Mencari Tuhan Sepanjang Zaman
10 dari 13
Chapter sebelum
Tiga Badan dan Roh (2)
Chapter berikut
Empat Kebenaran dan Kritik (2)
#10
Empat Kebenaran dan Kritik (1)
15. Yang dimaksud ialah teologi liberal yang sudah disinggung pada h. 71: "Sebagai upaya untuk melawan sikap tak toleran dari dogmatisme, kesederhanaan dari kebenaran religius merupakan tema favorit para teolog-liberal". Teolog-liberal dalam Protestantisme, semisal Adolf von Harnack, bereaksi terhadap dogma-dogma yang terlampau kompleks dan cenderung mereduksi pesan-pesan Yesus menjadi intuisi religius yang sederhana, semisal "Tuhan sebagai Bapa" dan "Kekekalan jiwa manusia".

16. Agama pertama-tama ialah "apa yang dilakukan oleh manusia dengan kesendiriannya" (RM, h. 16). Perumusan dogma dengan demikian ialah kembalinya individu kepada kehidupan sosial. Jadi, individualitas dan sosialitas tidak saling mengecualikan.

17. Filsafat Descartes semakin mengedepankan pentingnya peranan "subjek" dalam metafisika Barat pada umumnya. Subjek yang berpikir dimengerti oleh Descartes sebagai "substansi yang berpikir" dengan penekanan pada "substansi". Sebagai substansi, "subjek yang berpikir" (ego cogito) itu bersifat rohani, sesudah orangnya "mati" pun, "aku" tidak akan terurai dan terbagi-bagi dan dengan demikian bersifat kekal. Buddhisme sebaliknya memberi tekanan pada arus pengalaman-pengalaman; "aku" sebagai substansi (ahamkara) dianggap pengalaman menyesatkan (samudaya).

18. Idealisme absolut sampai tingkat tertentu merupakan reaksi terhadap upaya menjadikan subjek individual sebagai subjek transendental. Francis Herbert Bradley (1846-1924), "fellow" di Merton College Oxford sejak 1870, menyatakan bahwa satu-satunya realitas adalah "Yang Absolut" dan individu-individu hanyalah "appearances" (Itulah sebabnya, judul bukunya yang terkenal ialah Appearances and Reality). Jadi, idealisme absolut ini merupakan reaksi terhadap arus utama filsafat Barat dan merupakan respons yang lebih cenderung ke arah metafisika Buddhisme, yang menganggap pengalaman "aku" sebagai pengalaman maya dan merupakan sumber dari penderitaan hidup maupun penderitaan ontologis.

19. Aliran yang pertama ialah aliran yang bermuara pada "positivisme-logis" atau "Lingkaran Wina" (der Wiener Kreiss) yang ditokohi oleh Moritz Schlick (1882-1936). Aliran ini mencita-citakan kesatuan ilmu atau "unified science".

20. Yang diacu sebagai aliran kedua ialah pemikiran Bradley pada catatan nomor 18 di atas.

21. Dogma seyogianya tidak terpaku pada diskursus suatu komunitas atau suatu zaman, tetapi terlibat terus-menerus dalam diskursus-diskursus dari zaman ke zaman. Di sini, Whitehead mengibaratkannya dengan Bahtera Nabi Nuh sesudah terdampar di Pegunungan Ararat "dalam bulan yang ketujuh, pada hari yang ketujuh belas bulan itu" (Kejadian 8: 4). Meskipun kebenaran dogma tak berubah, kata-kata yang dipergunakan bisa disalah-pahami dalam—meminjam peristilahan Wittgenstein—diskursus (language-game) yang berubah dan peradaban (form of life) yang berkembang.

Menutup diri hanya akan merugikan diri sendiri dan merugikan intuisi-intuisi religius yang seharusnya dapat dibuat berespons. "Percakapan" (conversation, ini peristilahan sangat penting dalam filsafat Rorty) perlu diikuti, "tanda-tanda zaman" perlu dibaca, karena bingkai percakapan dan bingkai peradaban yang berbeda memberi makna yang berbeda pula pada kata-kata yang pada masa silam dalam suatu peradaban tertentu dipakai untuk merumuskan kebenaran yang bertolak dari pengalaman religius. Nabi Nuh mengirim burung dara sebagai "kesediaan berdialog" dan menerima ranting zaitun sebagai respons dari lingkungan masa kini. "Air bah" masa kini, berupa proklamasi "kematian Tuhan" dan kegagalan mengundang respons berupa "amin" yang diucapkan dengan tulus, tidak sekadar rutin, dan melibatkan seutuh-utuhnya manusia, untuk sebagian disebabkan oleh syiar yang menjelaskan dogma-dogma secara tidak—dalam istilah orang Jawa—njamani. Walisanga, dan terlebih Sunan Kalijaga, dalam kaitannya dengan kemampuan menggugah respons dari intuisi religius yang hidup di kalangan orang Jawa Tengah pada masanya, merupakan salah satu kasus yang darinya orang-orang beriman masa kini mampu memetik pelajaran berharga.

22. "Religion in the making" bagi Whitehead ialah perkembangan ke arah keyakinan religius "dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4: 21 dan 23). "Percayalah kepadaku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan di Jerusalem . . . . Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian."

23. Origenes (sekitar 185-254) ialah salah satu tokoh Gereja Purba. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengajar dan menulis di Alexandria dan kemudian di Cesaria. Ia mengembangkan metode interpretasi teks (hermeneutik) untuk menjelaskan dan membela ajaran-ajaran Kristiani. Menurut Origenes, Kitab Suci dapat diinterpretasikan dengan tiga cara: (a) sebagai pesan historis, dengan cara mengisahkan suatu peristiwa, (b) sebagai pesan moral, dan (c) sebagai pesan spiritual, dengan cara mengartikan suatu kisah secara alegoris.

24. Erasmus (1467?-1536) ialah seorang humanis besar yang kini namanya diabadikan dalam bentuk pusat kebudayaan Belanda di seluruh dunia. Ia pernah tinggal di Kota Leuven di jalan yang kini bernama "Vismarkt" (Pasar Ikan). Di kota yang ditempati oleh sebuah universitas yang berdiri pada 1425 itu, dan memiliki logo dengan slogan Sedes Sapientiae (Takhta Kebijaksanaan), ia bertemu dengan Thomas More, pengarang Utopia. Erasmus merancang penelitian bahasa-bahasa klasik dan Kitab Suci dengan pendekatan filologis. Karena tulisan-tulisannya dianggap sangat kritis terhadap Gereja, tidaklah mengherankan jika tulisan-tulisan itu dituduh membahayakan iman dan dimasukkan ke dalam Daftar Buku yang Dilarang (Indices Librorum Prohibitorum).

25. Yang dimaksudkan ialah perselisihan pendapat antara Erasmus dan Luther.
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)