Masukan nama pengguna
Sudah lama sekali sejak menikah, dirinya tidak pernah lagi menekuni sebuah hobi. Berkegiatan di alam bebas adalah hal yang dulu sangat melekat dengan kesehariannya. Entah berolahraga atau sekedar membaur dengan semut rangrang dan jala laba-laba. Menikmati suasana tenang senja hari atau berbicara pada malam yang sunyi. Terjun ke dalam goa karst atau berbasah-basah mengarungi sungai. Memanjat tebing atau sekedar menikmati kopi di puncak bukit.
Kenangan-kenangan itu membawanya untuk bergerak membongkar isi sebuah box plastik berukuran sedang. Dicarinya sebuah flash drive berukuran 2 Giga Byte, berwarna hitam dengan gantungan dari tali karmantel 1 mm berwarna biru tua. Setelah ditemukannya benda kecil itu, dia bergegas menyalakan komputer di pojok ruang tengah. Sambil menunggu komputer menyala dan siap digunakan, memori masa mudanya berdatangan masuk dalam bayang-bayang pikiran tanpa permisi.
Satu hal yang dia sadari bahwa sedikit banyak, hal-hal yang dia kerjakan dan dia tekuni dengan sungguh-sungguh kala itu, membentuk pribadinya sekarang dimasa tua. Terlepas dari pendidikan dan kasih sayang orang tua, tapi menurutnya lingkungan lebih banyak berpengaruh terhadap dirinya.
Nada khas berbunyi berbarengan dengan sebuah logo jendela menyala di layar monitor. Setelah menunggu beberapa saat, dia pun memasukkan flash drive itu ke port yang berada pada CPU komputernya yang kusam, lalu dia klik salah satu folder yang memuat dokumen berupa foto dan video.
Dia perhatikan betul satu persatu foto yang muncul di layar monitor. Dia berusaha mengingat kejadian dan kegiatan apa saat itu. Saking seriusnya, tak terasa 30 menit berlalu. Anak perempuannya yang tahun ini akan mengganti seragam sekolahnya dengan warna biru mengintip di balik punggungnya. Kehadirannya itu sudah terdeteksi oleh sang ayah, namun dia membiarkannya. Anak itu pun ragu ingin menginterupsi, atau ikut terbawa dalam cerita yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Ketika satu folder sudah pada file terakhir, si Ayah pun menutup folder tersebut dan bersiap menyelami folder berikutnya. Itulah saat yang tepat untuk menginterupsi pikir si anak.
“Lagi lihat foto-foto lama ya Yah?” tanya si anak.
“Hm? Iya nih, zaman ayah kuliah dulu,” jawab sang ayah tersenyum.
“Oohh!” si anak bingung harus bertanya apa kemudian.
“Ada apa?” tanya si ayah bermaksud menanyakan maksud si anak mendekatinya.
“Oh! Itu kata bunda makan sama-sama, yuk!” ajaknya sambil menarik lengan ayahnya.
“Ayok!!”
Layar monitor menampilkan slide foto-foto dari folder berikutnya yang sudah di-setting autoview. Foto-foto lama kembali terpampang, walaupun sebagian besar buram karena fokus yang tak diatur atau karena pencahayaan yang kurang. Tapi sangat lah jelas memori-memori yang mencuat keluar kedalam layar monitor. Dari senyum dan sorot mata, ekspresi lelah dan gembira, semua ada.
Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, termasuk si bungsu yang masih belajar mengunyah. Meskipun menu sederhana tapi kebersamaan membuat apapun makanan yang dilahap akan terasa nikmat.
“Bun, cita-cita bunda dulu apa?” tanya anak perempuan itu sambil mengunyah makanannya.
“Emmh apa ya?”
“Bunda waktu kecil punya cita-cita ingin jadi dokter, tapi alhamdulillah tak terwujud,” sembari tersenyum sang Ibu menjawab pertanyaan anaknya.
“Terwujud kok,” kata sang pemimpin keluarga, “Bunda kan sekarang jadi dokter juga, dokter keluarga, kalau diantara kami ada yang sakit, kan bunda yang obatin, iya ga nak?”
“Betuuuul!!” jawab anak perempuan itu sambil mengangkat ibu jarinya.
“Kamu, kalo besar nanti mau jadi apa?” tanya sang ayah pada putrinya.
“Akuuuuu…” jawab putrinya sambil menghentak-hentakan sendok pada dagunya yang lancip.
“Aku mau jadi tentara.”
Kedua orantuanya nampak sedikit terkejut dengan jawaban tak terduga dari sang anak. Tapi mereka orang tua yang bijaksana, mengerti dan paham dengan pola pikir buah hatinya. Jawaban yang mereka dengar bisa jadi jawaban yang jujur keluar dari hati sanubarinya atau jawaban terakhir dari sekian pilihan, yang keluar karena sang anak bingung mau jadi apa, lalu ada pemicu yang mengarah pada jawaban itu.
“Ohh iya? Berarti kamu harus bekerja lebih keras dari siapapun untuk jadi seorang perwira,” kata ayahnya sambil mengusap punggung si anak.
Si anak pun hanya tersenyum dengan sedikit rasa bangga yang entah muncul dari mana dan atas alasan apa.
“Nanti sore ikut ayah ya,” lanjutnya dengan senyum penuh arti.
Istrinya di sebrang meja menggelengkan kepala. Pasti ada yang akan dikerjakan mereka berdua tanpa melibatkan dirinya. Sesuatu yang sudah dia pahami dan mengerti karena bukan sekali dua kali hal itu terjadi, yang pada akhirnya biasanya si anak akan bercerita banyak seperti mendongeng di kamar, di atas kasur sebelum tidur.
“Ayo!”
Anaknya mengiyakan ajakan ayahnya, padahal dia belum tahu akan dibawa kemana. Tapi kemanapun tujuannya, bersama sang ayah semua kebersamaan akan melahirkan sesuatu yang akan ia ingat selamanya.
Selepas shalat jumat, semua kebutuhan sudah disiapkan dengan lengkap dan rapi. Perlengkapan standar untuk berkemah sudah ter-packing dalam tas ransel berukuran 50 Liter. Tenda, logostik, alat masak dan alat makan juga kebutuhan lain untuk mendukung camping yang aman dan menyenangkan.
Pukul 2 siang anak perempuan dan ayahnya sudah berada di dalam kabin mobil. Menyusuri jalan lengang sebelum orang-orang kantor dan pabrik pulang dari pekerjaannya. Semakin jauh mobil itu melaju keluar dari batas kabupaten menuju kabupaten lainnya. Jalannya semakin sepi setelah 1 jam waktu yang ditempuh. Sawah dan ladang menjadi teman perjalanan. Udara segar mulai tercium karena kini kaca mobil telah diturunkan. Sudah terlihat juga tujuan yang akan mereka kunjungi. Gunung karst menjulang tinggi. Tempat ayahnya dulu dilatih dan ditempa mental dan cara berpikirnya.
“Nanti kita akan kesana,” lirih sang ayah berkata.
Telunjuknya mengarah ke gunung karst itu, pandangannya fokus ke jalananan, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa dulu. Masa muda yang penuh gairah untuk selalu ingin mencoba dan ingin tahu.
Tenda berdiri kokoh dengan pintu menghadap tebing batuan karst. Tali-tali penyangga meregang tertancap disetiap sudutnya. Api unggun anggun menari terhembus angin membakar kayu dan ranting kering. Cangkir-cangkir kosong tergeletak berisikan ampas kopi. Puntung-puntung roko menggunung ditepian batu batas perapian. Seorang perempuan duduk bersila dengan segelas coklat panas ditangannya menatap kosong pijar api. Tapi ada sunggingan senyum di ujung bibirnya. Ada sesuatu yang hangat dalam dirinya. Sebuah ketegasan dan keyakinan atas apa yang ia lihat dan rasakan.
Ayahnya mendekat setelah berkeliling mengecek keamanan tempat mereka akan merebahkan badan dalam tidur nyenyak. Duduk berdampingan dengan sang anak, sang ayah menangkap senyum tipis di bibir anaknya itu.
“Ada apa?”
“hm? Ga ada apa-apa Yah,” sang anak menggelengkan kepalanya heran.
“Jadi bagaimana? Masih ingin jadi tentara?”
Anaknya masih belum memalingkan pandangan dari perapian didepannya,
“Sementara iya, tapi bilapun nanti cita-cita ku berubah. Aku tidak akan pernah menyerah untuk meraihnya. Yang penting mau usaha dan mau mencoba dulu, iya kan Yah?”
Dada sang ayah mengembang seperti balon yang terisi nitrogen. Udara itu menjalar menjadi tetesan air mata haru.
“Ayah bangga!”
Mata mereka bertemu dan saling melempar senyum.
Kini ayahnya telah berbaring disampinya dengan berbantalkan tangan yang ia letakkan dibelakang kepalanya. Matanya terpejam tapi dia yakin kalau Ia masih terjaga. Dirinya masih menjawab teguran atau pertanyaan yang sesekali dilontarkan. Matanya kembali ke warna nila menyala didepannya. Sementara kata-kata dan kalimat-kalimat ayahnya tadi sore masih menggaung didalam pikirannya.
Sore tadi ketika mereka tiba di lokasi itu. Disana ternyata sudah banyak orang. Banyak dari mereka adalah perempuan. Usianya setingkat SMA atau lebih tua sedikit. Selidik punya selidik ternyata mereka adalah pelajar-pelajar dan atlit yang sedang melakukan latihan panjat tebing. Sang ayah kenal dengan si pelatih yang beberapa hari lalu mengabarkan akan mengadakan acara tersebut. Si pelatih meminta ayahnya datang untuk sekedar bertemu dan bernostalgia.
Di sana mereka tidak banyak berinteraksi. Lebih banyak duduk menonton, memperhatikan, dan ikut tegang ketika seseorang sedang berusaha mencapai titik tertentu di kemiringan yang curam. Berteriak histeris ketika melihat pemanjat yang jatuh dan tertahan tali, menggelatung dengan raut muka tegang. Atau ikut bersorak sorai gembira ketika ada yang berhasil mencapai puncak tebing. Lalu turun dengan rasa bangga atas raihannya. Dia larut dalam suasana, sama seperti ayahnya dulu ketika pertamakali mengenal dunia panjat tebing.
Namun justru bukan itu tujuan sang ayah membawanya kesana. Pada saat semua orang sudah berhenti mencoba sekali lagi melakukan pemanjatan. Ketika panitia meneriakan kegiatan hari itu telah usai. Ayahnya berkata, kamu dapat sesuatu? Dan dia hanya menjawab, ya tentu, ini menyenangkan.
Ayahnya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu menunjuk beberapa orang sambil berkata, dia, dia, dia, dan dia juga. Lalu dia yang bekerudung itu, terus dia yang sedang duduk dengan kaki menjulur lurus, dan dia yang terkahir, yang sedang merintih sakit karena kram otot paha.
Mereka adalah contoh bagi mu, bagi ayah juga. Bagaimana kita harus terus mencoba dengan modal yakin bahwa sesuatu yang kita inginkan bisa kita capai. Bisa kita wujudkan. Bagaimana mereka terus jatuh bahkan dibeberapa percobaan harus terpeleset dilangkah pertama, tapi mereka terus mencoba.
Pun sama untukmu. Jika kamu sudah benar-benar ada sebuah cita-cita. Maka cobalah terus untuk menggapainya, mewujudkannya. Meski kamu tahu rintangan dah tantangannya, kamu harus terus mencoba. Para pemanjat itu tidak menyerah untuk sampai di titik tertinggi.