Masukan nama pengguna
Suara bel panggilan darurat dari kamar nomor 10, terdengar di ruang perawat jaga. Kayli segera bergegas. Suara langkahnya bergema di sepanjang koridor. Temannya--sesama perawat jaga--Amira, Salwa dan Nina, juga sedang sibuk di kamar pasien yang lain. Malam itu, merekalah perawat yang bertugas di blok perawatan penyakit kanker.
Sampai di kamar nomor sepuluh, Kayli melihat seorang pasien, perempuan muda--tergolek lemah--berwajah pucat, dengan kelopak mata membiru. Bekas muntahnya berserakan di ranjang dan lantai kamar. Kayli menduga itu adalah akibat perawatan kemo. Kemudian ia melihat papan identitas pasien di ujung ranjang.
Kamar : 10
Nama : Azlina
Umur : 15 tahun.
"Ada apa, Azlina?" Kayli memeriksa keadaan pasien Gliona Cerebri itu dengan hati-hati.
"Saya mau pulang, Sus!"
"Belum boleh sekarang, kalau mau pulang harus ada ijin dokter," Kayli tersenyum.
"Saya tidak peduli, antarkan saya pulang malam ini juga!" suara Azlina terdengar dalam dan terasa sangat jauh. Seperti lolongan yang menyayat. Pedih!
"Rumah saya hanya 30 menit dari sini!" teriaknya menggeletar.
Kayli berusaha menenangkan Azlina, tapi pasien kanker otak yang mematikan itu dengan beringas membuka perban di kepalanya. Nampak bekas jahitan memanjang dari sisi sebelah kiri. Azlina menusuk bekas luka jahitan itu dengan kedua jari tangan, lalu menariknya sekuat tenaga. Kreek! Kreek!
"Stop! Stop!" Kayli berteriak ketakutan. Ia melihat kepala Azlina menganga. Seketika saja warna merah menyeruak. Darah menggenangi kepala dan merembes ke sekujur tubuh perempuan belia itu.
Kayli berlari menuju ruang perawat jaga. Entakan tumit sepatunya yang beradu dengan lantai, bergema di sepanjang koridor. Di ruang piket sudah berkumpul teman-temannya sesama perawat jaga.
"Pasien kamar nomor sepuluh mencoba bunuh diri, ia menyobek kepalanya sendiri. Cepat hubungi dokter jaga!"
"Apa maksudnya, Kayli?" Nina menatap Kayli seolah tak percaya.
"Kamar nomor sepuluh itu kosong, kamu tidak lihat ini?" Amira menunjukkan daftar pasien yang berada di ruang perawatan.
"Kamar nomor sepuluh itu kosong, Kayli," Salwa menegaskan.
Kosong?! Kayli tak percaya. Ia berbalik--bergegas melangkah, hampir seperti berlari menuju kamar nomor sepuluh. Sesampainya di sana, Kayli membuka pintu dan menerobos masuk. Kamar itu kosong, tidak ada pasien yang terbaring di ranjang. Tiba-tiba saja aroma melati menyeruak sangat kuat, ada kesiur angin menerpa yang entah dari mana datangnya.
Kayli terdiam. Kakinya seperti terpaku di lantai kamar, meski sekuat tenaga ia berusaha pergi dari tempat itu, tetap saja ia tak bisa bergerak. Di papan identitas pasien yang tergantung di ujung ranjang tertulis:
Kamar : 10
Pasien : Kayli
Umur : 15 Thn