Masukan nama pengguna
Suara adzan Subuh sudah berlalu sejak tadi dan rumah kami sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas yang sudah kulakoni sejak kelas enam SD ketika keluarga kami terpaksa menjalani kehidupan memilukan yang sudah menyatu dengan jiwaku sampai detik ini.
Bapak sudah berangkat narik angkot tepat setelah shalat Subuh dan melewatkan membaca Al-Qur’an setiap pagi. Bang Hendra sibuk membantu ibu memasak di dapur sekaligus menyiapkan bahan siomay untuk dijual. Sedangkan aku bertugas membersihkan rumah kami yang tidak terlalu luas namun tidak pernah tampak bersih meskipun sudah berkali-kali kubersihkan, sepertinya kotoran di dinding dan lantai sudah menempel lekat sebagaimana kemiskinan melekat dalam pakaian keluargaku.
“Nasya, bangunin Rendra dong, suruh antar ibu,” pinta kakak tertuaku, Bang Hendra namanya. Aku pun menuju kamar abangku dan membuka tirai birunya yang kini nyaris menjadi warna cokelat karena nodanya sudah kekal di sana.
“Sekalian bangunin adikmu, Sya,” imbuh Ibu.
Diantara semua anak orang tuaku hanya Retno saja yang tidak memiliki rutinitas pagi menyebalkan, kadang aku iri padanya karena dia tidak pernah memikirkan soal penghasilan keluarga kami, dia hanya dibiarkan begitu saja sibuk dengan belajarnya padahal dia tidak begitu pintar sampai selalu beralasan belajar, nilai raportnya pun tidak pernah lebih bagus jika dibandingkan dengan nilaiku ketika seusianya.
Aku sering protes pada ibu karena membiarkan Retno berangkat sekolah tanpa membantu pekerjaan rumah, namun ibu hanya menasihati Retno tidak lebih dari tiga menit ketika adikku yang kelas delapan itu bangun terlambat dan shalat Subuh kesiangan.
“Adikmu banyak tugas sekolah,” ucap Ibu suatu hari ketika aku mengeluh karena harus melipat pakaian semua orang. Aku protes, namun aku tetap melakukan tugas itu, aku tidak tega membiarkan ibu melakukan pekerjaan rumah sendirian setelah seharian bekerja di tempat Laundry Bu Fatma.
Sebenarnya bukan hanya Retno saja yang banyak tugas sekolah, aku pun demikian, bahkan tugasku lebih banyak karena harus menyiapkan diri untuk Ujian Sekolah bulan April mendatang, namun tidak ada yang peduli dengan belajarku yang berantakan, aku tidak bisa menyamai tingkat belajar teman-temanku yang mampu mengerjakan kuis yang dikirimkan guru di grup obrolan, aku selalu ketinggalan informasi tentang soal-soal latihan, aku tidak punya ponsel untuk menyimak diskusi di grup yang selalu terdengar menyenangkan ketika teman-temanku membicarakannya.
Untuk mendapatkan informasi kuis aku harus meminjam ponsel Bang Hendra dan membuka messenger akun facebook milikku karena salah satu teman kelasku, Dara namanya, dia akan berbaik hati mengirimkan materi dan soal yang guru bahas di grup obrolan. Ingin rasanya aku marah karena kemiskinan yang memeluk erat keluargaku ini, tapi apa yang bisa aku lakukan selain bertahan dan tetap belajar semampuku, aku tidak mungkin tega seperti Retno yang berbicara keras di hadapan bapak dan ibu soal keinginannya membeli ponsel padahal membeli beras dan membayar kontrakan saja kami kesulitan.
Aku juga ingin marah pada sistem pendidikan yang dianut sekolahku karena sejak sistem itu diterapkan semua siswa sibuk dengan ponselnya dan aku mendadak merasa bodoh karena tidak bisa menyamai pembahasan materi yang disampaikan guru. Bukan aku tidak setuju dengan sistemmnya, hanya saja sejauh yang aku lihat dampaknya adalah aku tidak punya teman yang bisa kuajak mendiskusikan soal ataupun membantuku menyelesaikan soal dengan ponselnya karena mereka sibuk mengambil gambar bagus untuk diunggah di akun media sosial atau memainkan sebuah game online bersama daripada mengerjakan tugas.
Untuk menenangkan diri aku melampiaskan protesku dengan pergi ke perpustakaan dan membaca beberapa novel yang ada di sana, aku menikmati dunia fantasi yang diciptakan para penulis dan melupakan fakta tentang kemiskinan keluargaku, setidaknya untuk beberapa saat.
“Sya, kamu kapan beli ponsel, nanti aku masukkan ke grup obrolan pelajaran Bahasa Inggris, banyak soal latihan di sana,” ucap Kiara, salah seorang teman kelasku yang rutin bertanya tentang kapan aku membeli ponsel. Aku hanya membalas pertanyaannya dengan sebuah gelengan pelan.
“Apakah guru tidak tahu kalau tidak semua murid mampu membeli ponsel?” tanyaku dalam hati.
Pernah sekali aku menyampaikan tentang hal ini pada wali kelasku, Bu Sari namanya, ketika jam bimbingan aku menyampaikan secara terbuka tentang keluhanku dengan sistem yang sekarang menyulitkanku untuk mengejar materi, aku juga menyampaikan tentang kondisi ekonomi keluargaku yang kian hari kian menampakkan rupa kemiskinan dengan adanya pemerataan digitalisasi namun tidak ada pemerataan kesejahteraan ini.
Mendengar ceritaku Bu Sari tampak prihatin dan mengakui bahwa beliau juga merasa dilema dengan sistem pendidikan sekarang ini, di satu sisi digitalisasi mempermudah siswa mendapatkan pembelajaran lebih luas dan di sisi lain adanya ketidakmerataan kesejahteraan masyarakat membuat beberapa siswa kesulitan, beliau juga menyampaikan akan mengurangi kegiatan diskusi di grup obrolan supaya tidak menyulitkan siswa yang belum memiliki ponsel sepertiku, apa yang beliau sampaikan benar-benar terlaksana, namun bagaimana dengan guru lain yang bukan wali kelasku, guru lain yang tetap bertahan dengan grup obrolan dan tugas online lainnya?
Protes dalam batinku kian hari kian menggunung membuatku selalu pulang dengan suasana hati yang kacau, belum lagi mendengar suara tawa Retno yang asik dengan ponselnya membuatku kian kacau. Iya, Retno punya ponsel meskipun hanya bekas tetap saja dia punya sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menyimak grup obrolan dengan guru dan teman-teman sekolahnya, sedangkan aku?
Satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk memiliki ponsel adalah dengan menabung, namun boro-boro menabung, untuk uang saku saja aku tidak pernah mendapat lebih dari lima ribu rupiah, sedangkan Retno? Dia selalu mendapat uang saku tambahan dengan dalih untuk membeli kuota, aku jadi berpikir ulang soal keinginan membeli ponsel sendiri karena itu berarti aku harus siap memberi makan ponselku, mana mungkin aku tega meminta pada orang tua atau kakak-kakakku, mana mungkin aku tega menciderai kemiskinan keluargaku yang sudah babak belur begini.
Semua orang dewasa di keluargaku memang bekerja, namun jika boleh mengeluh aku akan katakan bahwa upah yang keluarga kami hasilkan tidak cukup untuk menutupi hutang yang keluarga kami miliki karena kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa bapak enam tahun lalu. Mirisnya lagi, pendidikan kedua kakakku tidak bisa ditebus dengan pekerjaan yang dunia sebut dengan ‘layak’ karena kakak kembarku hanya lulusan SMP, dengan fakta ini aku hanya bisa membantu dengan menahan segala protes dalam batinku.
Bang Hendra yang paling tahu dengan protes yang kupancarkan dari segala sikapku, dia berulang kali mengingatkanku untuk bersabar karena semua akan baik-baik saja meskipun aku tidak punya ponsel, awalnya aku setuju dan tetap belajar sebisaku, namun semakin hari aku semakin paham dengan cara kerja dunia yang seringkali tidak memikirkan bahkan melibatkan orang miskin dalam perkembangannya.
Segala upaya Bang Hendra lakukan untuk menghiburku, termasuk membelikanku martabak di tengah hujan Sabtu malam ini, meskipun hanya martabak tetap saja itu adalah salah satu makanan mewah yang pernah keluarga kami makan selain makanan di Warung Padang.
Aku sendirian menunggu Bang Hendra pulang, ibu, bapak, Retno dan Bang Rendra asik menonton televisi kami yang gambarnya sudah jernih karena pekan lalu Bang Rendra membeli set top box dari uang gajinya sebagai tukang bangunan. Beberapa menit kemudian Bang Hendra pulang dengan mengenakan jas hujan, semua orang masih asik menonton televisi sampai tidak mendengar suara motor butut Bang Hendra.
“Ini untukmu, biar bisa gabung diskusi sama guru dan teman-teman di grup obrolan,” ucap Bang Hendra sembari menyerahkan sebuah kardus persegi panjang berukuran kecil, itu kardus ponsel.
“Buat aku?” tanyaku sembari membuka kardus tersebut, Bang Hendra tersenyum dan mengangguk. Alhamdulillah.
Aku senang bukan main, buru-buru aku masuk ke rumah dan memperlihatkannya pada semua orang dan melupakan martabak manis yang dijanjikan Bang Hendra. Memiliki ponsel di tengah kehidupan keluarga kami yang seperti ini tidak sepenuhnya membuatku bahagia karena aku paham dari mana uang yang digunakan untuk membeli ponsel baru ini berasal.
“Itu dari uang iuran semua orang,” celetuk Retno agak sewot. Aku melotot tidak percaya, lagi-lagi Bang Hendra mengangguk kemudian menjelaskan bahwa ponsel itu dibeli dengan uang iuran semua orang termasuk Retno.
“Terima kasih, Retno,” ucapku sembari memeluk Retno.
“Sama-sama, Mbak, gunakan ponselnya sebaik mungkin,” timpalnya riang membuatku bahagia sekaligus pilu karena sekarang adikku mulai bersikap dewasa, lebih tepatnya didewasakan kemiskinan.
Malam ini diakhiri dengan menyantap martabak manis dan nasihat semua orang supaya aku bisa menggunakan ponsel baruku dengan bijak dan tetap melakukan pekerjaan rumah, aku mengangguk sepakat. Ah, ternyata begini rasanya memiliki ponsel yang akan membantuku mengejar rentetan soal-soal ujian, semoga bukan aku saja yang pada akhirnya mampu menikmati dan memanfaatkan sistem pendidikan dengan baik.
****