Masukan nama pengguna
Tangannya mendekapku erat-erat, tubuhku mengerjap tanpa permisi. Aku ingin memberontak pergi. Namun, dekapannya yang kuat membungkam tubuhku. Aku bergerak percuma, berakhir diam tak bergeming. Tubuh kita beresonansi. Denyut nadinya terasa jelas, aliran darahnya mengalir tak teratur. Terukir dalam benakku.
Suara dering melenyapkan kegeminganku. Dering ponsel membuat telingaku mendengung, aku pun melipat kedua telingaku. Tangan kanannya masih mendekapku erat, sedangkan tangan kirinya meraih sebuah ponsel. Suara itu berdering, menggetarkan kapuk kasurnya. Aku hanya bisa menatap raut wajahnya yang serius. Kami berdua masih berada di atas kapuk yang tak lagi lentur, ditemani ponsel yang masih berdering nyaring.
“Huh!” diikuti suara lidahnya yang berdecak.
“Hei, Jenni? Kenapa kau lama sekali mengangkat telfonku? Aku sudah berada di lokasi dan kau tahu, aku sudah mengirimkan setengah dari nominal uang yang aku janjikan. Aku tunggu kau dalam lima belas menit. Jika kau tak datang, aku akan menyebarkan rahasiamu. Sebuah rahasia yang penuh gairah, dalam pertemuan pertama kita malam itu. Sebaiknya kau….,” belum selesai ucapan suara yang terdengar berat dari ponselnya, Jenni mematikan panggilan pria itu. Dan ia melemparkan ponsel ke arah sofanya.
“Dasar tua hidung belang sialan! Sudah kubilang aku berhenti! Ahh!” Jenni meluapkan kekesalannya.
“Dug! Dug! Dug!” dinding kamar Jenni bersuara.
“Berisik!” diikuti teriakan tetangga dari kamar sebelahnya yang membalas cepat teriakan Jenni. Aku terdiam. Ia pun terdiam. Mata kami tak sengaja bertemu lalu kami saling menatap dalam diam.
“Ahh, terjadi lagi. Sisi labil dari majikanku ini. Fyuhh,” pikirku sambil menghela napas panjang.
Akhirnya tangannya melepaskanku, tanpa aba-aba, ia meraih bantal dan menimpukku. Ya, aku sudah mengira hal ini. Setiap sisi labilnya muncul, ia pasti melakukan ini. Gerakan lincahku berhasil menghindar dari bidikannya. Ia beranjak pergi menuju kamar mandi.
Aku menghampiri ponselnya yang masih menyala, ingin tahu apa yang sedang terjadi pada majikanku. Walau aku tak bisa membantu, setidaknya aku tahu. Di ponselnya terdapat tulisan, berdasarkan apa yang telah kupelajari dari Jenni, tulisan itu terdiri dari huruf ‘B-U-D-I’ dan terbaca ‘Budi’.
Aku dapat membaca kata-kata yang tak terlalu panjang dan rumit. Ini semua berkat Jenni. Sejak ia memungutku, ia mengajariku membaca dan berhitung, merawatku layaknya anak kandung. Aku tersadar, sisi labilnya keluar setiap nama Budi muncul di layar ponselnya. Dasar Budi si pembawa masalah.
“Jonnii, sini Jon, waktumu makan malam dan berdandan. Kau harus ikut denganku malam ini!” Teriakan Jenni terdengar tegas dan penuh emosi. Aku menurut saja, karena tak seperti biasa ia mengajakku ikut bersamanya. Apalagi saat akan bertemu dengan pria pembawa masalah bernama Budi.
Buntalan handuk menutupi rambutnya yang belum sepenuhnya kering. Tubuhnya terlihat gamblang. Baru kali ini ia memperlihatkan tubuhnya tanpa sehelai kain kepadaku. Mataku terbelalak, melihat bercak warna biru di permukaan kulit tubuhnya yang langsing. Bercak biru terdapat di bagian perut dan dada, sementara bercak berwarna merah aku temukan di lehernya. Bercak merah itu terlihat seperti bekas gigitan. Ia menyodorkan sebuah mangkuk kepadaku.
“Ini upahmu untuk menemaniku malam ini. Daging burung puyuh kesukaanmu,” tangannya meraihku. Menggenggam badanku lalu menatap mataku dalam-dalam. Sedangkan air liur sudah mengalir di sela-sela mulutku. Ia meneruskan berbicara sambil mengangkat tubuhku, “kau harus menolongku Jonni Scott! Aku memohon kepadamu malam ini. Malam ini saja, kau harus menolongku, aku akan bertemu seorang pria yang paling kubenci. Aku tak tahu siksaan apalagi yang akan menghujamku malam ini. Jika ia mulai menyentuh tubuhku, kau harus segera menggigit kemaluannya. Kau harus berjanji, kau mengerti? Ini upahmu, dan aku bisa pastikan kau akan mendapatkan makanan yang sama besok. Itu pun jika kita bisa lolos dengan selamat malam ini,” ia meletakkanku kembali ke lantai. Aku mengeong dan menganggukkan kepalaku, lalu menerkam upahku. Tentu aku akan melindungi majikanku, seperti apapun Jenni, seburuk apapun dia, aku akan melindunginya walau aku kehilangan nyawaku.
Aku menjilati mangkuk makanan bermotif ikan, untuk memastikannya bersih tanpa sisa. Sedangkan ia telah selesai menyiapkan dirinya untuk pergi. Kali ini dandanannya terlihat sangat berbeda. Tak seperti malam-malam kemarin. Tak ada riasan di wajhnya. Ia hanya memakai jaket hoodie berwarna hitam polos dan celana jeans yang sobek di bagian lututnya. Ia menghampiriku dan mendandaniku dengan memakaikanku sebuah syal berwarna merah tua di leherku. Aku digendongnya dan kami beranjak pergi.
****
Kami sampai di suatu tempat dengan lampu kuning yang remang. Kerlap-kerlip lampu menghiasi sebuah papan yang bertuliskan ‘love hotel’. Tepat di bawah papan itu, terlihat pria dengan perut buncit sudah menunggu. Mungkin pria itu yang bernama Budi. Dekapan Jenni yang menggendongku tiba-tiba semakin erat, terasa kuat. Tangannya bergetar, badannya sekejap bergidik. Seakan ia sedang sangat ketakutan. Getaran tangannya semakin kuat saat ia semakin dekat dengan Budi. Wajah pria itu dipenuhi kerut dan jerawat. Brewok menghiasi wajah Budi yang tersenyum, membuatnya semakin terlihat mesum. Ia berdiri di samping mobil mewahnya yang berwarna hitam mengkilap.
Budi menyambut kami dengan senyum yang menjiijikkan. Sampai-sampai perutku terasa mual dibuatnya.
“Kau tepat waktu Jenni, aku akan memberikanmu hadiah malam ini. Mengapa kau tak merias wajahmu Jenni? Tapi itu tak masalah. Melihat wajahmu tanpa riasan dan dandanan yang seksi pun, membuat adik kecilku sudah tegak berdiri. Ayo kita ke dalam, tetapi sebelum itu, singkirkan kucing kotor ini,” bual Budi sambil menyeringai menatapku. Tangannya yang besar memegang pergelangan tangan Jenni. Jenni meringis kesakitan. Melihat hal itu, aku langsung melompat menerkam wajah Budi, berusaha mencakar wajah mesumnya, tetapi gagal. Aku berhasil ditangkapnya, lalu dilemparkannya ke jalan. Aku terbang melayang. Tubuhku disambut dengan sebuah mobil yang melaju kencang.
“Brakk!”
Aku terhantam dan kembali terbang melayang. Terpental dan berakhir di seberang jalan. Mendarat di trotoar. Pandanganku perlahan kabur. Tetesan darah dari kepalaku, mengalir pelan menutupi pandangan mataku.
Pandanganku yang kabur melihat sebuah kaki. Kaki itu tepat berada di sampingku. Aku melirikkan mata, untuk melihat pemilik kaki itu. Terlihat samar, tampak seorang pemuda, ia duduk di sampingku. Kedua tangannya terlihat sibuk dengan sesuatu. Sesuatu yang dipegangnya terlihat mirip dengan ponsel milik Jenni. Suaraku mulai lemah, berusaha memanggilnya berulang kali, tapi ia tak peduli. Tiba-tiba ia berteriak.
“Cih, dasar situs judi sialan. Kau mencoba mempermainkanku hah?” teriaknya lantang. Tak lama, matanya menatapku yang terkulai tepat di samping kakinya. Ia melihatku, mulutnya menyeringai.
“Pasti ini gara-gara kau kan kucing sialan!” ia berteriak, meludahiku, lalu berdiri menendang tubuhku, kemudian ia beranjak pergi. Pergi ke seberang jalan, tempat Jenni dan Budi masih berseteru. Pria itu tak peduli, hanya melewati mereka berdua, meneruskan langkah kakinya pergi dengan acuh tak peduli. Tak peduli denganku, tak peduli dengan Jenni, yang ia pedulikan hanyalah judi. Ia pergi dengan jari yang masih sibuk memencet-mencet layar ponselnya.
“Ah, dasar penjudi. Ah, begitu sialnya aku malam ini. Bertemu pria mesum, tertabrak mobil, lalu ditendang si penjudi. Tubuhku mulai terasa lemas, terasa dingin. Apakah aku berakhir mati?” keluhku dalam hati.
“Jonni! Jonni! Tolong! Tolong!” suara teriakan Jenni sampai di telingaku. Ia meneriakkan namaku sambil meminta tolong.
“Ingat janjimu Joni! Cepat selamatkan aku Joni!”
Mendengar teriakannya membuatku teringat akan janjiku kepadanya. Aku harus menerkam pria mesum itu. Aku harus menerkam burungnya. Burung? Seketika aku mengingat burung puyuh kesukaanku. Entah bagaimana, rasa lemas sekejap menghilang dari tubuhku. Tenagaku seakan bertambah dua kali lipat lebih besar. Aku harus menyelamatkan Jenni. Aku berdiri, berlari menyeberangi jalan, dan menerkam alat vitalnya, tetapi terkamanku serasa meleset.
Aku berusaha menerkamnya lagi. Tetapi aku malah menembus badannya. Aku tak dapat menyentuhnya. Di saat itulah aku menyadari, bahwa sebenarnya aku telah mati. Aku tak bisa apa-apa lagi. Mataku hanya melihat Jenni yang diseret dan dipaksa masuk ke dalam ‘love hotel’. Jenni terus memanggil-manggil namaku. Berharap aku dapat menyelamatkannya dari jeratan Budi, tetapi aku bisa apa? Karena aku telah mati.