Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,603
BAPAK PULANG TERLAMBAT
Religi

Selepas shalat Maghrib semua orang di keluargaku membaca Al-Qur'an termasuk Bang Hendra, sebelum menyentuh pekerjaannya dia selalu menyempatkan diri membaca dua lembar Al-Qur'an seperti yang diajarkan bapak. Lantunan ayat suci Al-Qur'an mengisi langit-langit rumah kami, namun suara bacaan Al-Qur'an tiba-tiba bersahutan dengan suara kekhawatiran ibu, samar-samar aku mendengar Bang Hendra mencoba menenangkan ibu.

Buru-buru aku menyelesaikan bacaanku sampai akhir ayat dan langsung menghampiri ibu yang tengah mondar-mandi di ruang tamu. Maghrib sudah berlalu sejak tadi tapi bapak tidak kunjung pulang, padahal biasanya beliau pulang sebelum adzan Maghrib berkumandang demi mendirikan shalat berjamaah.

"Memangnya ada orang yang naik angkot jam segini, Ndra?" tanya Ibu dengan gusar.

Ibu keluar menuju beranda rumah dengan masih mengenakan setelan mukena, mondar-mandir dan terus melihat ke jalanan berharap bapak akan segera pulang. Retno mengajukan pertanyaan kapan bapak pulang, pertanyaan adikku itu menambah kekhawatiran ibu karena tidak biasanya bapak pulang larut malam, kalaupun pulang larut malam pasti ada sebab tertentu seperti ada kecelakaan atau hujan yang membuat beliau tidak berani melaju di bawah derasnya hujan dan menyela kendaraan lain. Aku pun menyikut Retno memintanya untuk diam.

"Ndra, coba kamu telpon juragan Arman," ucap Ibu mencoba mencari jalan untuk menghilangkan kekhawatiran. Juragan Arman adalah pemilik angkot yang Bapak tarik.

Tanpa diminta dua kali Bang Hendra langsung mencuci tangannya yang berlumuran adonan siomay lalu membuka ponselnya, ibu tidak sabaran menunggu sambungan ponsel Bang Hendra.

"Nomornya juragan Arman tidak aktif, Bu," jawab Bang Hendra membuat Ibu kecewa.

Tidak kehabisan akal, Bang Hendra beralih menghubungi Bang Rendra yang sedang bekerja di angkringan milik tetangga kami dengan harapan dia mau mengecek langsung ke rumah juragan Arman tentang keberadaan bapak, namun hasilnya nihil, nomor Bang Rendra tidak aktif.

"Ibu masuk saja, biar Hendra yang tunggu Bapak di sini, Bu," lanjut Bang Hendra mencoba mengurangi kekhawatiran Ibu.

Bang Hendra memberi isyarat padaku untuk mengajak ibu masuk, aku pun menurut. Kubawa ibu masuk untuk melanjutkan pekerjaan Bang Hendra yang tertunda. Tirai kusam yang memisahkan ruang tamu dan dapur sengaja dibuka supaya ibu bisa kedatangan bapak. Jam dinding butut di rumah kami sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam, kekhawatiran ibu kian bertambah, tangannya memang sibuk menggulung kubis di nampan, namun pikirannya berkeliaran mencari bapak. Aku bangkit dan menghampiri Bang Hendra yang masih terus mencoba menghubungi Bang Rendra.

"Gimana, Bang?" tanyaku penasaran.

"Nggak diangkat, Sya," jawab Bang Hendra lesu.

Kupicingkan mata ketika tampak sosok jangkung berjalan ke arah rumah kami, cara berjalannya sangat aku kenal, aku sudah melihat gaya berjalan itu sejak aku kecil, itu bapakku.

"Bu, bapak pulang, Bu," ucapku agak berteriak.

Ibu langsung keluar rumah dengan tergopoh-gopoh, Retno mengekor di belakang ibu, wajah khawatir yang sedari tadi ditampilkan ibu perlahan digantikan dengan senyum merekah yang membuatku tenang. Alhamdulillah.

Bapak mengucap salam dan semua orang menjawab secara bersamaan kemudian mencium bapak bergantian. Sembari masuk ke rumah bapak melepas topi levisnya yang sudah butut dengan memasang wajah keheranan, bapak pun bertanya apa yang terjadi, ibu tidak menjawab dan hanya menatap dengan wajah cemas, meraba sekujur tubuh Bapak mencari sesuatu.

"Bapak nggak apa-apa 'kan?" tanya Ibu memastikan.

"Alhamdulillah nggak apa-apa, Bu."

Rentetan pertanyaan mulai diajukkan pada bapak, namun seakan tidak bersalah beliau hanya santai saja menjawab bahwa beliau narik angkot. Melihat wajah semua orang tampak penasaran bapak pun mengambil posisi nyaman dan bersiap bercerita, Retno mengambilkan air mineral untuk bapak sebelum akhirnya bergabung untuk mendengarkan.

Setelah bapak menenggak habis minumannya, beliau memperhatikan wajah semua orang yang sudah tidak sabaran mendengar alasan bapak pulang terlambat, ditariknya nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan, beliau pun mulai menjelaskan.

"Tadi pas bapak mau pulang lewat depan Gereja, ada anak seumuran Retno sedang nangis di pinggir jalan, karena nggak tega, akhirnya Bapak berhenti dan tanya kenapa dia menangis," ucap Bapak dengan mata menerawang jauh ke luar.

Ibu tampak ingin memotong cerita bapak, tapi Bang Hendra menyentuh pundak beliau, memintanya untuk menahan sampai Bapak selesai bercerita. Bapak diam beberapa saat mencoba mengolah kalimat yang baik di kerongkongannya, matanya lembut menatap wajah Retno yang fokus mendengarkan ceritanya.

"Setelah Bapak tanya, ternyata anak itu menangis karena mendengar kabar bahwa ibunya meninggal dunia, dia juga mengatakan kalau Tuhan nggak mendengar doanya, padahal setiap hari dia datang ke Gereja setelah pulang sekolah dan berdoa supaya Ibunya sembuh. Namun sore tadi, tiba-tiba dia dapat kabar buruk dari Pamannya.” Bapak menjeda ceritanya, menghirup udara dan memulai lagi ceritanya.

“Ketika anak itu menghubungi balik kerabatnya tidak ada yang membalas atau pun menjemputnya, dia juga nggak punya uang untuk pesan ojek online, mau naik angkot pun nggak ada yang mau nganterin karena jauh dan sudah Maghrib. Akhirnya, Bapak antar anak itu sampai ke rumahnya, ternyata rumahnya jauh dan berlawanan dengan arah pulang Bapak, pantas saja nggak ada angkot yang mau nganterin.” Suara Bapak tenang dipadukan dengan ekspresi yang meyakinkan, terutama ketika mengatakan ‘jauh dan berlawanan’.

“Nah, sampai di depan rumah anak itu ternyata sudah ada bendera kuning, rumahnya ramai oleh pelayat, semuanya pakai baju hitam, anak itu langsung turun dan berlari masuk rumah, Bapak lihat dia langsung nangis di depan peti ibunya." Kini suara Bapak merendah, seakan masuk ke dalam duka yang dirasakan anak itu.

Bapak mengakhiri ceritanya denganucapan maaf karena telah membuat semua orang khawatir, bukan hanya itu beliaua juga meminta maaf karena uang hasil narik hari ini beliau sumbangkan pada anak piatu tadi. Dari dalam tas pinggangnya, bapak mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribuan, lima ribuan dan dua ribuan yang tidak lebih dari lima puluh ribu. Mata Ibu terlihat ingin memprotes namun Bapak segera menjelaskan.

Bukannya marah, ibu justru tersenyum dan menyentuh pundak bapak, bukan hanya Ibu, Bang Hendra juga ikutan tersenyum. Aku masih tidak paham kenapa ibu dan Bang Hendra senang padahal Bapak mengalami kerugian karena menolong anak itu, waktu bapak juga jadi terbuang, bensinnya berkurang dan yang jelas uang hasil kerjanya seharian pun berkurang.

"Tapi Bapak sudah setor ke juragan Arman ‘kan?" tanya Ibu dibalas anggukan oleh Bapak.

Ibu paham dengan niat baik bapak, tapi Retno memasang wajah masam karena uang bapak jadi berkurang gara-gara anak itu. Bang Hendra membentak Retno, namun adikku itu tidak peduli karena bentakan itu bukan jawaban atas protesnya.

Aku sudah duduk di bangku kelas sebelas dan sedikit banyak sudah paham niat baik bapak terhadap anak itu, tidak seperti Retno. Namun, jika dilihat dari sudut pandang kondisi ekonomi keluarga kami yang serba kekurangan membuatku ingin marah, aku sering merasa kesal karena penghasilan Bapak dan kedua Abangku tidak bisa memenuhi semua kebutuhan kami, terutama biaya sekolahku dan Retno. Tapi apa yang dilakukan Bapak barusan? Beliau justru memberikan hasil kerjanya kepada seorang anak yang tidak dikenal.

"Ketika melihat anak itu, Bapak ingat Nasya dan Retno," ucap Bapak lirih namun terasa dalam, hatiku bahkan terasa berdesir lembut ketika Bapak menyebutkan namaku.

"Bapak kepikiran bagaimana jika salah satu anak gadis bapak mengalami kesulitan dan tidak ada yang menolong. Bapak, Ibu, Bang Hendra dan Bang Rendra belum tentu selalu ada untuk kalian, hanya Allah yang selalu ada, Dia juga yang mengirimkan penolong kepada kita," ucap Bapak membuatku paham dengan niat baik di balik perbuatannya.

"Mana, kenapa sampe sekarang Allah belum kirim penolong untuk kita?" potong Retno, tampaknya dia belum bisa paham dengan maksud Bapak.

"Pertolongan Allah akan datang ketika kita benar-benar membutuhkannya, kalau sekarang belum datang berarti Allah percaya kalau kita masih bisa melakukannya sendiri dengan tetap menjadikan Allah sebagai sandaran, Nak," jawab Bapak.

"Gampangnya gini, Nak. Kalau di sekolah kamu mengalami kesulitan atau masalah, kira-kira siapa yang akan membantu kamu?" tanya Bapak.

"Entah, mungkin teman-teman atau Bu Guru," jawab Retno.

"Nah, yang mengirimkan teman-teman dan Bu Guru untuk menolong kamu itu Allah, Dia yang membisikkan dan menggerakkan hati teman-teman dan Bu Guru untuk menolong kamu menyelesaikan permasalah, paham?"

Retno terdiam mencoba mencerna kalimat Bapak, matanya menatap mataku, Bang Hendra dan Ibu secara bergantian, seakan meminta kebenaran dari ucapan Bapak. Aku mengangguk pelan membuat Retno tersenyum.

"Oke, Retno paham sekarang," ucap Retno meyakinkan tatapan Bapak.

"Meskipun belum paham sepenuhnya juga sih," lanjutnya membuat semua orang tertawa.

Bapak menyentuh kepala Retno dengan lembut dan menatap matanya.

"Jangan sungkan memberikan bantuan pada orang lain, meskipun kita berbeda dengan mereka, tetap saja kalau mereka butuh bantuan maka kita harus membantunya. Siapa yang menduga kalau suatu hari nanti kita juga membutuhkan bantuan mereka, paham?" Suara Bapak semangat membuat analogi untuk Retno.

"Paham, Pak," timpal Retno dengan gerakan hormat seperti seorang anggota paskibra.

"Dengerin tuh," celetuk Bang Hendra dibalas dengan juluran lidah oleh Retno.

"Abang juga dengerin tuh," timpalku mencoba melindungi Retno.

"Sudah sudah, sebentar lagi Isya ayo siap-siap." Suara Ibu mengakhiri pertengkaran.

Bapak langsung menuju kamar mandi dan bersih-bersih untuk bersiap berangkat ke Masjid. Tepat ketika Bapak keluar adzan Isya berkumandang, buru-buru aku dan Bang Hendra berebut untuk mengambil air wudhu, Bapak geleng-geleng melihat tingkah kami.

"Hendra, kamu masuk duluan," ucap Bapak membuatku minggir dan memberi jalan untuk Bang Hendra masuk lebih dulu.

Setelah semua orang siap, Bapak dan Bang Hendra berjalan paling depan memimpin langkah keluarga kami menuju Masjid untuk Shalat Isya berjamaah.

****


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)