Masukan nama pengguna
Namanya Dio. Bukan pria flamboyan yang gampang bikin wanita jatuh hati, bukan pula lelaki yang suka tampil paling benar di hadapan dunia. Ia hanya pria biasa, pekerja keras, pendiam, dan jika mencintai, ia memilih mencintai dalam diam.
Dio mengenal Nayla sejak SMA. Ia tahu banyak pria tergila-gila pada wajah Nayla, rambut panjangnya yang selalu harum, tawanya yang jernih. Tapi Dio jatuh cinta bukan karena itu. Ia jatuh karena Nayla bisa menyentuh batinnya. Caranya menatap, cara dia peduli pada hal-hal kecil semuanya membuat Dio percaya: ini bukan sekadar naksir.
Namun Dio memilih diam. Ia percaya perempuan bukan untuk dikejar seperti hadiah, bukan untuk dipaksa membuka hatinya. Ia menunggu. Dan dalam penantiannya, Dio berdoa: semoga jika Nayla memang untuknya, Tuhan akan menyatukan mereka dalam waktu terbaik.
Waktu berjalan. Mereka berpisah saat kuliah. Sesekali bertukar kabar di Instagram. Nayla tetap seperti dulu. Lembut. Ceria. Tapi Dio tahu, ada luka yang perlahan muncul di balik senyumnya. Matanya kadang tampak kosong dalam story-nya. Caption-nya mulai terdengar seperti bisikan minta tolong.
Sampai suatu hari, Nayla kembali ke kota kecil mereka. Katanya ia butuh istirahat, jenuh dengan kehidupan Jakarta. Dio yang saat itu sudah bekerja di sebuah kantor desain, tak ragu menjemput Nayla di terminal. Saat itu pula, Nayla memeluknya lama dan Dio merasa hatinya hancur pelan-pelan. Ada rasa kehilangan dalam pelukan itu. Seperti seseorang yang sedang berusaha memeluk dirinya sendiri yang hilang.
Hari-hari berikutnya, mereka sering bertemu. Minum kopi, ngobrol di taman yang dulu jadi tempat nongkrong SMA. Dio menjaga jarak, seperti biasa. Tapi dalam diam, cintanya tumbuh lebih dalam. Nayla bukan lagi gadis SMA yang ia kenal. Ada sisi rapuh yang dulu tak tampak. Dan Dio, seperti selalu, ingin melindunginya. Tanpa syarat.
Sampai suatu sore, Nayla menangis. Di tengah hujan, di kursi taman. Ia bercerita tentang lelaki yang ia cintai di Jakarta. Tentang hubungan yang awalnya manis, lalu berubah jadi jebakan. Tentang malam yang dia tak bisa lupakan. Tentang rasa jijik pada tubuhnya sendiri. Tentang bagaimana ia membenci dirinya karena tak bisa menjaga hal yang paling suci.
"Dia paksa aku, Dio..." katanya, nyaris berbisik. "Aku udah bilang enggak. Tapi dia tetap..."
Dio mematung. Hatinya hancur. Bukan karena Nayla sudah ‘bukan perempuan suci’ lagi. Tapi karena seseorang telah mengambil sesuatu dari Nayla—tanpa hak. Dan itu tak bisa dikembalikan. Dio tak tahu harus berkata apa. Ia hanya mendekap Nayla dengan tenang, sambil membiarkan air matanya jatuh bersama hujan.
"Maaf aku cerita," kata Nayla sesaat kemudian. "Kamu pasti jijik kan sama aku?"
Dio menatap matanya.
"Aku mencintaimu, Nayla. Bukan tubuhmu. Tapi hatimu."
Nayla menangis lebih keras. Malam itu, mereka tak pulang. Mereka hanya duduk di bangku taman yang dingin, berbagi keheningan yang penuh luka.
Setelah malam itu, Nayla berubah. Ia mencoba bangkit, perlahan. Dio tetap di sampingnya, tak pernah menuntut. Ia tak pernah minta cinta dibalas. Ia hanya ingin Nayla tahu: ada laki-laki yang tak akan menyakitinya.
Sampai akhirnya, Nayla berkata, "Kamu terlalu baik, Dio. Aku nggak pantas buat kamu."
Dan Dio menjawab, "Jangan ukur pantas dari masa lalu. Aku nggak pernah melihatmu dari kacamata itu."
Tapi luka Nayla lebih dalam dari yang Dio kira. Suatu pagi, Nayla pergi. Meninggalkan surat.
"Dio, kamu cahaya. Tapi aku terlalu gelap untuk hidup di dekatmu. Maaf aku nggak bisa sembuh. Aku cuma ingin kamu tahu, kamu laki-laki terbaik yang pernah hadir di hidupku. Tapi aku bukan perempuan baik untukmu. Mungkin memang aku diciptakan untuk rusak. Tapi kamu, Dio... jangan pernah berubah. Dunia butuh laki-laki seperti kamu."
Dio membaca surat itu ratusan kali. Ia tak tahu di mana Nayla kini. Tapi satu hal yang ia jaga seumur hidupnya: kenangan tentang seorang perempuan yang pernah ia cintai dengan segenap hati bukan tubuh, bukan nafsu, bukan karena ia sempurna. Tapi karena ia manusia.
Dan kadang, manusia paling patah pun layak dicintai.