Cerpen
Disukai
3
Dilihat
2,062
Percakapan Orang Mati
Misteri

“Ke mana kita setelah mati? Akankah kita tersenyum lebar atau justru tersedu sedan, ketika melihat sebuah kebenaran?

Seorang gadis kecil mengerang keras. Ia memaksa masuk ke dalam sebuah peti mati. Kedua tangan mungilnya ingin meraih tubuhku yang membiru, namun tubuh kecilnya tak dapat lepas dari tangan manusia dewasa yang menahannya. Wajah gadis itu seperti bunga yang layu. Sebuah kantung menggantung di bawah matanya. Ingus bergelantungan pada dinding bagian dalam Kartilago Lateralis Inferior milik gadis itu. Menggantung seperti masa depan, karena ingus tak akan pernah mengetahui bagaimana ia akan berakhir. Jatuh dan terlupakan atau tetap dipertahankan. Sungguh, masa depan adalah misteri begitu juga dengan kematian.

Melihat gadis itu, air mataku terperosot jatuh, tapi itu hanya perasaanku saja, karena aku yang sekarang tak bisa lagi meneteskan air mata. Aku sudah berpisah dengan tubuhku sendiri. Ingin aku memeluk dan mencium keningnya. Namun itu sesuatu yang mustahil. Sekarang, aku adalah ruh, karena kemarin aku telah mati. Dan gadis itu, resmi menjadi piatu.

Aku mengambang di udara, aku tembus pandang. Mungkin, jika mereka melihatku, mereka akan menyebutku hantu dengan nada nyaring sambil lari terbirit-birit. Aku dapat melihat, bahwa di dalam tubuh manusia terdapat wujud sepertiku. Mungkin dapat aku analogikan seperti pilot yang sedang mengemudikan pesawat, ya, semacam itu. Sekarang aku benar-benar mengerti, bahwa tubuh hanyalah wadah, hanyalah alat. Dan yang cukup mengejutkan, terdapat sebuah penghubung antara tubuh dan ruh. Penghubung itu berbentuk seperti sehelai rambut dengan warna yang terkadang berkilauan.

Di ruangan ini, aku dapat melihat jelas penghubung itu pada setiap manusia yang berada di sini, baik itu kerabat, kolega, teman, atau bahkan orang yang tak kukenal. Anehnya, penghubung itu memiliki beberapa warna. Putih, hitam, dan merah. Bagaimana denganku? Tali penghubung yang setipis rambut itu masih berada di tubuhku yang membiru, walau memang sudah terputus dengan ruhku. Tali itu berwarna putih. Entah apa arti yang sebenarnya dari semua warna itu.

Sebelum aku mati, aku memaknai warna putih sebagai lambang kesucian. Tapi keyakinanku itu berakhir, karena aku bukanlah manusia suci. Memaknai warna merah sebagai lambang keberanian, dan warna hitam sebagai lambang kegelapan. Sebelum menjadi hantu, aku bekerja sebagai pedagang. Pedagang dengan keuntungan tinggi yang pasti laku terjual. Aku menjual tubuhku sendiri. Aku melakukannya dengan dua metode. Metode pertama adalah menjual tubuhku secara daring, dan metode kedua menjual tubuhku secara luring.

Aku menjalani pekerjaan ini bukan karena keinginanku sendiri. Saat aku berusia lima belas tahun, aku dijual oleh ayahku sendiri untuk melunasi hutang-hutangnya. Ibuku? Aku tak tahu siapa ibuku, karena ayahku selalu membawa wanita yang berbeda setiap kali pulang ke rumah. Jika kau bertanya siapa ayah dari anak perempuanku, aku tak tahu, karena sudah ratusan atau mungkin ribuan pria telah menanam benih dalam rahimku. Kau bertanya apa penyebab kematianku?  Aku mati saat sedang bekerja dan aku mati di usia tiga puluh lima tahun.

Saat aku sedang memperhatikan orang-orang sekitar, pandanganku tertuju kepada seorang lelaki tua. Mungkin usianya sekitar tujuh puluh tahun. Lelaki itu duduk di sebuah kursi roda. Rambutnya berwarna putih. Wajahnya penuh dengan kerut, kedamaian dan ketenangan sempat terpancar dari wajahnya, walau hanya sebentar. Kemudian ruhnya perlahan keluar dari tubuhnya. Tanpa sebab yang pasti, tali penghubungnya terputus seperti tergunting. Tali pria tua itu berwarna hitam, terasa kelam dan mencekam. Gelap! Tak seperti aura yang sempat terpancar dari wajahnya tadi.

Namun seperti yang kubilang tadi, entah apa makna dari warna itu. Apakah suatu kata memiliki makna yang tetap dan sama? Maksudku, makna suatu kata saat kita hidup dan setelah kita mati. Jika tali ruhku berwarna putih, dan putih kumaknai dengan kesucian. Aku jadi teringat dengan sebuah cerita. Cerita tentang seorang pelacur yang masuk surga karena memberi makan seekor anjing. Aku sempat berharap, karena aku pernah memberi makan seekor lintah dan kawanan nyamuk. Lantas, apakah aku akan masuk surga? Sungguh misteri, masa depan sungguh misteri. Aku jadi teringat perkataan Epikuros tentang kematian yang berbunyi, “saat kita ada kematian tak ada, dan saat kematian ada kita tak ada,” dan aku tetap ada walau aku telah mati, lalu di mana aku berada sekarang? Entahlah.

Tepat sebelum tali ruh lelaki tua itu terputus, ia memandangi tubuhnya sendiri. Tak lama kemudian, tali penghubungnya terputus, seketika ekspresi pada wajahnya seperti tanah liat yang mengering. Maksudku, otot dan saraf pada mimik muka tubuhnya kaku dalam sekejap. Wajahnya yang seolah memancarkan aura ketenangan dan damai tadi seketika sirna saat tali penghubungnya terputus. Mata pada jasad lelaki tua itu melotot, mulutnya menganga hingga membuat gigi palsunya copot. Terkejut? Terkejut akan apa? Malaikat pencabut nyawa?

Memang, tadi aku sempat melihat bayangan hitam dengan ukuran cukup besar menghampiri lelaki tua itu. Ya bayangan hitam itu muncul dari bayangan lelaki tua itu sendiri. Perlahan bayangan itu bergerak dan timbul dari permukaan lantai. Menjadi sebuah sosok yang seolah-olah hidup dan bergerak.

Ruh lelaki tua itu tak lagi bersemayam dengan tubuhnya yang berada di kursi roda. Ia mengambang di udara sambil meratapi tubuhnya yang mendadak menjadi kaku. Suasana di pemakamanku menjadi riuh, karena sekarang, ada dua orang mati. Hari ini, lelaki tua itu resmi menjadi hantu, sama sepertiku. 

Aku berniat menghampirinya, namun ia menyadari keberadaanku terlebih dahulu. Ia terbang ke arahku. Terbang dengan tatapan yang sama saat menatap tubuhnya yang kaku. Kami saling menatap. Tak ada kata, hanya ada suara riuh di ruangan itu. Aku membuka pembicaraan, karena tak tahan dengan tatapannya itu.

“Kau tak apa?” tanyaku.

“Hantu?” pria tua itu balik bertanya kepadaku.

“Kau pun hantu,” balasku.

“Aku hantu? Kau bercanda. Aku sedang bermimpi, karena aku tertidur.”

“Bukannya kau telah melihat tubuhmu yang kaku tadi?”

“Itu ilusi, hanya mimpi. Tapi, apakah kau benar-benar hantu?”

“Ya aku mati kemarin. Kau pun menjadi hantu lima menit yang lalu.”

“Sudah kukatakan aku bukan hantu. Lalu, bagaimana kau mati?”

“Aku mati saat bekerja.”

“Kau mengalami kecelakaan? Atau dibunuh dengan sengaja? Diculik?”

“Tidak, aku mati saat berada di puncak kenikmatan.”

“Puncak kenikmatan? Kau penyanyi? Apa pekerjaanmu?”

“Aku seorang pelacur.”

“Pekerjaan yang hina!”

“Tak sehina dirimu oh hantu.”

“Mengapa kau berkata begitu? Sudah kukatakan aku sedang bermimpi. Ini hanyalah mimpi.”

“Nah, aku memang seorang pelacur, tapi aku menerima kematianku. Tidak seperti kau.”

“Sudah kukatakan aku bukan seorang hantu. Ini hanya mimpi.  Aku belum mati!”

“Lalu mengapa kau berada di upacara pemakamanku? Aku bahkan tak mengenalimu.”

“Aku pun tak mengenalimu. Namun aku berada di sini karena kenalanku berkata ada seorang gadis yang membutuhkan orang tua asuh.”

“Oh itu anakku. Betapa beruntungnya.”

“Beruntung atas kematianmu?”

“Ya dan atas kematianmu. Beruntung tak memiliki ayah angkat yang menolak kenyataan sepertimu.”

“Diam kau pelacur!”

Percakapan itu tak selesai karena tiba-tiba semuanya menjadi hening dan gelap. Tak ada suara, tak ada cahaya. Aku yang tak lagi memiliki bentuk pasti, serasa dihisap sesuatu. Aku berputar putar lalu berakhir di suatu tempat yang berbeda, entah di mana. Aku meyakini bahwa aku berada di dimensi yang berbeda, dimensi yg lebih tinggi atau bisa jadi dimensi yang lebih rendah. 

Kegelapan mulai sirna, seberkas cahaya perlahan memenuhi ruangan itu. Dan nampaknya aku berada di sebuah ruangan. Ruangan ini begitu luas sekaligus terasa sempit, karena aku tak dapat melihat pembatas dinding. Sudut-sudutnya gelap tak berujung. Aku tak sendiri karena aku mendapati tiga hantu sepertiku, termasuk lelaki tua yang tak terima bahwa ia baru saja mati, dan seorang nenek tua dengan seonggok celana dalam di tangan kanannya. Sebentar, celana dalam? Dan entah bagaimana kami sudah berbaris rapi.

Aku penasaran dengan nenek tua itu. Bagaimana bisa seonggok celana dalam dibawanya saat mati. Aku menghampirinya dan menembaknya dengan beberapa pertanyaan.

“Nenek, bagaimana nenek mati? Dan dari mana asalmu nek?”

“Hmm, aku mati terbunuh. Aku dari Kota Astrophus, Negeri Stromotaphus. Bagaimana denganmu?”

“Terbunuh? Bagaimana bisa? Dan di mana itu Negeri Stromothapus, aku baru mendengarnya. Aku tak pernah tahu ada nama negeri itu di belahan bumi manapun. Ah, soal kematianku, aku tak tahu penyebab pastinya, yang jelas aku mati saat bercinta. Dan mati saat masih dalam posisi itu. Orang-orang menyebutnya fenomena gancet.”

“Menarik, benar-benar menarik. Sungguh kematian yang sangat menarik. Kau belum pernah mendengar nama Negeriku? Sungguh? Negeriku adalah salah satu negeri yang terletak di bumi. Tunggu, apakah bumi kita berbeda?”

“Mungkin saja, bila mengacu pada teori fisika kuantum atau mekanika kuantum. Dikenal dengan istiah multiverse atau dunia paralel. Kemungkinan lainnya, kita berada di waktu yang jauh berbeda. Apakah nama satelit bumi tempat asalmu bernama bulan?”

“Aku tak pernah tahu teori itu, karena aku tidak benar-benar suka belajar atau membaca. Tetapi itu bisa jadi. Tak ada sesuatu yang mustahil di dunia ini bukan? Ya, bulan adalah satelit tempat asalku.”

“Kemungkinan adalah perbedaan waktu. Kau berasal dari tahun berapa nek? Aku berasal dari tahun 2024.”

“Wah, terpaut cukup jauh. Aku berasal dari tahun 3080.”

“3080? Jadi kau dari masa depan. Aku penasaran, mengapa kau memegang sebuah celana dalam? Itu celana dalam milikmu? Sungguh motif yang unik. Itu adalah hieroglif bukan?”

“Ah, ini. Ini adalah celana dalamku. Motif Hieroglif? Aku bahkan tak tahu apa itu, tapi aku menyukainya, karena celana dalam ini adalah hadiah dari mendiang suamiku, tepat sebelum ia mati. Aku tak ingat kejadian pastinya mengapa aku mati dan kondisi terakhirku, yang aku ingat pasti adalah saat menerima celana dalam dari suamiku, dan saat aku mati dibunuh.”

“Oleh siapa?”

Nenek itu terdiam. Lalu sosok misterius yang tingginya kurang lebih tiga meter, muncul secara tiba-tiba dan berjalan ke arah kami, sambil membawa sebuah buku yang cukup besar. 

“SELAMAT DATANG ORANG-ORANG MATI. KALIAN ADALAH TIGA ORANG TERPILIH YANG MEMILIKI KESEMPATAN UNTUK LEBIH CEPAT MENUJU SURGA. TAPI ITU HANYA UNTUK SATU ORANG. DUA ORANG LAINNYA AKAN MENUJU NERAKA!” suaranya yang mencekam menambah suasana menjadi semakin menyeramkan. Menyeramkan? Kami ketakutan? Namun apa yang membuat hantu seperti kami takut? Adakah yang lebih menyeramkan dari hantu?

Kakek tua tercengang, karena ucapan dari sosok misterius itu membenarkan apa yang dikatakan seorang wanita tadi kepadanya. Bibir wanita muda menyungging sambil melirik kakek tua dengan penuh kepuasan. 

“BAIKLAH, AKU AKAN MENGADAKAN PRESENSI SECARA SINGKAT. MARNI.”

“Ya saya hadir.”

“KAU ADALAH PELACUR YANG MATI SAAT MELAKUKAN SEKS.”

“Dasar pelacur,” timpal kakek tua dengan suara lirih. 

“DIAM! BERIKUTNYA BUDI.”

“Hadir.”

“KAU MATI KARENA SERANGAN JANTUNG DAN PENYAKIT KOMPILASI LAINNYA. KAU ADALAH SEORANG PRIA TUA HIDUNG BELANG YANG MENGUMPULKAN, MENJUAL DAN MENYETUBUHI ANAK KECIL DAN….”

“Aku adalah seorang Kyai…,” sela Budi panik.

“Dasar kakek tua bangka munafik,” bisik Marni.

“DIAM KALIAN SEMUA! BUDI, KAU MENGATASNAMAKAN KEBENARAN DEMI HASRATMU! DAN SELANJUTNYA, OLDA VEYOTTA, KAU MATI DIBUNUH ALIEN?”  

“Alien??” sahut Budi dan Marni serentak kebingungan. 

“TUNGGU SEBENTAR! ADA REVISI!”

Tiba-tiba pada sudut gelap yang tak berujung muncul sebuah pintu besar berwarna putih.

“KAU LULUS. MASUKLAH KE DALAM PINTU ITU.”

Tanpa berkata apa-apa Olda Veyotta menurut dan masuk ke dalam pintu putih itu.

“BAIKLAH. TINGGAL KALIAN BERDUA. SEKARANG MANFAATKANLAH KESEMPATAN INI UNTUK MERUBAH TAKDIR KALIAN WAHAI ORANG-ORANG MATI!”

“Caranya? Bukankah nenek itu telah lulus dan menuju ke satu-satunya pintu Surga?”

“NENEK ITU MEMANG LULUS, TETAPI AKU TIDAK BILANG PINTU ITU MENUJU SURGA. NENEK ITU TAK JADI MATI. IA MASIH HIDUP. PINTU ITU MENUJU KE TEMPAT IA BERASAL. SUDAHI PERTANYAANMU. AKAN KUMULAI SEKARANG.”

Dan seketika semuanya menjadi gelap. Tempat itu menjadi labirin penuh pintu. Sosok itu menghilang, hanya ada dua orang mati yang tersisa. Marni dan Budi. Mereka berdua harus berjuang menemukan sebuah pintu menuju Surga.

“Jadi apakah kau masih percaya kalau ini semua hanya mimpi Kyai?” Marni bertanya diikuti isak tangis kakek tua bernama Budi.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)