Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,502
Mega di Langit Senja
Slice of Life

Bagian 1: Tatapan ke Langit

Langit sore hari itu melukis dirinya sendiri. Warna oranye keemasan bertemu semburat ungu lembut, seolah matahari melukis salam perpisahan sebelum tenggelam ke balik perbukitan. Di atas padang ilalang yang menguning, seorang pria duduk sendirian, diam tak bergerak seperti bayang-bayang yang tertinggal di tanah.

Namanya Putra.

Ia datang ke bukit kecil itu hampir setiap hari, sejak dua tahun terakhir. Tak ada yang tahu kenapa. Penduduk desa hanya menyebutnya "si pelukis pendiam". Rumahnya berada di ujung kampung, tak jauh dari hutan bambu yang sejuk dan gelap di pagi hari. Tidak ada istri, tidak ada anak, tidak juga keluarga yang sering datang bertandang. Sejak ibunya meninggal, dan ayahnya menghilang tanpa jejak bertahun lalu, Putra hidup sendiri—ditemani kucing tua dan beberapa pot kaktus di teras.

Hari ini pun, seperti biasanya, ia duduk dengan kaki terlipat, tangan di pangkuan, dan mata menatap langit. Tapi bukan langit yang ia lihat, melainkan awan, mega yang perlahan berubah bentuk. Kadang menyerupai perahu, kadang menyerupai naga, tapi kali ini bentuknya seolah menyerupai… wajah.

Sebuah wajah samar yang tampak melayang perlahan.

Putra tidak berkedip. Hatinya berdebar dengan cara yang aneh, seperti rasa kangen yang tiba-tiba datang tanpa sebab, atau seperti ingin menangis tapi tak tahu mengapa.

"Apa kau melihatku?" gumamnya lirih, entah kepada siapa.

Mega itu terus bergerak perlahan. Tidak terburu-buru. Tidak pula tergesa. Seolah menari mengikuti napas alam yang panjang dan hening. Daun-daun ilalang bergoyang pelan. Angin sore membawa wangi tanah yang hangat, dan suara serangga mulai menggantikan kicauan burung. Dunia perlahan bertransisi, dan Putra merasa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak ingin pulang.

Ia teringat lukisan terakhir yang pernah ia buat, dua tahun lalu. Sebuah kanvas besar, dipenuhi goresan warna gelap dan ungu yang tebal. Banyak yang tak memahaminya. Bahkan dirinya sendiri. Sejak itu, ia berhenti melukis. Kuasnya dibungkus kain, cat-catnya disimpan di peti kayu tua. Ia merasa kehilangan sesuatu, entah inspirasi, atau mungkin bagian dari dirinya sendiri.

"Aku hanya tertegun diam…" katanya lirih, mengulang kalimat dalam pikirannya. Ia sering berbicara sendiri, bukan karena gila, tapi karena diam tak selalu cukup untuk menenangkan batin.

Putra menghela napas. Tiba-tiba langit terasa begitu tinggi, dan dirinya sangat kecil. Ia merasa sedang berdiri di tepi dunia, memandang sesuatu yang tak bisa dijangkau. Sejak kecil ia mencintai langit, tapi hanya sebagai penonton. Kini, ada bagian dalam dirinya yang ingin lebih. Ingin menjadi bagian dari langit itu sendiri.

Sehelai awan berbentuk garis panjang melintasi cakrawala. Ia mengingat bentuknya. Dalam imajinasinya, itu seperti jejak dari sesuatu yang terbang tinggi, sesuatu yang pernah ada dan kini sudah pergi. Mungkin itu Mega, pikirnya. Bukan hanya awan. Tapi simbol dari sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih hidup daripada yang ia duga.

Alam tidak pernah benar-benar diam, hanya kita yang terlalu bising untuk mendengarkannya.

Petang mulai jatuh, dan bayangan ilalang memanjang ke arah barat. Putra masih duduk, tidak ingin kehilangan satu detik pun dari tarian langit. Tiba-tiba, seolah datang dari dirinya sendiri, muncul pertanyaan:

“Kenapa aku tak bisa seperti awan? Melayang, berubah, lalu pergi…”

Jawaban itu tidak datang dalam bentuk kata, tapi dalam desah angin yang menyapu rambutnya perlahan. Di balik semua itu, langit terus melukis. Tanpa suara. Tanpa alasan.

Putra memejamkan mata. Di dalam gelapnya kelopak, ia melihat Mega lagi, kali ini lebih jelas. Bukan sekadar awan, tapi sosok. Seperti perempuan berpakaian kabut, bergerak bebas dalam langit tanpa batas. Mega bukan seseorang. Ia lebih dari itu. Ia semacam pengingat bahwa ada kehidupan yang tak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan.

Malam mulai jatuh. Bintang pertama muncul seperti titik harapan yang jauh. Putra bangkit perlahan, merasakan tanah yang dingin dan rerumputan yang basah. Tapi dalam hatinya ada sesuatu yang hangat. Ia tahu, esok akan datang lagi. Ia tidak mencari inspirasi. Ia hanya ingin… mengerti.

Dan malam itu, di dalam mimpinya, Mega menoleh dan tersenyum padanya.



Bagian 2: Perjumpaan dengan Mega

Putra terbangun lebih awal dari biasanya. Langit masih kelabu, dan embun masih memeluk daun-daun di sekitar rumahnya. Mimpi tentang Mega semalam masih jelas terpatri di pikirannya—wajahnya kabur seperti siluet di balik jendela yang berkabut, namun matanya… matanya sangat hidup. Mega menoleh, tersenyum, dan berkata tanpa suara.

Putra duduk di pinggir ranjang kayunya yang mulai lapuk. Kucing tua miliknya, yang ia beri nama Angin, mengeong pelan lalu melompat ke jendela. Ia seperti tahu, pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Entah kenapa, Putra merasa mimpi itu bukan hanya bunga tidur. Ada sesuatu yang sedang bergerak dalam dirinya, seperti kabut yang perlahan menyingkap jalan yang selama ini tersembunyi.

Tanpa banyak pikir, ia mengambil ransel kecil, memasukkan buku sketsa kosong dan pensil arang ke dalamnya. Sudah lama ia tak menyentuh alat-alat menggambarnya, tapi pagi ini tangannya bergerak otomatis. Ia tak tahu apa yang akan digambar, namun tubuhnya seolah tahu lebih dulu dari pikirannya.

Putra berjalan kaki ke bukit tempat biasa ia duduk. Jalan setapak itu sudah ia hapal betul: tanah yang kadang berlumpur, rumput liar yang menggelitik pergelangan kaki, dan pohon jati tua yang daunnya seperti selalu membisikkan cerita. Tapi pagi ini, semuanya terasa seperti dilihat dengan mata baru.

Saat ia sampai di atas bukit, matahari belum sepenuhnya naik. Langit dihiasi warna abu lembut, seperti kanvas yang belum disentuh. Ia duduk, membuka buku sketsanya, dan menunggu. Tidak tahu apa yang ditunggu, hanya tahu ia harus ada di sana.

Beberapa menit kemudian, angin datang. Tidak kencang, hanya sepoi-sepoi. Tapi ada keheningan dalam hembusannya, seolah waktu melambat. Lalu, seperti pelan-pelan ditulis oleh tangan tak kasat mata, awan-awan di langit mulai membentuk sesuatu.

Pertama, hanya gumpalan. Lalu memanjang, melengkung, menyatu. Putra menahan napas. Di atas sana, tampak sesosok awan berbentuk wanita yang sedang mengambang. Tubuhnya ramping, tangannya terbuka, rambutnya seolah mengalir di udara. Wajahnya tak jelas, tapi gerakannya begitu lembut.

Mega.

Putra berdiri tanpa sadar. Ia menatap langit dengan mata penuh takjub. Untuk sesaat, ia merasa dunia terhenti. Tidak ada suara motor dari kampung, tidak ada riuh ayam, bahkan dedaunan pun seolah enggan bergerak. Hanya ia, langit, dan Mega.

Mega bergerak perlahan, menari tanpa irama. Tangannya terangkat, lalu melingkar seperti memanggil. Dan seolah menjawab panggilan itu, hati Putra bergetar. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang bangkit. Bukan keinginan untuk melukis, bukan pula hasrat untuk memiliki. Tapi… rasa ingin mengerti.

Ia membuka buku sketsa. Tangannya mulai bergerak, tanpa perintah. Ia tak lagi berpikir. Ia hanya mengikuti gerak awan. Garis demi garis muncul di kertas putih: lekuk tubuh, alur gerak, keheningan yang hidup. Tak butuh warna. Pensil arang cukup untuk menangkap kesunyian yang bergerak itu.

Beberapa kali, angin menghempas pelan. Mega perlahan berubah bentuk—menjadi burung, lalu menjadi ombak, lalu kembali menjadi sosok perempuan. Tapi apapun bentuknya, Putra tahu itu masih Mega. Ada sesuatu dalam cara awan itu bergerak yang tak bisa dijelaskan oleh bentuk semata.

Dan di tengah proses menggambar itu, tiba-tiba, Putra mendengar suara.

Bukan dari mulut, bukan dari telinga, tapi seperti kata yang muncul langsung dalam pikirannya. Suara perempuan, lembut dan dalam:

“Aku tidak diam. Hanya kau yang terlalu lama membisu.”

Putra terkejut. Tangannya berhenti. Dadanya sesak. Ia menatap langit, mencari sumber suara itu. Tapi Mega tetap melayang, perlahan memudar, tertiup angin ke arah timur. Tidak ada jejak. Tidak ada tanda.

Namun hatinya tak sama lagi.

Putra menutup buku sketsanya. Di halaman pertama itu, tampak gambar yang belum selesai. Tapi ia tidak ingin menyelesaikannya. Karena Mega bukan untuk diselesaikan. Ia hanya perlu dikenang.

Dalam perjalanan pulang, Putra tak berkata apa-apa. Tapi matanya hidup. Ia melihat warna di balik dedaunan, mendengar lagu dalam gemericik air, dan merasakan detak bumi lewat telapak kakinya.

Ia tahu, perjumpaannya dengan Mega bukan yang terakhir. Karena Mega bukan makhluk, bukan bayangan, bukan ilusi. Mega adalah alam itu sendiri. Hidup, bergerak, dan berbicara, bagi mereka yang benar-benar mendengarkan.

Dan Putra, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, merasa ia bukan lagi sekadar penonton.

Ia adalah bagian dari langit.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)