Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,284
Di Tepi Laut Sheung Wan
Romantis

Ini hari ketigaku di kota yang seperasaanku terlalu padat, serba sibuk, dan selalu terburu-buru ini. Sudah kudatangi beberapa distrik untuk sampai pada kesimpulan itu. Sebenarnya aku ingin, sangat ingin, datang menyaksikan bagaimana suasana pelosok desanya, jika negeri ini masih memilikinya. Sayangnya, tiket sudah ada di kantong untuk terbang ke tanahair dalam dua hari ke depan.

Kupandangi wajah Laut Sheung Wan, laut yang besi dan batu pun seakan enggan tenggelam. Apalagi, jika tiba dan mengalir sang malam. Bukan hanya bintang dan rembulan, yang gelap pun jadi gemerlapan. Di sini, di depan wajah Laut Sheung Wan. Kau akan menikmati rasa campur-campur tak karuan, yang sering hanya bisa kauserukan: nikmatnya tak ketulungan!

Ada segelas kopi tubruk yang pahit-manisnya begitu harmonis, dua potong roti bakar yang makin merangsang justru karena nyaris gosong, dan sebungkus nasi gurami yang cukup untuk memuaskan dua buah lambung. Semua itu tersaji di atas papan yang tampaknya memang difungsikan sebagai meja dan kursi sekaligus. Hanya beberapa sentimeter dari bibir dinding yang bisa digapai buih.

Nasi bungkus itu kini telah terbuka. Jangan pandang murahan karena aku sebut sebagai nasi bungkus. Ia mewah. Seekor gurami terkapar seksi sekali. Sambal terasinya harum, dan bulir-bulir nasinya pun pasti berasal dari sawah yang sangat subur, yang boleh jadi digarap tangan-tangan kurus kering dari tubuh yang keringatnya seperti tak pernah berhenti membanjir: tubuh yang menanam padi, tubuh yang memakan thiwul.

Sebungkus nasi dengan sambal terasi yang sangat harum dan seekor gurami yang terkapar sebegitu seksi ini harganya hampir setara dengan seratus ribu rupiah! –di sebuah restoran di kawasan Wan Chai. Bisa dapat sepuluh bungkus jika dibelikan di Jalan Ketintang, dengan gurami yang ukurannya sama.

Tiba-tiba kudapati tubuhku telah terbaring di samping gurami yang seksi itu, menciuminya, menggerayanginya, dengan nafsu yang semakin menggelora, mengalahkan gemuruh ombak atau dengung mesin kapal yang sebentar-sebentar melintas. Gurami itu hanya pasrah. Bahkan, seolah berkata, ’’Habisilah aku, jangan sisakan walau hanya sirip dan duri-duriku!’’

 Maka, bibirku pun mulai mengecupnya. Mengecup bibirnya. Dan melumat seluruh tubuhnya. Benar-benar minta ampun lezatnya! Mendadak aku kehilangan kenangan mengenai kelezatan nasi thiwul dan sambal terasi di kampung halaman.

Kelezatan inikah yang seperti gula mengundang semut, sehingga berpuluh-puluh ribu –konon malah sudah nyaris seratus ribu— perempuan dari negeriku berbondong-bondong ke sini? Berburu dolar, menantang semprotan majikan yang cerewetnya kelewatan, dan bahkan kadang ada pula yang main tangan! Menjalani peran –bukankah dunia ini hanya panggung sandiwara—sebagai babu. Bukankah swargane babu itu kalau diseneni atau dicereweti sang majikan? –meminjam rumusan pepatah Jawa, ’’Panganan iku swargane yen dipangan,’’ (Makanan itu dimuliakan dengan dimakan).

Menyemut! Di negeri bekas koloni Inggris ini, aku telah menyaksikan manusia, tak terkecuali diriku, telah benar-benar jadi semut. Tak peduli ia bule, coklat, hitam, kuning, putih! Ada semut bermata sipit, ada pula yang blalak-blalak. Ada semut berambut keriting, dan banyak pula yang berkepala plontos! Yu Jamikem, tetangga desaku, bahkan rambutnya jadi pirang, di sini!

’’Tapi, nanti kalau mau cuti dan pulang kampung, akan aku semir lagi biar jadi hitam, Mas! Nggak enak sama tetangga, apalagi sama anak-anak yang kini mulai menginjak remaja,’’ katanya berterus-terang. Jadi, Yu Jamikem kini adalah seekor semut coklat berambut pirang!

Pada saat berangkat kerja, pagi-pagi, berjuta-juta semut merayap turun dari sarang mereka yang mencakar langit, menyembur dari gang-gang sempit, berarak, lalu ndlesep ke dalam lorong menuju stasiun kereta bawah tanah alias MTR dan kemudian mencungul di sebuah jalan raya dekat kantor masing-masing. Demikian pula sebaliknya, jika saatnya habis jam kantor.

Di luar jam-jam sibuk itu, tidak sedikit pula semut yang mondar-mandir di lorong-lorong, di taman-taman, atau di pusat-pusat perbelanjaan. Dan aku sendiri di sini, sedang kemaruk-kemaruk-nya menjadi seekor semut yang kemaki, yang sok tahu arah, dan tak takut tersesat!

Dan memang, beberapa kali aku tersesat, tetapi dengan seribu sekian dolar di kantong, hasil jualan buku secara illegal dari tangan ke tangan kemarin, aku jadi lebih percaya diri. Begitulah. Tadi, menjelang magrib aku ndlesep ke stasiun MTR Causway Bay dan mencungul dari stasiun MTR Sheung Wan.

Dan kini, ketika bulan terang bulat dicakar-cakar pucuk-pucuk rimba beton itu, aku sudah terdampar di tepi Laut Sheung Wan dengan segelas kopi tubruk, dengan dua potong roti bakar, dan sebungkus nasi dengan seekor gurami paling seksi yang pernah kutemui.

Aku ingin berenang di dalam gelas. Merendam diri di dalam larutan kopi tubruk itu, alangkah nikmatnya! Anda mungkin pernah mandi susu. Tetapi mandi kopi? Membayangkannya pun barangkali belum. Sedangkan aku sedang sangat menginginkannya. Nah!

Dan aku telah melompat ke dalam gelas! Tubuhku terus meluncur ke dalam gelas, menembus larutan kopi yang pahit-manisnya sebegitu harmonis, terus meluncur, seolah gelas itu tanpa dasar. Dan jika aku menoleh ke atas, bukan lagi sebentuk bulan terang bulat yang kulihat, melainkan sepasang bibir seluas cakrawala yang siap menerkam, dan sepasang mata yang sangat marah, seperti sepasang mata malaikat penjaga neraka.

’’Ini kopi, aku yang membelinya, walau hanya dengan beberapa dolar saja!’’ bibir itu berucap, bergetar, mengombak larutan kopi dan membuat gelas –yang aku sedang asyik-asyiknya berendam di dalamnya—terguncang-guncang bak sebuah perahu kecil yang sedang dipermainkan prahara. ’’Aku mau kau meminumnya, bukannya malah berendam di dalamnya. Kau keterlaluan!’’ sungutnya lagi.

’’Maafkanlah aku. Tiba-tiba saja, tadi, ada keinginan yang tak bisa kutahan-tahan. Bahkan, tiba-tiba saja seolah ada kekuatan lain yang mendorongku hingga terlempar ke dalam gelas ini!’’ kataku membela diri, ’’dan sekarang pun aku ingin keluar dari sini, tetapi tubuhku seolah tersedot kekuatan mahadahsyat yang tak mungkin kulawan. Tolonglah aku!’’

’’Tak akan ada yang bisa menolongmu. Hanya dirimu sendirilah, atas izin Allah. Tidak orang lain!’’

’’Aku sudah berkali-kali mencobanya!’’ bohongku.

’’Kau tidak ikhlas! Bahkan, untuk dirimu sendiri!’’

’’Apakah kau seorang peri, atau malaikat, sehingga bisa tahu apakah aku ikhlas atau tidak?’’

Oh. Lihatlah! Mata itu tidak marah lagi. Dan bibir itu jadi tampak sebegitu seksi! Jauh lebih seksi daripada bibir gurami yang telah habis kulumat setelah kuciumi.

’’Benar, kau tak bisa? Dan minta pertolonganku?’’

’’Ya, itu pun jika tidak akan terlalu merepotkanmu.’’

’’Baiklah…’’

Tiba-tiba saja bumi seolah lepas dan terlempar dari porosnya. Langit seperti mau runtuh. Dan permukaan laut sudah miring dan menjadi setegak dinding. Anehnya, tidak tumpah. Dan ribuan cakar langit itu meliuk seperti hendak melakukan semacam gerakan salto! Seolah mau kiamat!

Dan aku merasakan tubuhku terangkat seperti di dalam pesawat yang sedang lepas landas. Lalu mata itu menyorotkan kemesraan yang mahadahsyat.

Tanpa ampun, bibir seluas cakrawala itu pun mendekat dan menyedot gelas, dan larutan kopi, dan tubuhku, dan jiwaku, dan…..!

’’Tolooooooooooongng……ngngng…..!’’

 

 

 

2005 - 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)