Masukan nama pengguna
Kurekatkan jaketku, tanganku refleks mendekap tubuhku sendiri. Bahan parasut tipis jaket ini rupanya tidak mampu menahan tiupan angin malam ini. Kupercepat langkahku dari parkiran motor menuju pintu utama kafe. Setibanya di muka sebuah pintu kaca berukuran besar, seorang pria pelayan kafe membukakanku pintu.
“Selamat datang. Silahkan Kak, mau langsung order atau mau cari tempat dulu?” ucap pelayan itu dengan sopan mempersilahkanku masuk, kubalan dengan anggukan kepala.
Didalam kafe, aku langsung menuju lantai 2. Sepuluh tahun tidak ke sini, sepertinya tidak banyak yang berubah dari kafe ini. Mulai dari warna dinding sampai interior yang digunakan. Bahkan letak kursi-kursi dan meja pun tidak banyak berubah. Di lantai dua, aku langsung menuju meja di teras. Namun begitu kubuka pintu menuju teras depan, udara dingin langsung mencegatku. Aku tutup kembali pintu kaca itu, kembali masuk.
Kuburu sebuah meja dengan empat kursi kayu yang masih kosong, yang berada tepat di sisi jendela kaca berukuran besar, yang lebih tepat disebut dinding kaca ketimbang jendela. Kulabuhkan tubuhku di sebuah kursi kayu. Dari posisiku, kubisa memandangan dengan leluasa ke arah luar, teras depan kafe. Nampak lengang. Semua bangku di luar terlihat kosong. Pohon-pohon yang ditanam berjejer rapih di pot-pot plastik berwarna putih, terlihat terguncang tertiup angin yang nampak bersemangat malam ini.
Demi melihat pelayan yang menatapku terus menerus, rasa ibaku muncul. Kupanggil dia lalu kupesan sebuah kopi hitam pahit tanpa gula.
Kusandarkan bahu di sandaran kursi kayu tak berpelapis busa. Pandanganku tertuju pada sebuah meja bundar di teras depan. Mataku menembus dinding kaca, sementara ingatanku menembus waktu. Kutatap lekat meja kosong itu. Sepuluh tahun lalu, di meja itulah ketololan itu terjadi. Hal paling goblok yang pernah kulakukan selama aku menjadi manusia.
Sepuluh tahun lalu, saat terakhir aku ke kafe ini, aku bersama dengan empat orang teman sekolahku duduk melingkari meja bundar di teras depan itu. Malam itu, tepat setelah siangnya kami semua menerima ijazah SMA. Uforia siang hari selepas menerima ijazah di sekolah, kami lanjutkan dengan nongkrong di kafe ini.
“Sini-sini, mana ijazah kalian?” ujar Rusdi tiba-tiba.
“Ngapain?” tanya Hilman, diikuti ekspresi tanya tiga orang lainnya.
“Uda sini, simpen di meja,” lanjut Rusdi.
Dia meletakkan ijazahnya di atas meja. Hilman, Dika dan Chandra, bersamaann mengeluarkan ijazah mereka dari dalam tas lalu meletakkannya di atas meja, menumpuk ijazah Rusdi.
“Punya lo mana Nu?” buru Rusdi.
“Mau ngapain sih?” aku gelagapan mengeluarkan Ijazah dari dalam tasku.
“Uda, sini!” seru Rusdi langsung merebut ijazah dari tanganku. Dia lalu beranjak dari duduknya.
“Tunggu sebentar,” ujarnya. Kami berempat saling bertatap-tatapan melihat tingkah Rusdi.
“Ngapain sih dia?” ujar Dika, dibalas gerakkan menganggat bahu oleh aku, Hilman dan Chandra.
Kulihat Rusdi berjalan menuju meja resepsionis, lalu kembali dengan sebuah gunting di tangannya.
"Gini, gua punya ide. Gua challenge lo semua. Gimana kalo kita gunting ijazah kita ini?” ujar Rusdi begitu ia kembali ke kursinya.
“Gila lo,” timpal Dika, disambut gerakkan telapak tangan Rusdi, menyetop kata-katanya.
“Kita gunting ijazah kita, terus kita janjian ketemu lagi di sini, di meja ini, sepuluh tahun yang akan datang dalam keadaan sukses. Gimana?” ujar Rusdi bersemangat.
“Ah stress nih bocah,” ujar Chandra, sambil menyilangkan jari telunjuk di keningnya. Rupanya cina yang satu ini juga agak jiper nerima tantangan dari Rusdi.
“Gimana? Berani ga?” buru Rusdi.
“Kita buktikan bahwa kita semua bisa sukses tanpa ijazah,” Rusdi coba meyakinkan.
“Kita kumpul lagi sepuluh tahun yang akan datang,” lanjutnya.
Hening sejenak, kami semua saling tatap-tatapan.
Baru saja Dika hendak mengambil lagi ijazahnya, “Gua setuju!” ujar Hilman tiba-tiba.
“Serius lo?!” buru Dika dan Chandra bersamaan.
“Ya, gua terima challenge lo,” Sambung Hilman, mengulurkan tangan ke arah Rusdi.
Sambil tersenyum Rusdi menyambut uluran tangan Hilman.
Entah dari mana datangnya ide gila Rusdi itu, dan entah mengapa pula Hilman langsung setuju. Sejak dulu, tabiat bocah laki keturunan minang yang satu itu memang paling tidak bisa ditantang, pasti maju. Semakin ditantang, semakin bersemangat.
“Lo gimana Ru?” tanya Hilman kepadaku. Dia tahu bahwa aku setali tiga uang dengannya, gak bisa ditantang. Tapi untuk urusan ini sepertinya aku harus mikir bolak-balik.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Hilman, tiba-tiba dua orang yang duduk disampingku meng-iyakan.
“OK gua ikut,” ujar Dika, diamini Chandra.
Sambil tersenyum, Rusdi mengulurkan tangan ke depan, disambut Hilman meletakkan tangannya di atas tangan Rusdi, disusul tangan Chandra dan Dika. Mereka berempat kompak menatap ke arahku. Kurespon dengan gerakan mengangkat bahu, sambil menghempaskan nafas. Kusambut uluran tangan mereka.
“Ok, kita janji akan kumpul lagi di tempat ini, tepat di meja ini, sepuluh tahun yang akan datang, dalam keadaan sukses,” ujar Rusdi dengan nada yakin, disambut anggukan kepala yang lainnya.
“Suuuukses!” teriak kami berlima. Gelak tawa lalu pecah di atas meja kayu bundar itu.
Rusdi sang inisiator ide sinting itu meraih ijazahnya, lalu memposisikan gunting di salah satu sisi ijazahnya, siap mengeksekusi selembar kertas yang diperjuangkannya selama tiga tahun di SMA itu.
“Kalau gak sukses gimana?” tiba-tiba mulutku bersuara.
“Kalau sepuluh tahun kemudian di antara kita ada yang gak sukses, maka yang lain, yang uda lebih sukses harus bantu dia. Siapapun!” ujar Rusdi, setelah hening sejenak.
“Deal?” sambungnya menatap kearahku, hilman, Dika dan Chandra secara bergantian.
“Ok deal!”
“Sepuluh tahun kemudian, kita kumpul lagi dalam keadaan sukses!” ujar Rusdi mantap, sambil menggunting ijazahnya menjadi lima bagian. Ia lalu membagikan tiap potongannya kepada kami berempat. Sisanya, yang satu potong, dia pegang sendiri.
Disusul Dika yang duduk tepat disampingnya. Ia mengambil ijazahnya, memotongnya jadi lima bagian lalu membagikan setiap potongan ijazahnya kepada kami berempat dan mengambil satu potong untuknya.
Setelah Dika lalu menyusul Hilman yang duduk tepat di sisi kanan Dika. Melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh Rusdi dan Dika. Setelahnya lalu menyusul Chandra. Ditatapnya wajah kami berempat secara bergantian. Ada sedikit ragu di wajah putihnya. Setelah beberapa saat terdiam, sambil menggelengkan kepala, ia lalu menggunting ijazahnya, melakukan sama persis yang dilakukan Dika, Hilman dan Rusdi. Bahkan dia mengucapkan pula apa yang diucapkan oleh Rusdi ketika menggunting ijazah.
“Kita kumpul lagi di sini dalam keadaan sukses, sepuluh tahun kemudian,” ujar Chandra dengan gaya bicaranya yang cadel.
Chandra lalu menyerahkan gunting kepadaku. Agak degdegan kuraih gunting itu. Seperti juga Chandra, kutatap wajah teman-teman gila-ku satu persatu. Terutama Rusdi, seolah aku bilang “Lo yakin?!” Seperti mafhum dengan maksud tatapanku, dia lalu mengangguk pelan.
"Ayolah, Andaru. Yakin, kita bisa sukses tanpa ijazah itu," Rusdi meyakinkanku.
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan bersamaan dengan kedua bilah tajam gunting itu merobek ijazahku menjadi lima bagian.
Belakangan aku sadar bahwa ketika gunting itu merobek ijazahku, itu bukan hanya merusak selembar kertas yang kutunggu-tunggu selama tiga tahun, tapi juga telah menghancurkan harapan dan cita-cita kedua orang tuaku. Bersama gunting itu aku telah mengkhianati perjuangan kedua orang tuaku.
“Ini kopinya, Kak,” pelayan yang membawakanku secangkir black coffee membuyarkan lamunanku. Tersenyum, kusambut uluran cangkir kopi itu.
Kuseruput kopi hitam panas tanpa gula. Pahit. Namun tak seberapa jika dibandingkan dengan pahitnya hidup yang kualami selama sepuluh tahun terakhir ini. Lebih bodohnya, semua kepahitan itu semakin bertambah lantaran aku tidak punya ijazah SMA.
Mungkin di saat semuanya kumpul nanti, aku akan menjadi yang paling gagal di antara kami berlima. Aku akan menjadi yang paling banyak diam karena memang tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang pengalamanku sepuluh tahun ini.
Kembali kutatap meja kosong di teras luar itu. Satu-persatu wajah empat sahabatku muncul dibenakku. Ah, tidak sabar rasanya ingin bertemu mereka. Tidak sabar telinga ini ingin mendengar kisah kesuksesan yang telah mereka raih. Rusdi, Chandra, Hilman, Dika, mereka semua sahabatku di SMA. Tidak ada waktu selama di SMA yang tidak kami lalui Bersama. Masalah satu orang akan menjadi masalah kami semua, pun kebahagian satu orang akan menjadi kebahagiaan kami semua. Ikatan kami berlima melebihi apapun. Aku jadi senyum-senyum sendiri saat kisah-kisah di SMA diputar kembali memori otakku.
Terbayang Rusdi yang seorang jagoan basket di SMA. Tubuhnya yang tinggi besar dan kepiawaiannya memasukkan bola ke ring basket, membuat setiap gadis di sekolah kami tersihir. Dia hampir selalu menguasai keadaan dan paling menonjol, baik di kelas, di tongkrongan, maupun di sekolah secara keseluruhan. Dia tipe senior sekolah yang mendapatkan spotlight cukup di mata adik-adik kelas. Apa pun yang dia ucapkan akan menjadi titah bertuah bagi adik-adik kelasnya. Karena itu, tak jarang dia selalu dilibatkan oleh para guru dalam berbagai kegiatan. Terutama kegiatan yang bersifat massal. Misalnya pada saat bersih-bersih lingkungan sekolah menghadapi lomba adiwiyata, dia mendapatkan mandat dari guru untuk mengawasi dan memberikan intruksi kepada adik-adik kelas. Hal itu karena tidak jarang omongannya lebih didengar oleh para junior kelas, ketimbang omongan para guru.
Lalu muncul di benakku Chandra. Seorang pria keturunan Chinese. Kulit putih dan wajahnya yang mirip artis korea Song Joong-Ki, mampu membuat para gadis sudi melakukan apapun untuknya. Seandainya dia mau sedikit jahat saja, dia pasti akan mampu memanfaatkan para gadis di sekolah untuk mendapatkan apapun yang dia mau. Namun, dibalik wajah tampannya itu dia sangat cuek. Cuek terhadap setiap hal yang terjadi di sekitarnya. Termasuk cuek saat banyak gadis yang mengeluk-elukkannya. Dia lebih memilih menghabiskan waktu dengan kami berlima ketimbang harus jatuh hati ke pelukan satu cewek. Bagi dia, pacaran adalah sebuah kesia-siaan.
“Halah, paling Cuma ngincer duit gua,” ujarnya dengan gaya ngomong cadel khas warga keturunan Cina, suatu hari saat kubilang bayak cewek yang naksir.
Ayahnya memang keturunan cina tajir. Bisnisnya di bidang percetakan dan property membuat keluarganya termasuk deretan keluarga kaya di kotaku.
Hilman yang humoris, punya kemampuan public speaking di atas rata-rata seluruh siswa di sekolahku. Selama sekolah, dia langganan menjadi MC di berbagai kegiatan. Mulai dari kegiatan nasional, kegiatan keagamaan, ulang tahun sekolah, bahkan sampai acara penilaian Kepala Sekolah oleh pejabat Dinas Pendidikan, dia yang didaulat menjadi MC nya. Selain itu, kemampuan tersebut juga membawanya menjadi langganan setiap lomba yang berkaitan dengan kemampuan berbiacara, baik tingkat provinsi maupun nasional. Sekolah sangat mengandalkan dia di setiap perlombaan tersebut. Kemampuan berbicaranya, membuat orang-orang betah berlama-lama mendengarkan apapun yang dia tuturkan. Aku rasa itu adalah kemampuan sekaligus Gift yang diberikan Tuhan kepadanya.
Sementara Dika, sang vokalis band sekolah, sudah pasti mempunyai panggung dan tempat tersendiri di hati seluruh siswa di sekolahku. Dia bersama Band-nya, Oktaf 83, menjadi satu-satunya band official sekolah yang selalu tampil di berbagai acara hiburan maupun acara resmi sekolah. Tidak terhitung piala yang disumbangkan ke sekolah dari berbagai perlombaan yang Dika dan band-nya ikuti.
Aku jadi semakin tidak sabar menanti mereka datang dengan carita kesuksesan mereka masing-masing. Semua bakat yang mereka miliki, pasti akan menjadi modal terbesar untuk kesuksesan mereka.
Sambil senyum-senyum sendiri, kutatap lekat meja kayu bundar di teras luar yang kini permukaannya dipenuhi butiran-butiran bening air hujan. Gerimis kecil yang turun beberapa saat lalu seperti abai kuperhatikan, terhalangi oleh kenangan besar tentang sahabat-sahabatku itu.
Lama kutunggu, mereka belum datang juga. Kukeluarkan handphone-ku, kulirik jam yang tertera di layarnya. 30 menit sudah aku di tempat ini.
“Mungkin mereka masih di perjalanan. Menembus jalanan kota di jam-jam sibuk seperti sekarang ini, dengan kendaraan roda empat pasti bukan hal mudah,” batinku.
“Mereka pasti datang kemari dengan menggunakan mobil. Tidak sepertiku yang masih menggunakan motor Supra tua, warisah dari kakak pertamaku.”
Akan kutunggu saja sambil iseng-iseng kumainkan gadget-ku. Akan kutunggu mereka datang dengan segudang cerita seru masing-masing selama sepuluh tahun ini.
Bersambung…