Mencari Tuhan Sepanjang Zaman
8 dari 13
Chapter sebelum
Dua Agama dan Dogma (2)
Chapter berikut
Tiga Badan dan Roh (2)
#8
Tiga Badan dan Roh (1)
16. Whitehead mengikuti pluralisme ontologis dari Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716) dan dengan demikian menolak monisme Spinoza.

17. "Ciptaan" dan bentuk-bentuk ideal tidak terlepas satu sama lain. Tanpa bentuk-bentuk "ketertentuan", tak mungkin ada kenyataan aktual, konkret, begini atau begitu. Tanpa kenyataan aktual dan konkret, bentuk-bentuk itu, "kebeginian" atau "kebegituan" tidak akan aktual.

18. Tuhan adalah alasan mengapa kreativitas yang mengaktual itu mempunyai karakter "begini" atau "begitu". Itulah sebabnya, dalam SMW, Whitehead menyebut Tuhan itu "principle of limitation" atau "principle of concretion". Selain itu, dalam konkresi, sebuah entitas aktual juga memprehensi dunia sebagai komunitas entitas aktual, sehingga ada keteraturan semesta (common order).

19. Yang terutama dimaksud di sini ialah metafisika Spinoza yang beranggapan bahwa "tatanan pemikiran" (the order of thought) itu sama dengan "tatanan alam semesta" (the order of the universe). Seandainya semua realitas konkret (sebagai "modi") adalah turunan dari Yang Absolut, maka tak akan ada evil, kemalangan dan kejahatan. Tetapi pada kenyataannya, kemalangan dan kejahatan itu sungguh-sungguh terjadi. Jadi, bagi Whitehead, tidak ada determinisme metafisis, semua peristiwa aktual ini tidaklah sepenuhnya hasil determinasi dari Yang Ilahi.

20. Jadi, Tuhan bukanlah satu-satunya prasyarat yang diandaikan oleh situasi metafisis. "Fungsi" Tuhan ialah memilah-milah mana "yang baik" dan mana "yang jahat" serta menaklukkan "yang jahat" (dalam arti, "yang jahat" tidak "diprogramkan" dalam menata Kreativitas dan "memformat" initial aim tiap epochal occasion). "This is the notion of redemption through suffering which haunts the world" (PR, h. 350). Itulah yang menurut Whitehead pertama-tama perlu dijalankan oleh agama. Dari sinilah muncul keterkaitan antara Tuhan dan tatanan moral di dunia.

21. Sebagai peristiwa pada dirinya sendiri (misalnya, ledakan bom atom, mengganasnya sel kanker), evil dapat dikatakan positif. Tetapi, bila kejadian-kejadian lain turut diperhitungkan, evil ini membawa degradasi dan disintegrasi. Dan itulah evil: hilangnya form of definiteness yang seharusnya dapat dicapainya.

22. "Thus peace is self-control at its widest—at the width where the ‘self" has been lost, and interest has been transferred to coordination wider than personality" (AI, h. 286). Kontras antara yang baik dan yang jahat juga dengan sangat indah dirumuskan dalam akhir AI: "At the heart of the nature of things, there are always the dream of youth and the harvest of tragedy . . . . This is the secret of the union of Zest with Peace:—That the suffering attains its end in a Harmony of Harmonies" (AI, h. 296).

23. Seandainya Tuhan bersifat "tidak konsisten" atau "tidak koheren" atau dalam dirinya sendiri mengandung "kontradiksi", maka Tuhan bukan lagi entitas aktual yang "permanen" dan hanya akan menjadi entitas aktual yang berupa epochal occasion.

24. Tuhan meng-in-formasikan permanensinya pada dunia. Di tengah-tengah segala perubahan, Tuhan adalah Yang Tetap Tidak Berubah. Inilah yang oleh Whitehead disebut "primordial nature of God". Dalam arti ini, Whitehead sejalan dengan banyak sekali tradisi religius. Hanya bedanya, dalam metafisika Whitehead, sifat Tuhan yang permanen ini hanyalah satu aspek dari keilahian. Aspek lain ialah "the consequent nature of God", dalam aspek ini Tuhan memprehensi semua aktualitas yang "perishing" sehingga menjadi "the fellow sufferer who understands" (PR, h. 351). Dalam aspek "pencipta" ( primordial nature), Tuhan bersifat nirwaktu atau atemporal, Tuhan berada "di luar waktu", Whitehead menggunakan istilah "eternal" untuk menunjuk sifat ini. Dalam aspek sebagai "konsekuens" dari semua "antesedens" yang pernah mengaktual (consequent nature), Tuhan "berada dalam" waktu, tetapi tidak memiliki awal dan akhir, dalam istilah Whitehead yaitu "everlasting" (PR, h. 345).


25. AI, h. 130: "The theologians of Alexandria were greatly exercised over the immanence of God in the world. They considered the general question, how the primordial Being, who is the source of the inevitable recurrence of the world towards order, shares his nature with the world". Dan lebih lanjut, "(. . . ) the existents in nature are sharing in the nature of the immanent God".
Menurut Whitehead, hal ini merupakan kualifikasi penting terhadap konsep Semitik tentang Tuhan dan condong ke arah teologi triniter dan inkarnatoris. Para teolog Alexandria dengan demikian memberi sumbangan amat penting pada perkembangan metafisika. Mereka berpikir lebih jauh dari Plato dan mungkin bahkan lebih jauh dari Whitehead dalam PR. "They pointed out the way in which Platonic metaphysics should develop, if it was to give a rational account of the role of the persuasive agency of God" (AI, h. 169).

26. Tuhan tentu bukan satu-satunya elemen formatif. Seandainya begitu, semua niscaya ditentukan oleh Tuhan sebagaimana dalam metafisika Spinoza. Itulah sebabnya, Whitehead mengemukakan skema metafisisnya yang juga memperhitungkan Kreativitas, yang pada dirinya sendiri tidak terkualifikasi atau tidak tertentukan; serta "bentuk-bentuk ideal" dalam "Realm of Forms", yang pada dirinya sendiri tidak riil. Demikianlah, Kreativitas harus dikualifikasi oleh Tuhan. Begitu pula, Tuhan menjadikan riil "bentuk-bentuk ideal" dengan menyertakan-nya dalam proses konkresi.
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)