Masukan nama pengguna
Assholaaaatu koirumminanaum…
Assholaaaatu koirumminanaum…
Sayup-sayup terdengar di telingaku. Syahdu, merambat di antara rumah-rumah yang masih senyap, namun tegas dan keras memecah keheningan waktu subuh. Tegas karena dilafalkan dengan bersemangat oleh sang muadzin. Kyai Ishaq, seorang tokoh agama di kampungku pernah berpesan dalam pengajian rutin di mushola dekat rumah, bahwa sebaik-baiknya adzan subuh dikumandangkan dengan keras dan bersemangat, karena bertujuan hendak membangunkan orang-orang dari tidurnya.
“Jika adzan subuh dikumandangkan dengan mendayu-dayu, dengan lemah lembut, maka yang ada orang-orang malah semakin lelap, semakin bersemangat untuk menarik selimut, bukannya bersemangat untuk bangun,” ujar Kyai Ishaq.
“Jadi adzan subuh itu harus lantang. Bersemangat. Agar ruh-ruh kita yang sedang bergentayangan buru-buru kembali ke jasadnya, lalu kita jadi terbangun,” sambung Kyai.
Rupanya petuah kyai sepuh tersebut sangat dipegang teguh oleh muadzin yang hampir setiap hari, tidak tergantikan mengumandangkan adzan di Mushola Nurul Hikmah, sebuah mushola kecil tidak jauh dari rumahku. Suaranya tegas melalui pengeras suara mushola, menyeruak masuk ke dalam genderang telingaku. Perlahan mataku terbuka, memicing, silau oleh cahaya lampu kamar yang lupa dimatikan sebelum tidur. Kuraih HP tak jauh dari kepalaku, kulihat jam digital yang terpampang di layar utamanya.
“Baru pukul 04.20,”gumamku.
Alih-alih bangkit dari tidurku, kutarik kembali selimut, menutupi tubuhku yang gempal. Mataku kembali menutup, seiring sang muadzin melafalkan bait terakhir dari adzan subuh.
“Mas, Bangun! Uda jam enam lewat.”
Teriakan istriku dari dapur langsung mengembalikan penuh kesadaranku. Kuraih HP dan langsung terbelalak saat kulihat angka di jam digital yang terpampang di layar hpku.
“Kamu kok gak ngebangunin sih?!” Gerutuku kepada istriku, sambil berlalu ke kamar mandi.
“Loh, aku uda bangunin dari tadi. masnya aja yang kebluk,” sanggah istriku, yang tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
“Kamu kan tau hari ini aku dipromosiin jadi Manajer Regional. Kalo sampe telat ke kantor, bisa berantakan semuanya!” aku masih menggerutu, kuguyurkan air ke tubuhku sekenanya.
Mendengar ocehanku dari kamar mandi, istriku hanya diam saja. Mungkin dia sudah hafal betul dengan watak suaminya ini yang selalu bangun kesiangan dan tergesa-gesa berangkat ke kantor.
Sarapan roti isi telur yang tersaji di meja makan kusambar. Sambil tergopoh-gopoh menjinjing tas kerjaku, kupakai sepatu sambil menguyah roti yang ada di genggaman tangan kiriku.
Istriku menghampiri dengan secangkir teh tawar hangat. Tubuhnya masih berbalut mukena. Memang sudah menjadi kebiasaannya, tidak melepas mukenanya sedari subuh, hingga selesai Solat Dhuha.
“Makanya mas, bangun subuh. Solat berjamaah di mushola,” ujarnya, menghela nafas dalam-dalam, sembari menyodorkan cangkir teh kepadaku.
Aku menyeruput teh hangat itu sekenanya, lalu bergegas. Kudiamkan saja nasihat istriku itu. Kalau kuladeni, pasti akan jadi panjang dan lama lagi. aku tidak akan mau kalah, biasanya kubalas nasihat-nasihat istriku itu dengan berbagai argumen pembelaan.
“Udah ah, berangkat dulu,” ujarku sambil menyodorkan tangan ke istriku.
“hmmm…’” gumam istriku, sambil mencium tanganku.
Dalam perkiraanku, aku akan melewati hari yang buruk setelah memulai hari ini dengan tidak baik. Namun ternyata, semua baik-baik saja. Terlebih hari itu aku mendapatkan kenaikan pangkat dan penugasan khusus sebagai Manajer Regional. Aku diberi tanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi enam toko sekaligus yang ada di area penugasanku. Beruntungnya, aku tidak harus pindah kantor. Hanya tugasku saja yang berubah, dan jabatanku yang naik satu tingkat lebih tinggi.
Hari itu aku mulai sibuk dengan jabatan baruku. Dari pagi hingga siang, ada beberapa rapat & briefing dengan pimpinan, sore harinya sebelum jam pulang kerja, kuhabiskan waktu dengan mentraktir makan teman-teman sekantorku sebagai wujud syukur atas pencapaianku.
Malam harinya aku pulang agak larut. Jam dinding menunjukkan angka sepuluh, saat aku tiba di rumah. Seperti biasa istriku selalu berupaya bangun untuk melayaniku, meski mungkin sebenarnya dia sudah sangat lelah, ingin beristirahat.
“Mas mau makan?” tanya istriku, lembut.
“Nggak. Aku tadi uda makan di luar,” jawabku.
“Tolong buatkan kopi aja. Ada beberapa laporan yang harus kuselesaikan malam ini. Kayaknya aku butuh kopi,” sambungku.
Istriku lantas memasak air, karena sudah faham betul bahwa aku tidak suka menyeduh kopi dengan air dispenser. Ia kembali lagi dengan segelas kopi hitam panas, saat aku sudah sibuk dengan laptopku.
“Aku tidur duluan ya, Mas,” ujar istriku sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjaku.
“Hmmm..,” jawabku sekenanya.
Subuh menjelang. Seperti hari-hari yang lain, suara adzan subuh kembali menyeruak kebisuan.
“Mas, bangun mas!” suara lembut istriku membangunkanku, saling bersahutan dengan suara lantang adzan subuh melalui pengeras suara mushola.
“Hmmm…,” aku hanya menggeliat.
“Masi ngantuk banget. Tadi tidur jam dua pagi. Nyelesein pekerjaan,” ujarku, sambil menguap.
“Bangun dulu, Mas. Ke mushola dulu sebentar,” bujuk istriku.
“Aku solat di rumah aja ah. Ngantuk banget,” elakku. Mendengar itu, istriku hanya menghela nafas.
“Yauda. Wudhu dulu gih. Aku solat duluan,” ujar istriku.
Dengan malas, dengan mata yang masih lengket, kupaksakan bangkit. Aku beranjak ke kamar mandi, lalu buang air kecil. Kubilaskan air ke mukaku seadanya. Kubasahi kuping, rambut, tangan dan kakiku. Selepas dari kamar mandi, kutengok istriku tengah solat di kamar utama. Aku bergegas ke kamar anakku. Kukenakan sarung, kugelar sejadah, lalu kurebahkan tubuhku di atas sejadah tebal itu. Alih-alih melaksanakan solat subuh, aku malah kembali terpejam di tengah dinginnya udara subuh.
Apa yang kulakukan subuh ini, bukanlah untuk pertama kalinya. Tak terhitung rasanya aku melakukan itu sejak aku menikah dengan Sonya, istriku. Kadang aku hanya memindahkan letak sejadah dan mengubah lipatannya saja. Dengan melihat sejadah yang berpindah tempat, istriku mengira bahwa aku sudah solat subuh.
Meski sesekali aku pergi juga ke mushola untuk solat subuh berjamaah, namun lebih seringnya aku melakukan trik itu. Kembali tidur di atas sejadah atau hanya memindahkan letak sejadah. Hal itu kulakukan, biasanya karena rasa kantuk yang hebat, yang masih menggelayut di mataku, setelah aku begadang untuk menonton pertandingan bola atau sekedar main game online hingga larut malam.
“Gubrakkk…, aaahhh…!” Sontak mataku terbelalak.
Aku masih pulas di atas sejadah, saat bunyi gedubrak keras disertai teriakan istriku membangunkanku dari tidur. Aku langsung bangkit, lalu berlari keluar kamar. Sekilas kuperiksa dapur, kamar mandi dan kamar utama. Tak kutemukan istriku di sana. Kuburu pintu depan, saat kudengar suara riuh orang-orang di luar.
“Kenapa? Ada apa?” teriakku.
Di luar pagar rumahku, telah berkerumun orang-orang, sebagian besar kukenali, mereka tetanggaku. Kucoba menyibak kerumunan itu, rasa penasaran dan firasat buruk bercampur menjadi satu. Degg! Sebuah palu godam menghantam jantungku. Jantungku seperti berhenti berdetak seketika. Ada palu godam menghentak jantungku. Kakiku bergetar hebat, lemas, tak kuasa menahan tubuhku, saat kulihat tubuh Sonya, istriku, tergeletak bersimbah darah.
Kuraih tubuh istriku yang saat itu masih berbalut mukena motif bunga-bunga berwarna pink. Tidak jauh dari posisi istriku, nampak Mang Darsam, tukang sayur keliling langganan istriku, juga tergeletak dengan luka di bagian kaki. Gerobak sayurnya hancur berantakan. Nampak beberapa orang mengerubungi tukang sayur yang sudah sepuh itu, dan satu-dua orang berinisiatif membereskan roda dan sayuran yang tercecer berantakan.
“Tabrak lari. Tadi mobil bak hitam itu tuh. Nabrak kenceng banget, langsung kabur,” satu-dua orang saling bisik.
Di tengah kerumunan orang-orang yang panik, di antara teriakan beberapa wanita yang histeris melihat kejadian itu, dan di antara bisikan-bisikan warga yang saling mengabarkan peristiwa, kudekap tubuh istriku.
“Sonya! Bangu sayang!” aku mulai berteriak histeris, saat kudapati rembesan darah segar mengalir deras dari sisi kiri kepala istriku.
Tidak ada respon, makin kudekap tubuh istriku yang terkulai lemah. Beberapa orang ikut memanggil-manggil nama istriku, membantu menyadarkannya.
Sesaat kulihat mata istriku terbuka setengah, melirik kearahku, sebelum akhirnya kepalanya terkulai lesu ke sisi kanan, dan matanya tertutup rapat tak membuka lagi seiring dengan terhentinya nafas dan nadinya.
“Soyaaaa!!!” makin kuteriakan nama istriku seperti orang kerasukan.
***
Malam ini, malam tujuh hari sudah istriku berpulang. Rumahku terasa sangat sepi setelah warga yang hadir di tahlilan ke-7 istriku, bubar. Terlebih setelah keluarga dan beberapa saudara yang selama tujuh hari ini menginap di rumahku, juga kembali ke rumahnya masing-masing.
Benar kata orang, siksaan terberat dari orang yang ditinggalkan untuk selama-lamanya adalah di malam ketujuh, di saat rumah kembali sepi. Aku melangkah melangkah gontai ke kamarku. Suasana kamar terasa sangat berbeda. Tidak ada lagi yang terbaring menemaniku di kasur. Tidak ada lagi yang bergelayut manja di saat aku masih sibuk di depan laptop, di meja kerjaku. Tidak ada lagi yang tiba-tiba jahil mencubit perutku yang semakin membuncit, ketika aku sedang ganti baju. Tidak ada lagi yang tiba-tiba mengulurkan tangannya, memijit punggungku saat aku terbaring keletihan setelah seharian bekerja. Terlebih, kini tidak ada lagi suara lembut yang membangunkanku untuk solat, ketika adzan subuh berkumandang.
Deg! Tiba-tiba aku terhenyak saat menyadari itu. Ada getir berbalut penyesalan merambat di hatiku. Aku terlalu nyaman selama ini. Terlalu nyaman dalam kebohongan-kebohongan yang kulakukan di setiap subuh. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan mengalami hal seperti ini. Akan kehilangan, dan sekarang aku sangat merindukan suara itu. Suara yang lembut namun menusuk ke dalam genderang telingaku, yang mampu membangkitkanku dari kematian sementara bernama: tidur.
“Aku merindukan suara itu. Aku merindukan suara itu” batinku.
Tak terasa butiran air meleleh di kedua kelopak mataku.
“Ku harus memejamkan mata secepat mungkin. Aku harus berubah. Aku akan bangun saat adzan berkumandang, dan bergegas solat berjamaah di mushola. Aku ingin membuat istriku bangga, melihatku dari tempatnya di sana,” tekadku dalam hati. Setelah bergelut dengan kenangan dan perasaanku yang tidak karuan, akhirnya aku bisa juga terlelap.
***
Aku terhenyak saat alarm di hpku berteriak-teriak berisik. Kuraih hp-ku.
“Sial, jam enam,” telat lagi. Ku lihat urutan bunyi alarm di hp-ku. Ada waktu yang menunjukan pukul 04.30, yang sudah aku setting di alarm hp. Tapi kenapa aku tidak bangun?!
Entah ini hari keberapa setelah istriku tiada. Aku bertekad untuk bangun subuh di saat adzan subuh berkumandang, dan lalu bergegas ke mushola, namun selalu gagal. Aku selalu telat bangun. Entah mengapa adzan subuh yang biasanya, di saat istriku masih ada, selalu terdengar menusuk telingaku, kini sulit sekali kudengar.
Aku sudah setting alarm di hpku tepat diwaktu adzan subuh berkumandang, namun selalu gagal untuk membuatku terjaga. Telingaku seperti tertutup tembok tebal. Suara alarm hp yang berisik, berpadu dengan suara adzan dari mushola yang letaknya sangat dekat dengan rumahku, seperti mental kembali saat akan menyentuh genderang telingaku.
Ya Tuhan, aku rindu suara adzan subuh, melebihi kerinduanku terhadap suara lembut istriku. Tuhan, Istriku telah kau ambil. Jangan pula kau ambil kenikmatan untuk bisa mendengar suara adzan di waktu subuh, ya Tuhan.
Jangan tinggalkan aku, Tuhan, setelah istriku meninggalkanku untuk selamanya.
Galih Priatna,
Bogor, Mei 2025