
"Tapi bukankah semua setan memang rupanya jelek, Om?" tanyaku, bingung. Yang aku tahu makhluk itu punya tanduk seperti kambing tua dan kulitnya mirip selaput merah atau berlendir. Itulah wujud mereka yang aku kenal selama ini.
"Tidak begitu buruk. Mereka awalnya sama seperti manusia dan malaikat. Diciptakan dengan wujud paling indah. Justru gambaran setan dalam benak manusialah yang tiap tahun berevolusi. Mula-mula dia dibayangkan seperti wujud malaikat, lalu mirip manusia, kemudian sedikit aneh mirip binatang, kemudian dipadukan dengan monster, lalu diberikan kecerdasan, kekuatan, kemampuan dahsyat, dan hari ini kau lihatlah mereka tampak kuat dan mengerikan, padahal aslinya biasa-biasa saja, kecuali punya sedikit sihir. Semua yang aneh itu lahir dari imajinasi manusia, lebih tepatnya seniman dan pengarang. Mereka banyak berjasa mewujudkan bentuk-bentuk iblis. Hanya sekali yang agak akurat, seorang penyair kenamaan pernah menggambarkan wujudnya seperti orang tua. Begitulah adanya. Manusia dan setan punya wujud serupa, tapi tidak sama. Sebab itu setan dengki kepada kita. Mereka iri kita punya wujud lebih padat daripada mereka yang bagaikan uap."
"Tapi kenapa kata Wak setan yang satu tadi paling jelek?"
"Wak belum selesai. Masih mau Wak lanjutkan?"
Aku mengangguk.
"Baiklah, akan kulanjutkan."
***
Keadaan setan bengal itu jelas amat terhina. Dia diturunkan di suatu tempat yang tidak pernah dijejaki manusia, tidak pula dihuni sesama bangsanya. Dia kehilangan posisi pentingnya di koloni mana pun. Dahulu kariernya berkilau cemerlang sebagai penjaga buah terlarang, posisi paling diperebutkan oleh semua makhluk langit karena bisa akrab dengan pencipta. Namun, semenjak pengkhianatan hari itu, ia dibuang, dianggap hama belukar sehingga tak ada satu pun lagi yang mau melihat mukanya. Dia dikutuk pencipta menjadi makhluk paling menjijikkan dari yang paling menjijikkan.
Seorang raja iblis generasi ketiga puluh tiga di bawah pohon trembesi bersumpah untuk tidak melibatkan setan durjana itu dalam misi menggoda manusia. Dikutip dalam Ayat-Ayat Setan yang ditulis oleh Bavier Zelda (seorang pakar dan peneliti legenda tentang setan) bahwa raja iblis itu pernah berkata:
"Engkaulah yang menyebabkan kami harus menjadi makhluk celaka, tidak berguna seperti hari ini! Kalau engkau tidak tamak, tak banyak tingkah, maka kitalah yang membangun peradaban hebat hari ini, bukan manusia. Aku bersusah payah bolak-balik surga, bulan, dan bumi demi menjadi kesayangan-Nya. Tetapi engkau berulah, kau bodoh, kau sibuk memikirkan dirimu, kau merasa hanya kau yang dianggap penting. Kau lupa, semua makhluk itu di mataNya dianggap setara. Kesetaraan itulah yang membuat kita ikut menanggung kesalahanmu yang sinting itu!” (Ayat-Ayat Setan; hal. 34)
"Sampaikanlah kabar ini wahai Zalzal (burung setan pengantar pesan di neraka) kepada ia. Katakanlah sesungguhnya kau paling terkutuk dari yang paling terkutuk. Menjauhlah kamu dari kami sekalian dan janganlah merasa menjadi bagian dari kelompok kami. Kami tak mau hidup berdampingan denganmu. Pergilah ke tempat di mana para setan dan manusia tidak akan pernah kunjungi. Janganlah kamu coba-coba ikut menggoda manusia karena kamu bajingan pengacau yang tidak pernah layak mengemban misi ini. Bahkan di neraka pun kami tak ingin satu tempat denganmu. Kau menjadilah apa pun. Hiduplah dalam omong kosongmu dan angan-angan picikmu menjadi kesayangan Sang Penguasa. Mengadalah meski kau tidak dibutuhkan! (Ayat-Ayat Setan; hal. 57)
Maka bertahun-tahun selanjutnya, demi meneruskan generasi, ia tidak terhitung menghasilkan benih-benih yang ia rekayasa genetika sendiri (istilah semacam itulah. Toh untuk makhluk yang hidup berabad-abad, kloning dan kawin silang bukan pengetahuan baru dan mengejutkan lagi baginya). Di dalam laboratorium sihirnya, ia persisten mengawinkan gennya dengan gen berbagai binatang di hutan. Memadukan gennya dengan varian gen babi, gen ikan, gen tikus, gen kera, gen serigala, dan gen ajak. Ia mengembangkan makhluk-makhluk unik untuk mendapatkan satu anak setan baru, tapi semuanya tak ada yang berhasil. Padahal, besar sekali harapan iblis melata itu memiliki seorang anak. Ia bermimpi kelak putranya itu menjadi bakal calon penerusnya, makhluk yang teramat kuat, kelam, lebih jahat, lebih bangsat, licik, biadab, jahanam, keparat, hina dina, durjana, dan paling celaka sehingga bisa mengkudeta kekuasaan raja iblis yang tak pernah pensiun. Nafsunya ingin menjadi berpengaruh masih hidup dalam tubuhnya yang tiap tahun berubah kisut. Ya, dia satu-satunya iblis yang dihukum menua, mengecil, menyusut, tapi tidak bisa mati. Ada kutukan mengerikan yang tidak pernah manusia ketahui, tidak pula dicatat dalam kitab agama mana pun sebab manusia akan kehilangan bola mata dan tidak bisa tidur bila mengetahui isinya.
***
"Sesungguhnya kau makhluk sangat terkutuk lagi durhaka. Kau akan hidup abadi sampai hari penghakiman tiba hingga dzatmu tak punya wujud sekecil apa pun lagi. Kau sendirian tidak boleh berketurunan atau mencipta keturunan, kecuali aku mengizinkan anak-anak manusia yang nakal menjadi anak-anakmu pula," kata lelaki itu dengan mimik tegang membacakan cerpen Sumur Setan. Bola mata itu mati diam dan terkunci ke satu titik: mukaku. Dia mengulur waktu dengan hening. Membiarkan jeda kami terisi gerau salakan cicak.
"Mengapa harus anak nakal, Wak?" tanyaku bingung.
"Ya karena ... karena ... karena anak nakal tidak disukai pencipta," jawabnya buru-buru. Ia merogoh sebungkus rokok di kantong celananya, mengambil sebatang keretek dan menyelipkan cepat-cepat ke lipatan bibirnya yang kecut. Aku bisa melihat tangannya agak gemetar kala menggesek roda korek gas. Lengan yang kurus berhias benjol daging sisa kecelakaan itu cepat-cepat ia turunkan, barangkali agar tak begitu tampak rasa gugupnya. Dia mengembus asap bagai knalpot yang sedikit bertenaga. Kemudian meneruskan bicaranya lagi, "Anak manusia nakal itu sulit diatur, sama halnya seperti mengurus setan yang angkuh."
"Tapi kan Dia mampu membuat ciptaannya berhenti jadi nakal."
"Ya, tentu saja bisa. Dia berkuasa. Namun, dia memilih jalan menghukum dulu agar jera."
"Kalau begitu dia mirip ibuku, Wak."
Pria itu mengangkat alisnya sebelah.
Aish, kau lagi-lagi mengacaukan ceritaku, Mar. Sekarang tenanglah dulu dan dengarkan kisah ini dengan sabar.
"Namun, lama-kelamaan tempat terlarang itu segera ditemukan oleh manusia. Hutan itu dibabat sedikit-sedikit. Mula-mula bermukim satu keluarga. Keluarga itu kemudian menghasilkan keluarga-keluarga baru. Lama-lama terbentuk talang. Talang berkembang menjadi dusun. Dan si setan alih-alih murka, ia justru kesenangan menyambut anak-anak manusia mengisi penjaranya. Ia tak sabar menemukan sosok anak nakal yang dijanjikan Sang Penguasa sebagai pewaris tahtanya."
***
Pada suatu petang, dikisahkan seorang bocah, yang tak diketahui namanya, tengah berlari-lari membawa benda putih sebesar kepalanya dengan kegirangan. Ia menemukan telur sebesar kelapa tergeletak saja di jalan tanah. Bocah miskin itu berjalan sambil berjingkrak-jingkrak mencangking benda itu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, si anak memeriksa bakul, tetapi tak ditemukan sebutir pun nasi, begitu pula ketika ia menyingkap tudung saji, cuma kekosongan yang dapat ia temui. Maka bocah yang tengah lapar itu tak punya pilihan, selain merebus telur yang baru saja ia temukan. Sebetulnya ia hendak menunggu dulu orang tuanya pulang dari ladang lantas menanyakan telur binatang apakah yang ia temukan dan apakah boleh dimakan? Tetapi didorong oleh lapar yang terus mencabik-cabik isi perutnya, anak itu memutuskan merebus telur itu dan melahapnya sendirian.
Tak lama kemudian, si anak mulai berkeringat. Tiba-tiba saja ia merasa badannya kepanasan, kehausan, begitu pula suasana hatinya kacau-balau, ia cemas tak karuan. Mula-mula ia minum segelas, dua gelas, tiga gelas, hingga berkendi-kendi, bergentong-gentong air, tetapi hausnya tak kunjung lenyap. Tiba-tiba ia merasa sekujur tubuhnya seakan terpanggang. Diikuti tangan, kaki, dan wajahnya seketika terasa gatal-gatal tidak teredam. Dengan sadis ia menggaruk-garuk seluruh tubuhnya hingga kulitnya mengelupas dan berdarah-darah. Maka bagaikan cacing kepanasan, ia meliuk-liuk di tanah, lalu meloncat ke dalam sumur di belakang rumahnya. Kejadian itu disaksikan oleh orang tuanya yang baru pulang dari ladang. Mereka yang kaget sekonyong-konyongnya memeriksa sumur. Betapa kagetnya mereka mendapati sumur itu telah kering kerontang. Di dalamnya bergulung-gulung makhluk besar, bersisik, dan bertanduk. Giginya tajam seperti kapak dan matanya merah seperti nyala api. Sontak kedua laki-bini itu menjerit-jerit panik. Kedua biji mata mereka hampir meloncat keluar mendapati anaknya berubah wujud.
"Ah, Wak mau beli obat nyamuk dulu. Kau mau Wak antar pulang," kata Wak Zainal mengakhiri ceritanya.
"Nanti dulu, Wak, lalu bagaimana nasib anak tadi?"
"Ya, begitulah nasibnya, Mar. Sejak itu orang-orang dusun mereka hobi menakuti-nakuti anak-anak mereka seandainya tak mau makan, tak mau mandi, tak mau pulang dari bermain dengan menyanyikan lagu Sumur Setan: “Sumur setan, sumur setan, gemanya tak teredam. Sumur setan, sumur setan, menculik anak nakal."" Wak menutup ceritanya.
"Nah, bawalah naskah ini. Nanti kalau kau sudah besar. Kau bisa jadi penulis melanjutkan cerita, Wak."
***
Aku tidak menyangka kisah Sumur Setan adalah cerita terakhir yang kudengar dari Wak Zainal. Esoknya, aku masih teringat bagaimana pagi-pagi tak ada angin tak ada hujan, Ibu memelukku yang baru bangun. Air mukanya sangat tegang. Matanya merah, sedang Bapak menepuk-nepuk bahuku seperti hendak menguatkan.
Ibu mengatakan bahwa semalam, Wak Zainal sesudah mengantarku pulang, ia tidak sama sekali belanja obat nyamuk ke warung. Malam itu berbohong kepadaku. Pria itu justru pulang ke rumah lantas menggorok leher istrinya yang lumpuh dengan mata parang landap. Lalu dia menghilang tanpa jejak. Pada saat itu, para polisi menuduh Wak Zainal telah melarikan diri. Sampai kemudian mereka mencurigai adanya sepasang sandal di depan sumur tua di belakang rumahnya. Kata Bapak, di sanalah akhirnya polisi menemukan mayat Wak Zainal terapung-apung dililit oleh seekor ular sawo berkepala dua.