Cerpen
Disukai
3
Dilihat
3,104
Lautan dan Semangkuk Sup
Slice of Life

Pukul sebelas malam ketika hujan masih dengan derasnya mengguyur bumi. Hujan yang turun sejak siang hari dipadu dengan angin dan petir bergantian. Wajarlah memang, ini bulan Februari dimana grafik intensitas hujan akan terus menanjak. Kebetulan atau bukan, di hari raya imlek hujan pasti turun sangat deras seharian, 24 jam.

Seorang pria sedang menggigil di bawah selimut tebal. Demam tinggi dan rasa nyeri serasa menembus tulang membuatnya tak berdaya meringkuk di atas sofa. Berselimut tebal dan kompresan di kepala melengkapi deritanya malam itu.

Sore tadi, sebenarnya sang istri telah melarangnya pergi ke kebun. Tapi si suami bersikeras kalau tak pergi, tanaman dan kolam ikannya akan menyatu menjadi kolam besar dan kerugian besar kelak yang akan didapatkannya.

Padahal saat itu dirinya sedang tidak fit, sudah dua hari dilanda flu ringan. Kebiasaannya tidur larut dan berteman angin malam membuatnya mudah sakit di usianya yang hampir senja.

Alhasil semalam suntuk dia menggigil tapi keukeuh tidak mau pergi ke dokter. Bahkan suara mengigaunya menembus pintu kamar, dia tetap merayu istrinya untuk tidak perlu pergi ke dokter atau klinik. Dia hanya minta untuk disediakan jahe panas dan sup ayam bening seperti yang biasa istrinya sajikan sehari-hari.

Kini sudah lewat tengah malam. Suhu tinggi telah turun meski sedikit dan tenaga sudah sedikit pulih pula. Nyeri dan sakit di kepala masih terasa berat. Dia paksakan untuk bangkit dari sofa itu dan meraih gelas yang tersedia di atas meja. Setelah satu tegukkan dipaksakan juga untuk mengisi perutnya dengan sup yang tentu saja sudah dingin.

"Apa mau dihangatkan dulu?" tanya sang istri ketika terbangun untuk memeriksa keadaannya.

Suaminya hanya membalas dengan kibasan tangan pertanda tidak perlu. Sebersit senyum terlintas dari bibir istrinya karena mendapati suaminya kewalahan melawan sakit akibat perbuatannya sendiri.

Hanya tiga suapan saja yang berhasil masuk melewati tenggorokannya. Dia coba rebahkan kembali badanya utuk mendapatkan waktu istrahat lebih lama agar badannya pulih lebih cepat. Meski dalam kondisi seperti ini, di alam pikirnya dia merasa bahwa dirinya harus terus sehat. Agar tidak membebani istrinya, agar bisa terus menafkahi keluarganya.

Begitu punggunya menempel rapat ke badan sofa. Dia pejamkan matanya. Tak lama kemudian entah mimpi atau bukan. Dia merasa melalui pendengarannya desir ombak pantai-pantai yang pernah ia datangi dulu. Lalu penciumannya membaui lengketnya hawa panas pesisir laut. Alam bawah sadarnya membawa dirinya ke lautan yang luas. Hingga dia merasa bahwa dirinya adalah seekor ikan teri yang kecil. Ikan kecil yang berenang di tengah lautan yang sangat luas.

Masih dalam keadaan sadar tak sadar dia merasa bahwa waktu berjalan sangat lambat. Dia dapat merekam satu persatu kejadian yang seringkali tak ia sadari bahwa dia terlalu egois sebagai seorang manusia, sebagai laki-laki, sebagai suami.

Lalu timbul rasa sedih yang teramat dalam seakan menekan paru-paru nya. Hingga membuat sesak dan terbatuk. Sedih yang menyiksa hatinya hingga membuatnya pilu. Dia menyesal di alam bawah sadarnya bahwa dia pernah seperti apa yang disaksikannya.

Hingga entah dari mana suara deburan ombak membangunkannya. Dia merasa badannya terhempas oleh tenaga yang amat dahsyat. Bersamaan dengan suara adzan subuh di luar sana dan pintu kamar yang terbuka.

Anak pertama nya keluar sambil menggosok matanya dengan punggung tangan. Dia melihat Ayahnya sedang duduk terdiam dengan nafas yang berat. Dia pun lalu menghampirinya.

“Ayah kenapa?” diusapnya punggung lelaki paruhbaya itu.

“Tidak apa-apa, cuma mimpi,” jawabnya lirih.

“Tidurlah lagi, biar Ayah cepat sembuh,” kata sang anak tak melepaskan usapannya.

“… ,” ayahnya hanya menjawab dengan senyuman lalu menggelengkan kepalanya.

Jari telunjuknya terangkat mengisyaratkan bahwa waktunya sudah tiba. Anaknya mengerti dan membantu ayahnya berdiri untuk lalu pergi ke kamar mandi.

Sementara ayahnya mensucikan diri di sana, anaknya menunggu setia di sofa tempat ayahnya semalam suntuk bergelut dengan sakit. Dia lipat selimut dan merapihkan bantal yang dari kedua benda itu kental dengan bau harum keringat ayahnya.

Dia duduk dengan posisi seperti pertama kali ia melihatnya ayahnya tadi. Dengan kedua tangan dia menahan dagu dan pipinya. Diperhatikan dengan seksama benda-benda yang ada di depannya. Gelas air ukuran besar yang isinya tinggal seperempatnya. Piring nasi yang hanya diambil beberapa sendok saja. Sendok garpu yang tergeletak sembarang, lalu semangkuk sup ayam yang terbuka.

Mangkuk besar berisikan sup itu terbuka mungkin tak disengaja karena jelas itu bukan kebiasaan ayahnya. Dia ambil penutup mangkuk yang ada disebelahnya lalu ditutupnya mangkuk yang terbuka tadi.

Tapi kemudian dia buka lagi dengan tergesa karena merasa ada yang menganggu penglihatannya. Ada lalat di sana di dalam sup ayamnya. Dia perhatikan lalat itu, mati tak berdaya.

Pintu kamar mandi terbuka. Syukur dalam hatinya sekarang dia merasa jauh lebih baik. Badannya terasa lebih segar dan suhu badan sudah kembali normal. Lalu dia mendekati anaknya yang sedang duduk termangu di atas sofa itu.

“Kenapa Nak?” Tanya sang Ayah.

“Ayah jangan dimakan lagi ya supnya,” jawab sang anak tak menjawab pertanyaan ayahnya, “Sudah kemasukan lalat,” tambahnya kemudian.

Sang Ayah membuka penutup mangkuk itu dan benar melihat lalat di sana di dalam sup ayamnya. Lalat malang mengambang seperti mayat yang mati karena hanyut atau tenggelam.

Sejenak dia teringat dengan mimpi dan penyesalannya. Tutup mangkuknya ia buka lagi.

“Lihat Nak, kasihan ga lalatnya?”

“Engga, kenapa harus kasihan?”

“Kasihan karena dia mati dalam kepalsuan dan kesombongan”

“…”

Anaknya hanya memandang dan mendengar ayahnya dengan serius dan antusias. Kantuknya sudah hilang sejak tadi berganti rasa gembira karena akan mendapat petuah daring orang tuanya.

“Dia terbang ke sana, ke dalam mangkuk itu dengan niat ingin makan. Dia menemukan nikmat makannya di sana, tentu”

“Tapi bahkan nikmat (kesenangan) itu menipunya. Dia lupa bahwa dia amatlah kecil di luasnya mangkuk itu. Hingga dia terpeleset, jatuh kedalam kenikmatan semata”

“Kenapa Ayah bilang sombong tadi?”

“Karena kalau tidak sombong, mungkin lalatnya akan selamat.”

“Dia sombong karena merasa semangkuk sup itu miliknya sendirian.”

“Dia lupa berbagi. Dia lupa dengan rasa cukup. Dia lupa bersyukur.”

Ada sedikit getaran di bibir sang ayah ketika mengucap kalimat terakhir. Karena saat itu dia sedang mengingatkan dirinya sendiri. Sedang bercermin atas hal-hal buruk yang pernah dia perbuat.

Hening sesaat diantara mereka. Lalu terdengar sang ayah menghirup udara sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya dengan perlahan.

“Siap-siap ke masjid yuk !” ajak sang Ayah.

“Yuk!” jawab anaknya antusias.

Setelah semua siap, merekapun bergegas pergi ke sana ke tempat ibadah. Tempat di mana semua orang sama kedudukannya.

Diperjalanan menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya. Sang ayah tiba-tiba mengusap punggung sang anak.

“Minggu depan kita main ke pantai yuk!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)