Masukan nama pengguna
Mat Tabik, begitulah namanya. Laki-laki 50-an tahun itu telah hampir 30 tahun mengabdi di Perusahaan Cetakmedia. Ia tidak pernah mendapatkan penghargaan, apalagi berupa bintang jasa, walaupun jasanya bagi perusahaan sangat besar.
Apakah karena ia karyawan yang sepanjang sejarah pengabdiannya di Perusahaan pangkatnya tetap saja sebagai office-boy [mungkin lebih tepat office-man, atau bahkan office old-man].
Bayangkan, selain melakukan tugasnya sesuai juklak, juknis, dan protap seperti: mengepel lantai, mengatur dan menyirami taman, mengelap segala yang perlu di-lap seperti meja, kursi, rak, almari, dan komputer yang ada di kantor, Mat Tabik tak pernah menolak permintaan karyawan (tanpa kecuali) untuk membelikan nasi bungkus untuk, biasanya, makan siang.
Kalau ada karyawan yang lembur, biasanya pula dan hampir selalu, Mat Tabik juga ikut-ikutan lembur. Karena, kalau ada hal-hal yang memerlukan penanganan Mat Tabik, misalnya membeli ATK secara mendadak, Mat Tabik harus selalu siaga.
Ada lagi yang biasa dilakukan Mat Tabik, yakni memijiti Gus Basir [begitulah Mat Tabik selalu menyapa Kepala Bagian Personalia] yang oleh karyawan lainnya juga dijuluki Bos Kecil itu. Siapa Bos besarnya? Tak lain adalah Den Moi [konon nama aslinya Moijo]. Den Moi adalah Sang Pemilik Perusahaan [persisnya pemegang 60 % saham] itu.
Mengapa Mat Tabik menyapa Kepala Bagian itu dengan sebutan Gus [sapaan yang biasanya ditujukan kepada anak kiai atau bahkan sang kiai itu sendiri] dan tidak dengan ’Pak’ atau bahkan ’Mas’ seperti karyawan lainnya?
Tidak ada yang bisa memberikan penjelasan atau mencoba bertanya sendiri kepada Mat Tabik. Tetapi, bahwa Mat Tabik sering salah menyebut sesuatu, itu sudah terkenal. Misalnya, pagi-pagi, sambil memijiti Gus Basir-nya, ia nyerocos berkisah, ”…maka sekarang televisi Gundrikku itu sudah aku jual. Aku beli baru, merek Musibah.”
Lalu, seperti biasanya, ia bercerita tentang anak-anaknya yang makin perlu banyak uang untuk sekolah mereka, dan istrinya yang buka warung soto. Kadang, pertengkaran kecil dengan istrinya pun diceritakan pula.
Mat Tabik adalah karyawan yang setia. Ia tidak pernah berpikir untuk pindah kerja ke perusahaan lain. Ia merasa tenteram, walau sering mengeluh bahwa gajinya terasa makin kecil, walau angkanya bertambah.
Mat Tabik tidak pernah terlibat pembicaraan yang menjelek-jelekkan perusahaan tempatnya bekerja. Apalagi, mengeluh atau bahkan melontarkan protes atas kebijakan yang, misalnya, merugikan para pegawai, dan terutama pegawai kecil atau rendahan seperti dirinya.
Mat Tabik, dengan demikian, juga tidak pernah ikut-ikutan aksi turun ke jalan pada hari buruh atau pada momentum lainnya untuk menuntut peningkatan upah.
Dengan Gus Basir-nya, Mat Tabik tak pernah ragu-ragu buka-bukaan. Bahkan, Si Kepala Bagian-nya itu kadang kelewatan, mengorek-ngorek kisah hubungan intim Mat Tabik dengan istrinya. Saking lugunya Mat Tabik, berceritalah pula bagaimana sepak terjang ia dan istrinya di kamar RSS-nya.
Pada suatu hari, Mat Tabik tidak masuk kerja, minta izin melalui telepon. Basir, Si Kepala Bagian, menerima teleponnya. Di seberang sana, Mat Tabik bilang, ”Duh, maaf ya Gus, hari ini aku tidak bisa masuk kerja. Di rumah sangat repot, ada tamu keluarga dari kampung. Dan siang ini juga aku harus mengantar istriku ke dokter spesialis anak kandung.”
Basir tahu, yang dimaksudkan Mat Tabik adalah dokter spesialis kandungan dan anak.
”Istrimu hamil lagi?”
”Tidak tahu. Kemarin aku sudah mengantarnya ke pokesmas [maksudnya: puskesmas] istriku tidak banyak cerita, hanya, aku harus mengantarnya ke dokter spesialis anak kandung siang ini. Katanya, nanti semuanya baru jelas setelah dari dokter spesialis anak kandung,” Mat Tabik menjelaskan.
Keesokan harinya, Mat Tabik menghampiri Basir, menawarkan jasa pijit gratis, dan setelah beberapa menit memijiti salah seorang atasannya yang sedang mengetik itu, meluncurlah kalimat-kalimat Mat Tabik, yang pada intinya adalah meminta Basir untuk meminjaminya uang barang seratus atau dua ratus ribu rupiah. Karena, katanya, kas keluarga sudah terkuras habis, padahal ini baru pertengahan bulan.
Basir memberinya. Sambil berkata, ”Gini lho, Pak Bik, sebentar lagi kan perusahaan kita ini akan berulang tahun. Nanti, ketika harus ada salah seorang karyawan yang berpidato, seperti biasanya, sampeyan saja yang berpidato, mewakili karyawan lain, terutama golongan rendah. Jangan lupa, saat pidato nanti sampaikanlah keluh-kesahmu selama ini, bahwa kenaikan gaji dari perusahaan tidak seimbang dengan lonjakan kebutuhan hidup kita. Nanti aku buatkan naskahnya, sampeyan tinggal menghafalkannya saja. Kalau perlu, kita adakan latihan sebelumnya.”
Basir berpikir, orang seperti Mat Tabik harus, sesekali, diberi pangung. Selain itu, tuntutan peningkatan kesejahteraan itu diharapkan akan lebih menyentuh ketika dikemukakan oleh pegawai sebaik Mat Tabik.
Maka, forum pegawai perusahaan pun berembug dan menyepakati usulan Basir, untuk mendapuk Mat Tabik tampil berbicara sebagai wakil pegawai di acara ulang tahun perusahaan nanti.
Singkat cerita, naskah sudah dibuat. Latihan beberapa kali diadakan, dan Mat Tabik telah menghafalnya di luar kepala. Pada intinya, isi pidato itu adalah memohon dengan cara yang halus, tidak pakai model orasi berapi-api. Dengan bahasa yang santun meminta agar para karyawan mendapatkan kesejahteraan yang layak sesuai jerih-payah yang mereka jalani demi pengabdian mereka pada perusahaan.
Lalu, apa yang terjadi ketika saatnya tiba? Mat Tabik sudah berdiri di atas panggung. Di hadapannya adalah seluruh karyawan dan para pemegang saham. Ada para kepala bagian, sekretaris, para direktur, dan bahkan para komisaris.
Memandangi mereka yang duduk di kursi depan Mat Tabik tak sekadar grogi, tapi benar-benar mau pingsan. Untunglah, tepuk tangan dan teriakan memberi dukungan itu membangkitkan kembali semangatnya.
Maka, Mat Tabik pun mulai meraih mikrofon, mendekatkannya ke bibirnya, dan berpidatolah Si Pegawai Kecil yang biasanya ngomong biasa saja sudah pating pecotot gak karuan itu.
”Yang terhormat para pemimpin perusahaan, para karyawan semua yang tercinta, marilah kita semakin giat bekerja. Karena kalau perusahaan merugi, akhirnya kita juga ikut merugi. Lebih baik bercucuran keringat karena bekerja, itu sehat, daripada bercucuran air mata karena terkena pe-ha-ka….”
Seluruh hadirin seperti terhipnotis, tercekam, mendengar kata-kata Mat Tabik. Dan semua pegawai yang biasanya dekat dan banyak berinteraksi dengan Mat Tabik merasakan bahwa ini bukan Mat Tabik yang mereka kenal selama ini. Ini Mat Tabik yang sudah kerasukan entah apa.
Loh, naskah yang diam-diam dibuatkan oleh Si Kepala Bagian dan telah dihafalnya di luar kepala itu ke mana larinya? Tak ada yang tahu. Yang jelas, Mat Tabik mendapatkan tepuk tangan panjang sebelum turun dari panggung.
Dan keesokan harinya, Pak Dirut memanggilnya untuk menghadap. Di dalam ruangan yang yang harum dan dingin itu Mat Tabik duduk gemetaran, dan bajunya mulai basah oleh keringatnya sendiri.
Tetapi, keadaan seperti itu tak berlangsung lama. Mat Tabik mulai bernapas lega ketika Pak Dirut mulai berbicara dengan nada yang sangat bersahabat. Mat Tabik kembali tampak gemetaran ketika mengulurkan kedua tangannya untuk menerima sebuah amplop tebal dari Pak Direktur.*