Masukan nama pengguna
Kulipat sejadah dan mukenaku, kuletakan di atas tempat tidur yang sudah kurapikan sesaat setelah ku bangun tidur tadi. Kukenakan setelan kemeja putih dipadu dengan rok maxi skirt warna pastel yang simple namun elegant. Kubalut kepalaku dengan kerudung berwarna senada dengan rok yang kupakai. Make Up tipis kuulaskan di wajahku. Beruntung aku memiliki bentuk wajah yang tirus dan putih sehingga tidak perlu repot-repot memakai make up yang berlapis-lapis untuk membuat penampilanku menarik.
“Yups, sempurna. Cantik, putih, langsing, mempesona,” gumamku, tersenyum lebar menatap pantulan diriku di cermin besar di kamarku.
“Lily (baca. Lili), jadikan hari ini istimewa, seperti hari-hari kemarin,” ujarku. Sekali lagi kuputar badan, layaknya foto model yang sedang sesi photoshoot. Kuperhatikan detil pantulan badanku di cermin. Kupatut-patut sedikit bajuku, sebelum bergegas keluar kamar.
“Ops, hampir lupa. Selfi dulu,” ujarku, sambil ku rogoh ponsel di tas kerjaku. Kunyalakan HP, ambil pose terbaik, lalu “Cekrek!”
“Perfect!”
Kusapu pandangan ke setiap sudut kamarku, rapi seperti biasa. Lalu aku cek sekali lagi isi tas kerjaku, memastikan dompet, perlengkapan make up, parfum, tablet dan handphone sudah berada di dalamnya. Sejurus kemudian aku keluar kamar, menuju ruang makan.
Pagi ini semua nampak biasa saja seperti hari-hari kemarin, hingga kemudian aku tiba di ruang makan. Kulihat mama tengah menikmati roti dengan olesan mentega tanpa cerres. Secangkir teh manis hangat di hadapannya terlihat masih mengeluarkan asap tipis.
Di satu piring lain, seperti biasa sudah tersedia dua buah roti yang ditumpuk jadi satu, dengan isian telur orak-arik dan susu kental manis di tengah-tengahnya. Jatahku.
Aku duduk berhadap-hadapan dengan mama. Menyantap roti isi telur orak-arik dipadu susu kental manis kesukaanku, sambil menikmati alunan musik lewat handsfree wireless yang menempel di telingaku. Tanpa berbicara, tanpa menyapa mama yang terlihat tengah menikmati sarapannya juga.
Saat aku tengah memasukan gigitan roti terakhirku ke dalam mulut, mama lalu bangkit dari duduknya, menuju teras belakang. Lama kutunggu, hingga kutengguk habis teh tawar hangat di gelasku, mama tak juga kembali ke meja makan.
“Ma! Mama!” ujarku setengah berteriak.
“Aku berangkat ya,” sambungku.
Melihat tidak ada respon, aku bergegas menuju teras, menghampiri mama.
“Ma, aku berangkat ya,” ujarku berpamitan.
Mama yang terlihat tengah asik menyemprot bunga-bunga di pot yang tersusun rapi di teras belakang, nampak tak mengihiraukanku.
“Yasudahlah. Mungkin mama tidak mendengar,” batinku. Kulirik jam di pergelangan tanganku, khawatir terlambat, aku langsung bergegas. Kubiarkan saja mama yang tengah asik dengan koleksi tanaman bunganya. Alih-alih mencium tangannya dan berpamitan, aku langsung ambil langkah seribu.
Perjalanan pagi itu sangat lancer. Tak seberapa lama, aku tiba di depan pintu gerbang sekolah tempatku mengajar. Motorku menyelinap di antara ratusan anak yang berbarengan memasuki gerbang pagi itu.
“Pagi Pak Soleh!” sapaku kepada satpam sekolah yang berdiri di mulut gerbang. Ia tak menjawab, seperti tidak mendengar sapaanku. Pandangannya menyapu setiap orang yang memasuki gerbang, namun aku yang lewat di depannya, seolah tak terlihat.
“Pagi Pak Gunawan!” ujar Pak Soleh.
Alih-alih menjawab sapaanku, satpam berkumis tebal itu malah menyapa Pak Gunawan, guru lain yang memasuki gerbang setelahku.
“Hmmm…, mungkin dia sibuk, sehingga tidak menyadari aku yang lewat di hadapannya,” batinku.
Selepas aku memarkirkan motor di parkiran khusus guru, aku bergegas menuju ruang guru. Seketika hal aneh semakin kurasakan pagi itu, saat aku berjalan melewati koridor kelas menuju ruang guru. Anak-anak yang tengah berkumpul di depan kelas di sepanjang koridor yang aku lalui, tidak satupun yang menyapaku. Padahal biasanya, jangankan lewat di dekatnya, saat aku berjalan agak jauh pun dari murid-muridku, mereka akan berteriak memanggilku. Bahkan tidak jarang ada yang langsung berlari menghampiriku, sekedar bersalaman dan say hallo.
Maklumlah, aku termasuk satu sosok guru favorit di sekolah ini. Penampilanku yang selalu rapi dan parasku yang cantik, membuat semua murid, terutama murid laki-laki, mengidolakanku. Ditambah lagi kemampuan public speaking-ku yang di atas rata-rata guru lain, dan gaya mengajarku yang santai dengan disisipi game-game seru dan candaan yang renyah, membuat anak-anak suka belajar denganku. Kehadiranku di setiap kelas selalu ditunggu-tunggu oleh mereka.
Selain itu, pelajaran yang aku pegang adalah Bahasa Inggris. Satu pelajaran sarat gengsi di mata para murid. Kemampuan Bahasa Inggrisku yang sangat baik, dipadu dengan gaya public speaking yang elegant, dan dibalut dengan senyum manis dari kedua lesung pipitku, membuat seluruh siswa terhipnotis saat aku berbicara di depan kelas.
Satu lagi yang melengkapi itu semua, suara emasku saat aku bernyanyi, menjadi pamungkasku, sehingga aku sangat mudah mendapat tempat di hati setiap orang yang mengenalku.
"Ibu..., Bu Lily!” teriak Siska, satu orang siswaku suatu hari saat aku tengah berjalan melewati lapangan upacara. Siska yang diikuti empat orang temannya langsung mengelilingiku. Bahkan satu orang langsung gelendotan memelukku.
“Ibu hari ini ada jam di kelas aku ya?” ujar Siska.
“Iya. Jam terakhir ya,” jawabku.
“Sekarang aja deh bu. Gak sabar pengen cepet-cepet pelajaran ibu,” sambung Siska, diamini teman-temannya yang lain.
Sementara dari sisi lain berhamburan siswa lain.
“Ibu sekarang di kelas kita ya,” ujarnya bersemangat.
“Iya, nanti setelah istirahat ya,” ujarku, lembut.
“Asik…, kami tunggu ya bu!” sambung anak itu.
“Yaaa, di kelas aku terakhir ya bu,” ucap Siska lagi.
“Iya, nanti ibu masuk. Siapkan aja energinya buat seru-seruan di jam terakhir,” ujarku.
“Horeee…, kita game lagi ya bu,” sambung anak-anak itu, kusambut senyuman manisku.
Namun anehnya, hari ini hal itu tidak terjadi. Anak-anak seperti tak acuh saat aku lewat di depan mereka. Aku yang tidak biasa mendapat perlakuan seperti ini, jadi sedikit kikuk. Kupastikan lagi, aku cukup terlihat jelas oleh anak-anak yang tengah bercengkrama di koridor kelas yang kulalui, namun mereka seperti tidak menyadari kehadiranku. Aku seperti tidak terlihat oleh mereka.
Ketika memasuki ruang guru, lututku terasa lemas. Persendianku melemah. Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Assalamualaikum,” ucapku saat melewati pintu ruang guru. Namun tak seorangpun menjawab salamku. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, ada yang sibuk berselancar dengan ponselnya, ada yang sibuk dengan laptopnya, ada yang tengah menyantap sarapan. Semua seperti tidak menyadari kehadiranku.
Kuucap salam sekali lagi dengan suara lebih keras. Namun, masih sama seperti tadi. Tidak ada yang menjawab salamku.
Bu Okta, seorang guru seumuranku terlihat menoleh ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya. Akhirnya ada juga yang menyadari aku datang.
“Chandra!” ujarnya sambil melambaikan tangan.
“Iya bu,” jawab suara yang berada di belakangku.
“Sini, tolong bawain buku-buku ini. Sekarang ibu jam pertama kan, di kelas kamu?”
“Oh iya bu,” jawab seorang siswa yang dipanggil oleh Bu Okta tadi.
Chandra berjalan terburu-buru, melewatiku yang tengah berdiri keheranan di mulut pintu. Alih-alih mengucapkan permisi, dia malah sedikit menubruk tubuhku. Aku sempoyongan terkena tabrakan badannya yang tinggi besar.
“Ya ampun, sedekat ini mereka tidak melihatku!” jeritku dalam hati.
Kusapa Pak Rangga yang posisi mejanya tepat di mulut pintu. Namun dia hanya diam. Tatapannya kosong entah, apa yang ada di benaknya.
Penasaran, kulambai-lambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Dia masih tetap diam, tak bereaksi. “Tuhan, ada apa ini? Apa yang terjadi?” jeritku.
Aku langsung menuju mejaku, terduduk lesu di meja kerjaku. Meski posisi mejaku berada di tengah-tengah, namun tidak seorang pun berinteraksi denganku. Semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka bukan cuek kepadaku, tapi benar-benar literary tidak melihat aku ada di tengah-tengah mereka. Aku seperti mahluk halus yang tidak terlihat oleh siapapun. Aku tidak ada di mata mereka.
Berkali-kali kupanggil mereka satu persatu. Mulai dari guru yang akrab denganku, yang setiap hari selalu menghabiskan waktu bersama-sama baik di sekolah maupun di luar sekolah, hingga guru yang tidak terlalu dekat denganku. Kuteriakkan nama mereka satu persatu. Bahkan kuteriakan nama mereka, tepat di depan muka mereka. Semakin mereka cuek, tidak merespon, semakin aku panik. Akhirnya, lagi, aku tersungkur di meja kerjaku.
“Murid-muridku,” batinku.
“Ya, murid-muridku di kelas. Mereka pasti bisa melihat dan menghargai keberadaanku.”
Aku lantas lari keluar ruangan. Tak lupa ku raih buku paket sekenanya untuk kubawa ke kelas.
“Assalamualaikum,” ujarku perlahan, seperti biasa kulakukan saat masuk kelas.
Tidak satu pun menjawab salamku. Di mulut pintu kupandangi seisi kelas. Ada yang tengah mengobrol, ada yang main ponsel, ada yang tengah mendiskusikan pelajaran matematika, ada yang sedang membaca buku, ada yang sedang menikmati cemilan yang dibeli di kantin, ada yang duduk-duduk di meja tidak jelas, ada yang sedang kejar-kejaran sampai berlari ke depan kelas. Tidak satupun melihat ke arahku.
Ini berbeda sekali. Ini bukan kebiasaan murid-muridku. Biasanya, sesibuk apapun mereka, saat aku datang ke kelas, mereka langsung duduk rapi, menjawab salamku dan tersenyum ke arahku tanda mereka bersemangat untuk belajar.
Aku lalu berjalan lesu ke arah kursi guru. Duduk di kursi guru yang terletak di muka kelas. Sementara murid-muridku masih dengan aktivitasnya. Mereka benar-benar tidak melihatku.
“Hallo…, anak-anaku. Kalian bisa dengar ibu? Kalian bisa melihat ibu?” ucapku lantang, namun tidak mengubah apapun.
Kelas yang aku ajar, biasanya selalu bersemangat. Terutama disaat aku memulai kelas dengan game-game seru atau kisah-kisah motivasi, mereka akan mengikuti dengan mata berbinar-binar. Tidak. Tidak seperti ini. Aku yang selalu terpilih menjadi guru terfavorit, guru terbaik versi murid-muridku, tidka pernah sekali pun mendapatkan perlakuan seperti ini. Bahkan jika aku terlambat lima menit saja, mereka sudah memanggilku ke ruang guru, karena sudah tidak sabar untuk belajar denganku.
“Kepala Sekolah, coba temui Kepala Sekolah,” batinku.
Selama ini dia selalu memercayaiku. Selalu menunjukku untuk menjadi panitia inti dalam setiap kegiatan. Pekerjaanku yang selalu rapi, selesai tepat waktu, dan selalu aku kerjakan dengan sungguh-sungguh dengan hasil yang selalu memuaskan bahkan melebihi ekspektasi Kepala Sekolah, membuat beliau selalu ingin aku yang menjadi penitia inti, bahkan ketua panitia untuk berbagai kegiatan sekolah.
Kuberlari menuju ruang Kepala Sekolah. Dari mulut pintu yang tidak tertutup, kuliat Kepala sekolah sedang rapat terbatas dengan para wakilnya. Kuberdiri di mulut pintu. Hendak kuketuk pintu yang setengah terbuka itu, namun urung kulakukan. Aku hanya berdiri mematung. Seharusnya semua orang di ruangan itu sudah mengetahui kedatanganku. Seharusnya mereka melihatku. Namun seperti para guru di Ruang Guru dan para murid di kelas tadi, mereka juga tak acuh. Mereka tidak melihatku.
Biasanya, jika sedang rapat seperti itu, melihat aku lewat di depan ruangannya saja, Kepala Sekolah langsung memanggilku untuk ikut rapat. Meminta pendapatku tentang hal-hal yang tengah dibicarakan. Meski aku tidak masuk ke dalam tim manajemen, ide-ide dan pemikiranku selalu mendapat sambutan baik, bahkan selalu dipilih untuk difollow up dalam sebuah program sekolah. Aku yang lulusan terbaik dari Universitas Negeri terfavorit dan terbaik di Indonesia, daya nalar dan logikaku tentu saja tidak kaleng-kaleng. Aku merasa kecerdasanku bisa diandalkan. Itulah yang membuat Kepala Sekolah selalu nyaman berdiskusi denganku dan selalu menerima ide dan gagasanku.
Namun sekarang, beliau bahkan tidak melihatku.
Aku berbalik badan. Berjalan tanpa arah. Di tengah riuh kelas-kelas yang tengah belajar, aku percepat langkahku, lantas berlari. Air mata mulai menetes deras dari mataku. Tidak pernah terbayangkan olehku, yang selama ini selalu menjadi guru terbaik, paling disukai oleh seluruh siswa dan rekan kerja, paling baik ketika berbicara di depan kelas. Aku yang selalu diandalkan sekolah untuk menjadi MC berbagai forum resmi seperti rapat-rapat dan workshop.
Aku yang diandalkan oleh pimpinan menjadi tim inti berbagai kegiatan, selalu dilibatkan dalam menyusun program dan rencana anggaran sekolah, selalu langganan menyumbangkan piala untuk sekolah dalam lomba solo vocal dan modelling, bahkan hingga tingkat nasional. Aku yang dua kali berturut-turut menjadi guru berprestasi tingkat kabupaten dan provinsi, dan masih banyak lagi prestasi yang kutorehkan untuk sekolah tempatku mengabdi ini, tiba-tiba hari ini aku tidak terlihat oleh siapa pun di sekolah ini.
Aku terus berlari menuju arah taman sekolah, melalui lapangan olah raga. Terlihat riuh siswa yang tengah berolah raga. Tiba-tiba bola volley yang tengah dimainkan oleh para siswa melambung, lalu mendarat beberapa meter di depanku, lalu menggelinding kearahku. Berhenti tepat di kakiku. Terlihat satu siswa mengambil bola itu tanpa mempedulikanku yang berada dekatnya.
Yang kutuju adalah bangku taman, yang seringkali memberikanku ketenangan disaat aku lelah atau saat aku ada masalah. Namun kaki ini tak kuasa lagi melangkah. Badanku luluh tak bertenaga. Di pinggiran lapangan yang mulai panas terkena terik matahari ini, aku terduduk lemas. Kepalaku menelungkup di kedua lututku yang bergetar hebat. Kupejamkan mata serapat-rapatnya. Berharap ini hanya mimpi yang semuanya akan kembali normal saat aku membuka mata. Kupejamkan mata serapat-rapatnya, hingga tak ada yang bisa kulihat selain warna hitam pekat.
***
Kubuka mataku perlahan. Berat sekali rasanya kelopak mataku ini kubuka. Setelah kupaksakan sekuat tenaga, akhirnya mataku terbuka semakin lebar. Sambil mengernyit, kugerak-gerakkan kepalaku, kukedipkan berkali-kali mataku, mencoba mencari benda-benda yang bisa kukenali, untuk segera tahu dimana aku berada. Segala sesuatu yang awalnya terlihat nge-blur, kini berangsur semakin jelas. Kucoba bangkit duduk dari posisi tidur.
Yang pertama kulihat adalah sesosok anak perempuan berbadan pendek dan gempal, berseragam putih abu berdiri canggung di sisi kaki kananku.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Bu Lily, uda sadar bu?” gadis itu balik bertanya.
“Aku Alma bu,” ujarnya dengan suara agak bergetar.
“O iya, Alma,” ucapku, saat perlahan aku mulai mengingat sosok gadis gempal itu.
“Saya di mana?” tanyaku lagi.
“Di ruang UKS bu,” jawabnya, masih dengan suara bergetar.
“Tadi aku lihat ibu terjatuh pingsan di pinggir lapangan olah raga. Karena tidak ada seorangpun yang menolong ibu, aku memberanikan diri untuk menolong ibu. Kubangunkan ibu berkali-kali tapi ibu tidak bangun-bangun. Akhirnya kuberanikan untuk membopong badan ibu sendirian, karena yang lain, termasuk guru-guru, tidak ada yang mau membantuku,” ujar Alma lagi dengan suara yang semakin bergetar.
“Maafkan Alma bu,” kini ia mulai meneteskan air mata. Suaranya terdengar semakin bergetar. Ia nampak ketakutan.
Air mataku pun mulai membasahi pipiku, saat aku mulai bisa mengingat semua yang terjadi pagi ini, hingga aku akhirnya tersungkur di pinggiran lapangan olah raga.
“Kamu bisa melihat ibu?” tanyaku.
“Alma, kamu bisa melihat ibu?” buruku, dengan suara patah-patah karena suaraku berkelindan dengan isak tangis. Gadis berbadan pendek dengan kerudung dan baju seragam lusuh di hadapanku hanya mengangguk. Ia nampak semakin bingung dan ketakutan.
“Kamu bisa melihat ibu nak?” tanyaku lagi
“Iya bu,” jawabnya parau.
Tanpa fikir-fikir lagi, langsung kupeluk tubuh gendut Alma.
“Maafkan Alma bu,” ujarnya ketakutan.
Dia seperti canggung dan ingin melepaskan pelukanku, namun aku tidak melepaskannya.
“Kenapa kamu minta maaf nak?” bisikku. Dia hanya diam.
Perlahan kulepas pelukanku. Kulihat gadis itu menunduk.
“Maaf bu. Alma tau selama ini ibu tidak menyukai Alma,” ujarnya.
“Penyakitan. Seringkali asmaku kambuh dan selalu merepotkan guru-guru dan teman-teman. Bukan cuma Asma, jantungku juga lemah, sehingga aku juga sering pingsan. Semakin parah lagi ketika aku juga gagal ginjal kronis. Aku harus sering-sering minta izin tidak sekolah karena harus cuci darah. Aku masih ingat terakhir aku minta izin pulang saat ibu piket, ibu terlihat sangat marah kepadaku. Maafkan aku bu,” sambungnya. Deg, jantungku seperti ditimpa palu gada besar.
“Maafkan aku selalu merepotkan ibu, sehingga ibu tidak pernah mau kenal aku. Aku yang selalu berpenampilan jelek. Wajahku ini jelek adalah takdirku bu. Kaki, tangan, perut hingga dadaku sudah banyak dipenuhi guratan-guratan skrect mark. Tidak lama lagi mungkin juga akan merambah ke wajahku. Wajahku yang sudah jelek ini pasti akan semakin jelek.”
Ada getir yang kurasakan, mendengar penuturannya.
“Maafkan aku bu, aku lancang membopong badan ibu ketika pingsan tadi. Maafkan aku kalau seragamku yang lusuh dan kotor ini, juga mengotori baju ibu. Aku harus membopong ibu tadi karena aku sendirian membawa ibu ke ruang UKS ini,” sambungnya, semakin menunduk. Seketika terbayang olehku bagaimana repotnya Alma yang berbadan pendek itu harus membopongku sendirian.
“Baju dan kerudungku lusuh, karena ayah ibuku tidak punya uang untuk beli seragam baru. Uang mereka habis untuk pengobatanku. Teman-teman sering membully-ku karena penampilanku. Gak apa-apa bu, aku sekarang uda gak sakit hati lagi kalau dibully. Sekarang mereka semakin beringas mengata-ngataiku, sejak kulaporkan itu ke ibu, namun ibu hanya diam saja, membiarkan mereka. Tidak apa-apa bu, sekarang aku sudah tidak memikirkan itu lagi. Aku sudah berdamai dengan keadaanku. Aku…,” belum lagi Alma melanjutkan kata-katanya, aku langsung dekap dia. Kupeluk dia lebih erat.
“Alma, maafin ibu,” air mataku sudah tak kuasa lagi kubendung. Semakin deras. Teringat semua kesalahanku terhadap Alma.
Aku yang terlahir dari keluarga berkecukupan. Aku yang berpenampilan menarik, serba bersih dan selalu rapi. Aku yang memiliki kehidupan sosial yang tinggi. Aku yang selalu berprestasi sejak dari bangku sekolah hingga saat ini. Aku yang selalu bersekolah dan kuliah di tempat-tempat favorit. Aku yang cumlaude. Aku yang selalu dinilai pintar oleh orang lain. Aku yang merasa diriku selalu sempurna. Aku seringkali tidak mau berurusan dengan murid-muridku yang bermasalah. Aku selalu mengabaikan dan memandang sebelah mata murid-muridku yang berkekurangan.
Alma yang penyakitan, Alma yang berpenampilan tidak menarik, Alma yang memiliki tubuh tidak ideal. Gendut, pendek, berseragam dan kerudung lusuh. Selama ini aku tidak pernah mau mengenal dekat dan berurusan dengan Alma.
Tiba-tiba aku teringat saat dia mengadukan, dibully oleh teman-teman sekelasnya. Alih-alih menolongnya, lalu menghukum anak-anak yang menbully-nya, dalam hati aku malah berujar “salah sendiri ga bisa ngurus badan. Ya wajarlah dibully, karena kamu nya gak enak dilihat,” betapa perihnya perasaanku saat aku mengingat itu dalam keadaan sadar, saat ini.
Senyumku memang manis, tapi itu hanya kepada anak-anak yang baik, anak-anak yang menurutku enak dilihat karena cantik atau ganteng. Anak-anak beruntung yang memiliki kehidupan sosial yang baik. Namun, bagi Alma dan anak-anak lainnya yang kurang beruntung, senyumku sulit sekali mengembang.
Tidak hanya kepada murid-muridku. Aku baru sadar, bahkan itu kulakukan juga kepada rekan-rekan sesama guru dan para pekerja atau pesuruh sekolah. Aku sering menyepelekan dan menganggap mereka tidak penting. Aku seringkali menuntut kepentinganku untuk diutamakan, namun menyingkirkan kepentingan-kepentingan mereka.
Mungkin karena itulah saat ini, Tuhan menghukumku. Membuatku tidak terlihat. Membuat aku tidak penting di mata orang lain. Membuat aku yang selalu merasa super segalanya ini, hari ini bukan apa-apa di mata semua orang.
Semakin kuingat kesalahan-kesalahanku, semakin kudekap tubuh Alma.
“Alma, maafkan ibu,” ujarku dengan air mata yang tak berhenti mengalir deras.
Aku berjanji jika Tuhan mengembalikan kehidupan normal seperti sedia kala, aku akan selalu hadir di hati semua orang, tidak peduli bagaimana penampilan mereka dan dari golongan sosial apa mereka berasal. Aku akan hadir penuh terutama bagi orang-orang yang tidak se-beruntung aku.
Aku akan menjadi seperti bunga lily yang dalam mitologi barat menjadi simbol kehadiran cinta yang murni dan jiwa yang tenang.
Bogor, 15 Mei 2025