Mencari Tuhan Sepanjang Zaman
6 dari 13
Chapter sebelum
Satu Agama dalam sejarah (2)
Chapter berikut
Dua Agama dan Dogma (2)
#6
Dua Agama dan Dogma (1)
16. Sebagai "penyebab", Tuhan sebagaimana dimengerti oleh filsafat proses ini bukanlah penyebab efisien (causa efficiens) bagaikan per atau baterai yang menggerakkan jalannya dunia sebagai arloji. Tuhan bukanlah The Watch-maker dari dunia sebagai the clock we live on. Tuhan lebih-lebih dimengerti sebagai "penyebab final" (causa finalis), seperti tuan rumah yang mengundang para tamu untuk hadir dalam perjamuan yang diadakannya. Hadir atau tidak, berpakaian pantas atau tidak, bergantung pada kebebasan kehendak orang yang diundang.

17. Karen Armstrong, misalnya, malahan beranggapan bahwa ide Tuhan yang berpribadi hanyalah suatu tahap dalam perkembangan agama-agama Abrahamik. Baik Yudaisme, Kristianitas, maupun Islam berusaha sungguh-sungguh untuk tidak jatuh ke dalam konsep ketuhanan yang antroposentris. Perubahan konsep Yahwe yang tribalistik menjadi YHWH, konsep Trinitas yang bersifat transpersonal dalam agama Kristiani dan Tauhid dalam agama Islam, bagi Armstrong memperlihatkan kesungguh-sungguhan untuk melepaskan diri dari antroposentrisme itu. Hal ini terutama tampak dalam tradisi mistik ketiga agama se-rumpun itu. "It seems, therefore, that the idea of personal God can only be a stage in our religious development. The world religious all seem to have recognized this danger and have sought to transcend the personal conception of a supreme reality . . . All three of the mono-theistic religions developed a mystical tradition, which made their God transcend the personal category and become more similar to the impersonal realities of nirvana and Brahman-Atman" (A History of God: The 4000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, New York: Ballantine Books, 1993, h. 210).

18. Penyebab efisien di sini ialah apa yang dalam filsafat proses Whitehead diistilahkan sebagai "latar" (ground), yakni dunia yang baru saja "silam" yang menjadi "masukan" bagi entitas aktual baru. Ada harmoni sampai tingkat tertentu, ada keteraturan, "kesamaan" sampai tingkat tertentu, antara aktualitas baru dengan latar, utamanya dengan entitas aktual yang mendahuluinya (anteseden). "Stabilitas" dalam dunia yang berproses dan berubah ini menurut Whitehead hanya mungkin karena Tuhan menginformasikan suatu karakter hakiki pada setiap rangkaian aktualitas.

19. Sebab final bagi setiap aktualisasi dari kreativitas ialah apa yang dalam metafisika Whiteheadian disebut "initial aim" yang merupakan "undangan", "ajakan", atau "tawaran" dari Tuhan. Sebagai elemen formatif, Tuhan menginformasikan, memberi "masukan" bentuk-bentuk dalam arti nilai kepada setiap proses aktualisasi (konkresi) secara persuasif. Bila proses aktualisasi menyesuaikan diri dengan apa yang dalam buku ini disebut rightness itu, akan muncul entitas aktual dengan "format" yang sesuai dengan informasi yang berasal dari Tuhan. Dalam arti ini, entitas aktual dalam proses menjadi itu memprehensi Tuhan sebagai entitas aktual.

20. Whitehead melihat evil sebagai akibat terjadinya rumpang atau kesenjangan antara initial aim dan subjective aim dalam proses kreatif menjadi kosmos aktual . Initial aim, seperti sudah disebut, ialah nilai-nilai atau bentuk-bentuk yang ditawarkan, diinformasikan oleh Tuhan. Subjective aim ialah nilai-nilai yang diaktualkan dalam proses.

21. Bahwa ada pencipta dunia yang bersifat pribadi menurut tradisi hanya dapat diketahui dari adanya dunia dan dari cara dunia memperlihatkan diri kepada kita. Tuhan sebagai Pribadi Pencipta dunia bukanlah hasil dari intuisi langsung, melainkan dari penyimpulan.

22. Antonio Rosmini (1797-1855)—pastor, pendidik, dan filosof Italia—menganggap bahwa "Ada" ialah ide paling abstrak yang bersifat bawaan (innate) dan diberikan oleh Tuhan. Pendapat ini disebut ontologisme. Dalam arti ini, pengetahuan tentang Tuhan juga bersifat langsung dan bersifat bawaan.

23. Yang dimaksud di sini ialah semua usaha filsafat modern sejak Kant dan Schleiermacher yang mencari basis bagi keyakinan akan adanya Tuhan bukan pada analisis atas situasi metafisis (sebagaimana dilakukan Whitehead), melainkan pada hal-hal lain, semisal kesadaran akan kewajiban atau perasaan ketergantungan yang amat sangat.

24. Dengan "segala suhu emosi", yang dimaksud ialah "dalam keadaan apa pun", "dalam semua kasus". Menurut Whitehead, amatlah penting bahwa suatu pandangan religius harus dapat diuniversalkan. Baru bila demikian, pandangan itu dapat menjadi pandangan yang rasional. Emosi yang menyertai intuisi religius karena itu bukan merupakan faktor yang sangat penting, karena emosi bersifat subjektif dan berubah-ubah. Intuisi yang dijadikan suatu pandangan religi rasional harus berlaku dalam keadaan emosi yang bagaimanapun.

25. Bagi Whitehead, fokus dari pengalaman religius ialah "the rightness of the very nature of things" dan bukan adanya Tuhan yang berpribadi. Melalui penyimpulan, melalui pengembaraan metafisis mencari syarat-syarat yang memungkinkan adanya kosmos atau dunia konkret ini, dapatlah diketahui bahwa dunia yang kita diami ini tak mungkin eksis, tak mungkin terpikirkan, apabila tidak ada sang entitas aktual yang dalam agama-agama disebut sebagai Tuhan.

26. Intuisi religius karena itu bukanlah emosi, melainkan pengetahuan yang bersifat "antepredikatif", belum tertuang dalam kata-kata dan tidak mudah dituangkan dalam kata-kata. Sangat indah bahwa di sini Whitehead mengatakan bahwa para ibu merupakan "pakar" dalam pengetahuan "antepredikatif" itu dan mencatat serta menyimpan pengetahuan-pengetahuan (atau intuisi-intuisi itu) dalam hati. Juga dalam Injil dikatakan, Ibu Maria menghadapi beraneka peristiwa dan menyimpannya dalam hati (Lukas 2: 19, 51).
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)