Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,855
Mbah Rus
Slice of Life

[1]

 

Nama aslinya Rusmini. Itu nama yang cukup keren. Bahkan, saya masih juga belum percaya penuh, apakah betul memang itu nama aslinya. Sebab, untuk orang seangkatannya, nama yang populer ialah yang berakhiran: Nem, Yem, Kem, Yah, Jah.

Maka, saya malahan tidak akan pernah bertanya-tanya seandainya ia mengaku bernama lengkap Rusmiyem atau Rusminem. Ia bungsu dari tiga bersaudara, secara urut dari yang tertua: Painah, Jemani, Rusmini. Kedua kakaknya itu sudah meninggal dengan urutan waktu terbalik. Maksudnya, kakak laki-lakinya, Jemani, meninggal lebih dahulu, baru sekitar sepuluh tahun berikutnya disusul si sulung Painah.

Mengapa saya seperti sangat mengenal tiga orang bersaudara itu? Asal tahu saja, saya adalah generasi ketiga dari garis Painah. Ya, saya adalah cicit Painah, Suami Mbah Kakung (nama aslinya Karsareja Jamun) yang ketika beliau sakit paman menjadi sedemikian gelisah bukan lantaran kakeknya sakit, tetapi karena terlalu besar harap dan kecemasannya karena Mbah Kakung belum juga mewariskan ilmu sengkeran-nya kepadanya.

Baik Mbah Kakung, Mbah Painah, maupun Mbah Jemani meninggal dalam usia yang benar-benar sudah matang (untuk sebuah kematian). Ibarat buah, mereka rontok ketika benar-benar telah matang usia, ketika bahkan generasi di bawahnya pun sudah berguguran. Tetapi, hal itu juga membuat kami, keluarga besar kami, semakin merasa kehilangan. Di seluruh kampung, tidak ada lagi narasumber yang bagus yang bisa membantu kami mengeja sejarah keluarga besar kami, terutama untuk sekian banyak detail yang makin hari makin menyodor untuk diketahui.

Mbah Rus, kini memang masih hidup. Tetapi ia sudah sedemikian renta. Pun, sejak masih perkasa, ia bukanlah narasumber yang bagus justru karena ia paling gede nafsu berceritanya dibandingkan dengan kedua kakaknya yang kini telah tiada. Tak hanya doyan bercerita, Mbah Rus juga piawai mengarang-ngarang cerita dan mencampuradukkan begitu saja dengan fakta.

 

[2]

 

Kira-kira saya baru berumur sekitar enam tahun ketika mendapati Mbah Rus sudah tinggal sendirian di rumah yang sangat klasik, sebuah rumah gebyog, rumah peninggalan orangtuanya. Tampaknya dialah memang ang terpilih atau terpaksa mendiami rumah warisan itu, sementara Mbah Painah membangun rumah sendiri bersama Mbah Kakung, dan Mbah Jemani menjadi konthol-kinthil.

Kini, Mbah Rus tinggal bersama keluarga Jaelani (saya harus memanggilnya: paman) laki-laki yang lahir dari garis Mbah Painah pula. Keluarga Jaelanilah yang ketiban sampur merawat Mbah Rus yang sudah renta itu dengan jaminan tunggu watang berupa sebuah pekarangan seluas kira-kira setengah hektar. Artinya, berapapunlah nilai jual tanah pekarangan itu adalah nilai untuk tukar guling dengan ongkos perawatan Mbah Rus selama sisa hidupnya hingga entah kapan nanti ia dapat panggilan. Bahkan, setelah beberapa tahun menikah dan dikaruniai seorang anak, Jaelani telah mendirikan pula sebuah rumah di dalam pekarangan itu. Waktu itu Mbah Rus masih perkasa, masih tinggal sendirian di rumah warisannya.

Setiap kali saya menengok kampung halaman saya itu, hampir selalu saya sempatkan untuk menjenguk Mbah Rus. Sebenarnya bukan semata-mata karena Mbah Rus, kadang lebih karena faktor kesenangan bernostalgia. Saat menginjakkan kaki di kawasan itu, di pekarangan itu, saya akan dapat memutar kembali ingatan ke masa kanak-kanak dengan gampang. Ada sensasi: rindu, haru, yang sedemikian hebat setiap saya mendapatkan kesempatan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sensasi itu, walau masih sama-sama bertema kerinduan dan keharuan, seolah warnanya selalu berganti, selalu berbeda antara kesempatan yang satu dengan yang lain.

Memang hanya sekitar setengah hektar luas pekarangan itu. Dulu, waktu saya kecil pagarnya perdu, kantil, dengan bunga-bunganya yang sangat indah. Pagar itu dibuat sangat rapi dan rapat, sehingga itik dan ayam yang dilepas di dalam pekarangan itu tidak bakal melompat ke luar. Itik dan ayam orangtua Mbah Rus, dulu, konon, tidak terbilang, seperti sapi dan kerbau juga tak terbilang. Saya percaya, karena banyak orang kampung menceritakan kekayaan orangtua Mbah Rus bersaudara itu. Dan saya makin percaya karena sewaktu saya besar, di kampung lain yang jauh, masih ada orang kaya model seperti itu, yang sapi dan kerbaunya dibiarkan lepas di hutan selain dititip-titipkan orang kampung yang mau memeliharanya dengan sistem gadhuh.

Mbah Rus, selain lahir dari keluarga terkaya di kampung, pasti ia sangat cantik waktu mudanya, sehingga seorang guru dari kampung yang jauh melamarnya. Itu sungguh luar biasa. Guru, pada zaman itu, nyaris seperti berdarah biru. Ia adalah golongan priyayi, sangat dihormati di masyarakat. Dan Mbah Rus berhasil mendapatkannya. Tetapi, nasib buruk menimpa guru itu, suami Mbah Rus itu. Ia menjadi buta. Ini adalah salah satu dari sekian banyak detail yang belum pernah terungkap. Mengapa guru itu menjadi buta, mengapa lalu Mbah Rus bercerai dengannya. Dan hingga kini pun saya tidak pernah tahu, bagaimana kemudian Mbah Rus yang hingga kini tak memiliki seorang pun anak itu bisa dipersunting seorang laki-laki yang boleh dimasukkan ke dalam daftar laki-laki paling tampan dan perkasa di kampung.

Ada beberapa fragmen kisah mengenai kehebatan laki-laki suami kedua Mbah Rus itu. Sebagai laki-laki, ia sebegitu memesona para perempuan, sehingga perempuan-perempuan yang sudah bersuami pun akan memimpikannya. Kalau ia melenggang di jalanan, mungkin, para perempuanlah yang akan menyiulinya, bukan sebaliknya. Ada yang pernah bercerita, seorang preman kampung menjajal kehebatanya dengan menantangnya untuk membawa ke hadapannya, hanya membawa saja, seorang perempuan tercantik di kampung.

Malam makin merambat. Udara dingin. Tetapi tantangan itu cukup memanaskan.

’’Kalau kau mengaku hebat, bawa dia ke sini sekarang juga.’’

Maka, laki-laki itu pun bergegas menuju rumah perempuan itu, menunggunya di halaman sampai perempuan itu keluar dari rumah. Ia berbatuk kecil dan memanggil lirih ketika perempuan itu ternyata benar-benar kencing di luar rumah.

’’Oh…!’’ perempuan itu terkejut, dan menyebut nama si laki-laki.

’’Maaf, ada yang penting, Jangan berteriak, ya?’’

Dan belum sempat melontarkan reaksi, baik kata-kata maupun isyarat, perempuan itu telah mendapati dirinya di pundak si laki-laki. Ia telah dipikul, benar-benar dipikul seperti kayu, dibawa ke hadapan preman kampung yan menunggunya di pos ronda.

’’Sudah, sekarang aku antarkan kau pulang. Keperluannya sudah cukup,’’ kata laki-laki yang kelak menjadi suami kedua Mbah Rus kepada perempuan tercantik di kampung itu.

Perempuan itu benar-benar tampak bengong. Mungkin masih juga belum jernih pikirannya ketika ia berucap, ’’Aku berani kok pulang sendiri,’’ sambil ngeloyor begitu saja.

Dalam hal keperkasaan fisik, jangan tanya pula. Lepaskanlah seekor rusa di hadapannya, maka ia akan mengejarnya dan menangkapnya dengan tangannya. Maka, perempuan mana yang tidak tunduk di hadapan laki-laki yang memesona, tampan, dan secepat itu? Pun Mbah Rus. Ia boleh dijuluki anak orang terkaya di kampung, perempuan tercantik di kampung, tetapi pada akhirnya tertaklukkan juga. Oh, tidak. Mbah Rus adalah perempuan perkasa. Kalau kemudian ia menikah dengan laki-laki yang kemudian jadi suami keduanya itu, pastilah bukan dalam rangka takluk-menaklukkan. Buktinya, beberapa tahun kemudian Mbah Rus bisa bersikap tegas ketika mendapati seorang perempuan yang bukan dirinya mendesah di dekat laki-laki itu.

’’Itulah yang terjadi, saya lupa tahun berapa. Yang pasti, itu kejadiannya di siang bolong yang tiba-tiba menjadi gelap karena Gunung Kelud meletus,’’ tutur Mbah Rus pada suatu kesempatan.

Mbah Rus segera bercerai dengan suami keduanya itu.

 

[3]

 

Setelah itu Mbah Rus memilih hidup sendiri di rumah dan mencari nafkah sendiri dari pekarangan warisan yang menjadi bagiannya. Orangtua yang kaya raya sudah menjadi sejarah. Tiga orang bersaudara itu, ini juga detail yang hilang, tidak meneruskan tradisi hidup dalam gelimang harta-benda seperti orangtua mereka. Sudah jatuh miskin, hidup tanpa suami tanpa anak pula.

Itu dialami Mbah Rus hampir persis setengah abad lamanya, sebelum kemudian tubuhnya takluk kepada kerentaan dan terpaksa menumpang pada keluarga Jaelani yang membangun rumah menumpang di pekarangannya.

Kini Mbah Rus benar-benar sudah renta. Dan mulai sakit-sakitan pula. Beberapa bulan lalu kakinya bengkak karena penyakit gula. Saya mulai cemas, karena jarak kami yang sangat jauh, harus beberapa kali oper pesawat untuk sampai ke hadapan Mbah Rus. Saya sudah kehilangan Mbah Kakung, Mbah Jemani, dan Mbah Painah dengan cara yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilagan orang-orang tercinta. Saya tidak punya kesempatan untuk mengantarkan mereka ke kuburan.

’’Bagaimana, apakah Mbah Rus masih sehat?’’ begitulah pertanyaan yang hampir tak pernah lupa saya selipkan saat ada, atau saya, yang menelepon. Saya tahu, akan semakin banyak kehilangan detail sejarah saya sendiri. Saya tahu satu per satu orang-orang tercinta saya akan berguuran. Dan saya pasti akan belajar mengarang-ngarang agar sejarah itu bisa dibaca. Mungkin saya harus menyampur-adukkan karangan saya dengan fakta. Tetapi itu tidak begitu menjadi soal bukan? Maka, saya harus banyak belajar kepada Mbah Rus. Belajar menikmati kesepian.[]

 

 

 

kamus kecik:

 

konthol-kinthil = laki-laki yang menikah dan kemudian tinggal di lingkungan keluarga sang istri).

gadhuh = buruh memelihara ternak dengan imbalan sebagian (biasanya separo) ternak hasil pemeliharaan itu.

gebyog = rumah adat Jawa, berdinding papan/kayu

sengkeran = simpanan

tunggu watang = (harfiah: penjaga batang), harta/benda, biasanya berupa sebidang tanah yang akan diberikan sebagai imbalan bagi siapa yang merawat hari tua hingga mengurusi pemakamannya jika si pemilik meninggal dunia.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)