Masukan nama pengguna
Bagian 1
Kota kecil itu menggantung seperti noda yang tak mau larut dalam cucian pagi. Warnanya bukan biru, bukan abu, hanya semacam kelabu yang terlalu lelah untuk menjadi salah satu dari keduanya. Angin berhembus malas, menyisir rambut Raka yang berdiri mematung di depan bangunan tua, sebuah perpustakaan yang kini sunyi seperti dada yang ditinggal doa.
Raka datang ke kota ini bukan untuk liburan. Ia datang untuk mencari jejak yang tak bisa lagi ia sentuh: Alya.
Empat tahun lalu, di tempat yang sama, mereka pernah berdiri berdua di bawah pohon angsana, menggambar langit dengan cerita yang mereka yakini tak akan pernah pudar. Alya tertawa, tawa kecilnya seperti potongan nada piano yang dipetik pelan, dan Raka percaya, dunia mungkin hancur, tapi tidak dengan mereka.
Tapi ternyata dunia bisa lebih kejam dari bayangan siapa pun.
“Mereka Bertemu di Waktu yang Salah”
Alya datang dari dunia yang penuh retakan, meski bibirnya selalu menyimpan senyum yang lembut. Ia tak pernah bercerita banyak, tapi malam-malam tertentu, Raka mendengar suara isaknya dari balik pintu kos. Ia tidak masuk, hanya duduk di luar, memeluk lututnya, mendengarkan.
“Kalau aku hilang, kamu bakal nyari aku, nggak?” tanya Alya suatu malam, suaranya parau, matanya merah, tapi senyumnya masih manis.
Raka menatapnya lama. “Aku nggak akan biarin kamu hilang.”
Alya hanya tertawa kecil. “Kita nggak selalu punya kuasa buat menjaga, Rak.”
Dan hari itu akhirnya datang. Saat Raka pulang dari Surabaya karena pekerjaannya, Alya tak lagi ada. Kamarnya kosong. Ponselnya mati. Semua akun media sosialnya lenyap seperti tak pernah ada.
Ia pergi. Tanpa pesan. Tanpa jejak. Tanpa pamit.
“Bayang yang Terlindas Waktu”
Sekarang, empat tahun berlalu. Raka masih mencari. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia hanya terlalu keras kepala, atau memang masih terlalu mencintai.
Tapi bagaimana bisa tidak?
Alya bukan sekadar cinta. Ia adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis, sebuah doa yang tak pernah sampai. Raka mengingat malam terakhir mereka bersama: tubuh Alya gemetar, matanya kosong, tapi ia tersenyum.
“Aku kayak bayang, Rak. Kalau lampunya mati, aku nggak ada.”
Dan kini, Raka merasa seperti bayang itu telah terlindas oleh waktu. Ia mencari dalam senyap, menakar sunyi dengan luka yang makin lama makin dalam, bukan sembilu, tapi lirih terketuk, oleh kenangan yang tak pernah selesai.
“Surat Tanpa Pengirim”
Hari itu, di perpustakaan tua itu, penjaga memberikan sesuatu yang membuat jantung Raka membeku: sebuah surat tua, tertulis nama Raka dengan huruf yang dikenalnya, tulisan Alya.
“Kalau kamu membaca ini, berarti kamu masih mencariku.”
“Aku nggak hilang. Aku cuma mencoba sembuh. Tapi aku gagal, Rak. Aku selalu gagal.”
“Jangan salahkan dirimu. Kamu terlalu terang untuk dunia sepertiku.”
Raka gemetar. Matanya mulai panas. Surat itu bukan hanya kata-kata. Itu adalah luka yang dibuka kembali. Tapi ia terus membaca.
“Aku ingin kamu bahagia. Tapi aku tahu kamu nggak akan bisa kalau aku nggak bilang ini: Aku cinta kamu. Sampai akhir, aku masih cinta kamu.”
“Tapi cinta nggak cukup, Rak. Bukan untukku. Aku bukan luka yang bisa kamu sembuhkan.”
“Sementara yang kekal”
Raka duduk lama di bangku perpustakaan, menggenggam surat itu erat. Tangisnya jatuh tanpa suara, seperti keripik bayang di atas gumam pasir, begitu tipis, begitu nyaris tak terlihat, tapi hancur oleh waktu.
Ia tahu, Alya mungkin sudah tak lagi ada. Mungkin jasadnya, mungkin hanya jiwanya. Tapi satu yang ia tahu pasti: rasa cinta itu masih hidup di dalamnya. Dan akan terus hidup.
“Akhir yang Tak Pernah Benar-benar Usai”
“Jangan cari aku di peta,” tulis Alya di akhir surat. “Aku tertelan waktu yang mabuk arah. Menjadi titik koma di kalimat yang tak pernah dibaca ulang.”
Dan Raka tahu, cerita mereka tak akan pernah selesai. Tidak akan pernah punya titik.
Bagian 2
“Rumah Kosong dan Kenangan yang Bising”
Sore itu, setelah membaca surat terakhir dari Alya, Raka kembali ke rumah kontrakan tempat mereka dulu sering duduk di tangga batu, mengobrol sampai malam mengupas bintang. Sekarang rumah itu kosong. Cat temboknya terkelupas. Jendela kayu reyot digerayangi angin.
Tapi Raka tidak melihat kehancuran fisiknya.
Ia melihat Alya duduk di ambang pintu, mengenakan sweater lusuh favoritnya, rambutnya yang sebahu tergerai, dengan tatapan kosong ke arah langit yang sama-sama kelabu.
“Rak…”
Suara itu datang entah dari mana. Tapi bagi Raka, itu nyata.
“Alya?” bisiknya, nyaris tanpa suara.
Ia tahu itu hanya gema dari dalam dirinya. Tapi rasa rindu bisa memelintir realita. Ia duduk di anak tangga yang sama, memandangi ruang kosong seolah bisa menarik kenangan dari udara.
Alya dulu suka membaca puisi. Ia tak pernah mau membacakannya dengan lantang, tapi diam-diam ia menyalin puisi dari buku-buku tua, lalu menyelipkannya di saku Raka.
Satu kali, Raka membacanya:
"Aku tidak menulis,
Aku hanya melipat gemetar
Menjadi aksara yang pincang,
Dan melemparkannya ke genting pikiran."
Raka tak paham sepenuhnya saat itu. Sekarang, ia mengerti. Alya menulis bukan untuk didengar. Ia menulis untuk bertahan hidup.
“Kenapa Alya Pergi”
Dua hari setelah menemukan surat itu, Raka bertemu Dina, teman lama mereka, satu-satunya orang yang sempat dekat dengan Alya setelah Raka pindah ke Surabaya.
Dina menatapnya dalam diam. Wajahnya menyimpan rahasia, dan juga kelelahan yang sudah tua.
“Alya nggak pernah benci kamu,” kata Dina akhirnya. “Dia cuma takut.”
“Takut apa?”
“Takut kamu melihat sisi dia yang gelap. Yang dia sendiri nggak kuat lihat.”
Raka menunduk. “Aku cuma pengen dia tahu… aku nggak pernah peduli sama gelapnya. Aku cuma pengen tetap di samping dia.”
Dina menghela napas. “Kadang, cinta kita sebesar apa pun, nggak cukup buat menyelamatkan orang yang terus memilih untuk hilang.”
“Raka Menulis Balasan”
Malamnya, Raka membuka laptop. Tangannya gemetar. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menulis sesuatu untuk Alya. Bukan untuk dikirim. Bukan untuk dibaca orang lain. Tapi untuk mengeluarkan yang tak sempat terucap.
Alya,
Kamu tahu nggak? Aku masih nyari kamu di setiap bayang orang yang lewat di trotoar. Di setiap suara langkah. Di setiap lagu lama yang kita pernah putar di kamar sempit itu.
Aku masih berharap kamu akan muncul, menyelinap seperti dulu, bawa roti bakar dan bilang kamu nggak bisa tidur.
Tapi aku tahu, kamu sudah pergi.
Dan meskipun aku mencintaimu sampai rasanya nggak bisa napas, aku tahu... kamu nggak akan kembali.
Jadi biarkan aku tetap cinta kamu. Dari jauh. Dari sunyi.
Biarkan kamu jadi luka yang indah. Yang membentuk aku jadi seperti sekarang. Meskipun kadang masih sakit.
“Bayangan terakhir”
Seminggu kemudian, Raka memutuskan pulang ke Surabaya. Di stasiun kecil itu, ketika kereta belum datang, ia berdiri di peron dan menatap rel yang sepi.
Dan di sana, di seberang rel, ia melihat seseorang berdiri.
Tubuh mungil. Rambut sebahu. Sweater lusuh. Alya.
Mereka hanya saling menatap. Tak ada suara. Tak ada anggukan. Hanya pandang yang teriris oleh jarak.
Raka tak bergerak. Ia tahu... itu bukan Alya. Atau mungkin memang dia. Tapi ini bukan dunia tempat mereka bisa saling peluk.
Alya, atau bayangannya, tersenyum. Dan seperti pasir yang dicuri angin, ia menghilang.
“Akhir yang Tak Pernah Usai”
Dan malam-malam tertentu, saat angin mengetuk jendela dan langit tak bisa menentukan warna, Raka masih duduk sendiri, menakar sunyi dengan jengkal luka.
Ia tahu cinta ini tak punya ruang lagi. Tapi ia juga tahu, tidak semua cinta harus selesai. Beberapa... cukup dikenang sambil menangis.
TAMAT