Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,939
Kisah dari Piring Kotor : Tulang Ikan dan Sekelompok Semut
Slice of Life

Salahsatu kebiasaan yang masih terjaga di rumah ini, bahkan sejak mereka menikah dan tinggal berdua, adalah makan bersama di satu meja. Piring dan alat makan lainnya tidak boleh keluar dari area meja makan, hal itu berlaku tak terkecuali bagi si paling kecil. Si bungsu yang malam itu terheran-heran dengan rasa sop ikan yang bundanya buat dengan penuh cinta.

Ya. Keluarga kecil ini makan malam bersama dengan menu beberapa macam olahan ikan. Ikan segar yang didapat dari kolam kecil di pojok kebun sebagai sumber mata air untuk menyiram tanaman, baik sayuran atau buah-buahan di kebun kecil itu.

Ada dua jenis ikan, mujair/nila dan ikan mas. Nila diolah menjadi pesmol dan sup untuk si kecil, serta ikan mas yang digoreng garing dengan sambal kecap asin plus irisan bawah dan cabe rawit sebagai teman sempurna.

Ikan adalah lauk favorit mereka dibanding daging. Karena selain murah, ikan dipercaya lebih menyehatkan otak dan kecerdasan. Baik untuk pertumbuhan si kecil tentunya.

Mereka duduk dengan rapih mengelilingi meja bundar dengan diameter sedang. Terletak agak menjorok di ruangan itu, agar masih tersisa ruang untuk berjalan. Meja ini adalah harta karun yang didapat sang Ayah dari perjalanannya membantu masyarakat membersihkan rumah tua terbengkalai, yang selanjutnya direnovasi, diperbaiki, dan menjadi perpustakaan ramah anak di kampung sebelah.

Posisi mereka selang-seling agar orang tua dapat saling menjaga anak-anak mereka yang masih kecil itu, rusuh dengan makanannya. Terutama tulang ikan.

Si bunda sibuk menyuapi yang bungsu sambil sesekali melahap menunya sendiri. Sementara suaminya menemani putri mereka memisahkan tulang ikan dari dagingnya agar lebih nyaman dimakan dan tak berbahaya. Apalagi tulang ikan mas yang memang perlu ketelitian lebih. Sementara menu kesukaannya, ikan pesmol, dengan lahap akan dia habiskan ketika putri mereka sudah hampir menghabiskan makanannya. Karena untuknya ikan yang dimasak dengan cara dipesmol akan lebih mudah menikmati dagingnya, bahkan dibagian yg paling tersembunyi. Itulah sebabnya di meja bundar itu khusus disediakan piring kecil untuk tulang-tulang ikan.

-o0o-

Nasi satu bakul sudah habis tanpa bekas. Semua orang sibuk dengan menu penutup kecuali si Ayah. Dia masih sibuk dengan ikan kesukaannya itu. Kepala ikan dan daging-daging yang tersembunyi. Dengan rasa bumbu-bumbu yang menyerap lebih dalam, lebih terasa dibagian sela dan rongga yang hanya bisa digapai jika dibongkar, membuat tulang-tulang ikan itu menumpuk seperti bukit di atas piring.

Hingga disatu momen saat mereka tengah asik menikmati menu penutupnya masing-masing. Tertawa dan becanda, si bungsu ternyata telah bosan duduk di kursi makannya. Merengek karena mengantuk dan ingin menyusu. Dia ekspresikan dengan menangis dan memukul-mukulkan tangannya ke atas meja, hingga tanpa sengaja sendok yang ia pegang mengenai piring yang terisi tumpukan tulang ikan. Piring itu terhempas cukup jauh dari meja makan, membuat tulang-tulang berserakan di atas lantai.

Tak ada satu pun yang marah saat itu,

“Nah sudah mencapai batasnya,” komentar sang pemimpin keluarga.

“Ayok semuanya beres-beres !”

Mereka berbagi tugas untuk membereskan sedikit kekacauan itu. Si Ibu membimbing kedua anaknya untuk bersiap, bersih-bersih diri sebelum masuk kamar lalu tidur. Sang suami kebagian tugas membereskan meja makan beserta tulang-tulang yang berserakan.

Setelah semua beres, bersih, dan rapi. Laki-laki paruhbaya itu keluar untuk santai di teras rumah. Satu kebiasaan yang tak pernah ia lewati dari sejak muda dulu. Tapi bedanya dulu mulutnya akan terus menghisap tembakau yang dibakar pada cangklongnya, suatu kebiasaan yang tak lazim untuk anak muda perokok. Namun sekarang sudah lebih baik, kebiasaan itu sudah lebih dari lima tahun ia tinggalkan.

Duduk bersila ditemani bunyi-bunyi serangga malam, tatapan yang sesekali kosong melihat langit yang gelap. Yang malam itu memang sedikit sekali bintang di sana.

Sunyi sekali rasanya padahal jam belum 10 malam waktu itu. Bahkan suara kresek-kresek dari ranting atau daun kering yang bergesekan dengan asbes pelapis kanopi bisa ia dengar dengan jelasnya. Angin memang lembut berhembus, seperti belaian pada jiwa-jiwa yang mengantuk.

Tiba-tiba terlintas di pikirannya,

"Apakan sudah benar-benar bersih yang aku kerjakan tadi?"

Oh tidak? Bagaimana jika ada tulang ikan yang terlewat? Akan berbahaya mengingat si kecil sedang aktif-aktifnya merangkak.

Baiknya dia cek ulang agar yakin telah bersih semua. Dirinya pun tergesa masuk kembali ke dalam rumah dan langsung menuju meja makan yang sebenarnya ada di ruang tamu. Dia telusuri setiap sudut lantai yang ia rasa terlewat dan atau tulang-tulang ikan akan jatuh ke arah sana. Tak lupa bagian atas meja bundar pun ia cek kembali. Dengan lebih teliti dan fokus untuk mencari sebuah tulang ikan kecil.

Setelah beberapa menit berlalu, dia tarik kursi ke posisi si bungsu tadi makan. Membayangkan kembali kejadian dimana dia bosan lalu tak sengaja membuyarkan semua tulang ikan di atas piring.

Dia gelengkan kepalanya seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada yang terlewat, semua sudah bersih.

Kejadian itu bersamaan dengan istrinya keluar kamar setelah menidurkan si bungsu. Mendapati suaminya bertingakah seperti itu, si istri pun heran

“Kenapa? Kok gitu?” tanyanya.

“Gapapa, tadi abis cek ulang takut ada yang kelewat. Tapi sepertinya sudah semua aman,” dia menjawab pertanyaan istrinya itu dengan mata yang tetap berkeliling ke sudut-sudut sekitaran meja makan.

Sang istri hanya tersenyum, kemudian berlalu menuju kamar mandi. Itu lah tanda kecil suaminya adalah orang yang bertanggungjawab, bahkan untuk hal kecil seperti itu.

Keluar dari urusan di kamar mandi, si istri menemukan suami tak berpindah sedikit pun dari tempatnya.

“Sudahh, pasti sudah aman,” sembari menepuk bahu suaminya lalu masuk ke dalam kamar tidur.

Hanya berselang beberapa detik dari tertutupnya pintu kamar itu. Sudut bibir si laki-laki itu terangkat tanda tersenyum. Ia melihat bagaimana Tuhan melindungi keluarganya, terutama anaknya yang kecil itu.

Di sana di atas lantai segerombolan semut sedang bergotong royong mengangkat satu tulang ikan yang cukup besar, sepertinya tulang dari bagian kepala, yang mungkin akan dibawa ke sarangnya lalu disetorkan kepada sang ratu.

Dia lalu berjongkok memperhatikan semut-semut itu. Matanya terus mengikuti kemana semut-semut itu membawa tulang ikan. Dia juga tidak yakin dari mana semut-semut ini mendapatkan tulang ini, dari tempat yang tak terlihat atau lebih bahaya lagi mungkin tulang ikan itu samar karena warnanya yang hampir mirip dengan ubin lantai rumahnya.

“Astagfirullah” dia beristigfar membayangkan bahayanya jika anaknya lebih dulu menemukan tulang itu lalu celaka lah pikirnya.

Dan semut-semut itu telah hilang dari pandangan, mereka keluar dari rumah itu melalui celah pintu. Dengan instingnya dan atas izin-Nya. Tentu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)