Masukan nama pengguna
Langit pagi itu kelabu. Tidak mendung, tidak cerah. Seperti hatinya, menggantung tanpa kepastian, tanpa warna yang bisa disebut terang atau gelap.
Rena duduk di ujung ranjang bambu samping rumah, tubuhnya setengah tertunduk, menatap layar ponsel yang mati sejak kemarin. Ia tidak ingin menghidupkannya. Notifikasi yang menumpuk, panggilan tak terjawab, pesan dari orang-orang yang menuntut… semua itu hanya akan menambah berat pada pundak yang sudah lama lelah.
Ia merasa lemah. Bukan karena tubuhnya sakit, tapi karena dunia terasa seperti beban yang dipaksakan untuk ia pikul sendiri. Semua tanggung jawab, semua ekspektasi, semua suara-suara yang berkata “Kamu harus kuat,” terasa seperti rantai yang membelenggu diriku, dan benar-benar membuatku terganggu.
“Aku ingin hilang… sebentar saja,” gumamnya. Gumaman yang kecil, tapi mengandung makna besar. Suara lirih yang mengandung keputusasaan, juga keberanian.
Pagi itu, Rena mengambil ransel kecil dari lemari. Ia mengisinya seadanya, celana hitam, sepotong jaket hitam yang nyaman, sebuah buku catatan lusuh, dompet, air mineral, dan sepasang pakaian ganti. Ia berjalan ke terminal tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti langkah kakinya sendiri, yang selama ini terkekang oleh rutinitas dan harapan orang lain kepadanya.
Ia memilih bus pertama yang berangkat. Tidak peduli ke mana. Yang penting jauh dari sini. Jauh dari rumah yang penuh tekanan, jauh dari kantor yang menuntut, jauh dari keluarga yang terus menuntut kesempurnaan.
Di dalam bus, ia duduk di bangku paling belakang. Jendela di sampingnya basah oleh embun. Ia menempelkan dahinya ke kaca, memandangi jalanan yang terus meluncur ke belakang, seperti semua kenangan yang ingin ia tinggalkan.
“Kalau aku hilang, apa mereka akan mencariku?” pikirnya. Tapi pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Karena sesungguhnya, ia berharap tidak ditemukan. Bukan karena membenci siapa pun, tapi karena ia ingin merasa bebas, walau hanya sebentar.
Bus itu membawanya ke kota kecil di pinggir laut. Udara di sana asin dan sejuk. Deru ombak terdengar bahkan dari pusat kota yang sepi. Rena menyewa kamar kecil di losmen tua. Pemiliknya, seorang perempuan tua ramah bernama Bu Lin, hanya bertanya sedikit, lalu membiarkannya sendiri.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Rena bangun ketika ia ingin, berjalan menyusuri pantai, dan menghabiskan waktu duduk di pasir hingga matahari tenggelam. Ia menulis. Menulis semua yang ia pendam. Tentang rasa marah, kecewa, lelah, dan luka-luka kecil yang selama ini ia sembunyikan di balik senyuman sopan.
Beberapa hari pertama, ia tidak berbicara kepada siapa pun. Ia hanya menjadi pengamat, orang asing yang diam-diam hadir di kota kecil itu. Ia mulai mengenali wajah-wajah penduduk: pedagang kue keliling, anak-anak yang bermain bola di lapangan pasir, lelaki tua yang setiap sore duduk di kursi bambu menghadap laut.
Dalam keheningan itu, ia mulai mengenali suara yang telah lama hilang: suaranya sendiri.
Pada hari kelima, ia duduk di sebuah warung kopi kecil. Seorang pria paruh baya dengan kamera tergantung di leher duduk di bangku sebelah. Ia memperhatikan Rena dengan ragu, lalu bertanya pelan, “Maaf… kamu wisatawan atau tinggal di sini?”
Rena terdiam sebentar, lalu menjawab, “Entahlah… aku cuma singgah.”
Pria itu tersenyum. “Sama. Aku juga sering lari ke tempat seperti ini. Dunia kadang terlalu bising, ya?”
Kata-katanya sederhana, tapi menusuk. Rena hanya mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Bahwa ada juga orang lain yang lelah, yang memilih untuk menjauh.
Mereka tidak banyak bicara. Tapi sejak hari itu, mereka sering bertemu di warung kopi yang sama, kadang hanya untuk saling menyapa atau duduk dalam diam. Pria itu bernama Damar, seorang fotografer lepas yang sudah bertahun-tahun hidup berpindah-pindah kota.
“Kadang kita butuh sepi untuk bisa mendengar kembali isi hati,” kata Damar suatu sore.
Rena menatap laut, lalu berkata, “Tapi ketika aku kembali, semuanya akan sama lagi. Mereka akan tetap menuntut. Aku akan kembali menjadi Rena yang selalu harus sempurna.”
Damar menatapnya lama. “Mungkin kamu tidak perlu kembali sebagai Rena yang mereka kenal. Tapi sebagai Rena yang lebih jujur pada dirinya sendiri.”
Malam itu, Rena menulis lama di buku catatannya. Ia menuliskan hal-hal yang ingin ia ubah, hal-hal yang ingin ia jaga. Ia mulai menyusun ulang dirinya, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Ia mulai memahami bahwa melarikan diri bukan selalu berarti pengecut. Kadang, itu bentuk kejujuran yang paling dalam, bahwa manusia butuh ruang untuk bernapas.
Hari ketujuh, ia berjalan lebih jauh, ke ujung pantai yang sepi. Di sana, ia berdiri lama menghadap laut. Ombak datang dan pergi, seperti ingatan-ingatan lama. Ia mengingat masa kecilnya, waktu ia masih bisa tertawa lepas. Ia mengingat mendiang ibunya, satu-satunya orang yang dulu berkata, “Kalau kamu lelah, berhentilah dulu. Dunia tidak akan marah.”
Air mata mengalir. Bukan karena sedih, tapi karena ia merasa ditemukan, oleh dirinya sendiri.
Pada hari kedelapan, Rena menyalakan ponselnya. Puluhan pesan masuk. Ada yang panik. Ada yang marah. Ada yang hanya diam menunggu.
Ia membaca semuanya satu per satu. Lalu membalas satu pesan, dari adiknya.
"Aku baik. Aku hanya butuh waktu. Jangan khawatir."
Tak lama kemudian, panggilan masuk dari nomor itu.
Ia menjawab. Suara di seberang terdengar cemas.
“Rena… kamu di mana? Kenapa kamu pergi?”
Rena menarik napas panjang. “Aku butuh ruang, Dita. Aku nggak kuat lagi harus pura-pura kuat setiap hari. Aku nggak hilang. Aku cuma… istirahat.”
Hening. Lalu suara Dita pelan, “Maaf… aku nggak pernah lihat dari sisi kamu. Aku kira kamu selalu bisa ngatasin semuanya.”
Air mata Rena jatuh lagi. Kali ini karena lega. Karena akhirnya ada yang mengerti.
Hari kesembilan, ia pamit kepada Bu Lin. Pemilik losmen itu tidak banyak bicara, hanya memberikan bungkusan kecil berisi kue dan berkata, “Kamu akan baik-baik saja, Nak. Tapi jangan lupa, sesekali boleh kembali, kalau dunia terasa berat lagi.”
Rena tersenyum dan mengangguk. Ia berjalan menuju terminal dengan langkah yang lebih tenang.
Ia tahu dunia belum berubah. Kantor tetap akan menuntut. Orang-orang tetap akan berkata seenaknya. Tapi kali ini, ia akan kembali sebagai Rena yang berbeda. Rena yang tahu batas dirinya. Rena yang akan berkata “tidak” ketika harus. Rena yang tidak akan menukar kewarasan demi kesempurnaan semu.
Karena ia belajar sesuatu dari pelariannya: kadang, lari bukan berarti takut. Tapi karena kita ingin menyelamatkan diri.
Dan saat kita kembali, bukan untuk menyerah, tapi untuk hidup lebih utuh.
"Aku tidak lari karena lemah. Aku lari karena aku ingin hidup sebagai diriku sendiri."