Masukan nama pengguna
Kedai kopi di sudut jalan Sultan selalu saja ramai. Lelaki berewok bertubuh kurus itu salah satu pengunjung tetapnya. Saban hari dia lebur bersama puluhan orang, berbincang sambil menyesap nikmatnya kopi arabica, ditingkahi gumpalan asap rokok yang berdesakan di dalam kedai hadirkan sapuan abstrak di udara.
"Hidup itu serupa singgah di kedai kopi, cuma sebentar," teriak lelaki berewok sambil mengangkat gelas, mengacungkannya ke atas.
"Ah, itu perumpamaan kau saja!" balas lelaki lain yang duduk di pojok kedai.
Lalu terdengar suara tertawa. Kemudian mereka kembali tenggelam dalam perbincangan yang entah apa. Ngalor-ngidul.
"Sekarang aku mau pulang, karena aku tahu kapan saatnya aku akan pulang," lelaki berewok meninggalkan selembar amplop putih di meja.
Pemilik kedai kopi menatap amplop yang ditinggalkan lelaki berewok di atas meja.
"Apa itu?"
"Sebuah jawaban, buka saja nanti," lelaki berewok keluar dari kedai kopi.
Setelah itu terdengar benturan keras di jalan, di depan kedai kopi. Lelaki berewok yang bertubuh kurus itu terlempar dan terkapar di aspal jalan. Sebuah mobil menghantamnya ketika menyeberang. Pemilik kedai bergegas membuka amplop yang ditinggalkan lelaki berewok tadi. Ada tulisan yang ditulis dengan terburu-buru, berbunyi:
MEMERAH DARAH
Di luar, aspal jalan memerah darah. Semua terdiam. Dia tak akan pernah lagi singgah di kedai kopi. Lelaki itu benar-benar telah pulang. ©