Masukan nama pengguna
Akhir-akhir ini, Ibu jadi ikut tidak bisa tidur gara-gara Tari suka berulah pada malam hari. Tampaknya Tari memang sedang menderita insomnia. Sejak satu bulan ini, saat bangun dari tidurnya, matanya tampak berat dan ada kantung hitam di matanya. Menyerupai panda. Dia pun terlihat tak bersemangat. Setiap malam, Ibu sering mengecek kamar Tari. Membuka pintunya pelan-pelan dan mengintipnya di sana.
Malam ini juga begitu. Lampu-lampu rumah sudah dimatikan. Sudah jam sebelas malam, Ibu mendengar suara derap langkah kaki yang amat ringan. Itu pasti Tari. Entah apa yang dilakukannya lagi. Ibu langsung bangun dari kamarnya dan mencari sumber suara yang ternyata ada di pintu samping. Ibu langsung menyalakan lampu. Dan benar, ada Tari di sana.
“Apa yang kamu lakukan di situ, Nak?” Ibu bertanya pada Tari sambil berjalan cepat ke arahnya. Tari mendongak dan langsung berdiri dari posisi jongkoknya. Anak kecil itu sedang menata rak sepatu. Sepatu yang semula berserakan itu dia taruh rapi di tempat masing-masing. Tak ada yang bertumpuk dan selalu ada sepasang sepatu di tiap sekat.
Dia berdiri lalu senyum bahagia seperti tak ada apa-apa, “Menata sepatu, Bu.”
“Ayo tidur, besok hari Senin, kamu harus upacara. Jangan lupa sikat gigi, cuci kaki dan tangan dulu.”
“Tadi sudah, Bu.”
“Ya sekarang cuci kaki tangan lagi, kan habis pegang sepatu..”
Tari mengangguk lantas meninggalkan senyum pada sepatu-sepatu yang terlihat bahagia itu. Sepatu yang tertata rapi seakan tersenyum lega padanya karena sudah bersama dengan pasangannya. Tidak terpencar-pencar bahkan ada yang kehilangan pasangannya. Sejak tadi bahkan Tari sibuk mencari dua sepatu yang kehilangan pasangannya. Yang ternyata pasangannya itu tertumpuk dan masuk di kotak sepatu yang telah tak terpakai. Tari senang bisa menemukannya dan menatanya sesuai tempatnya. Semuanya kini sudah berpasangan dan tak ada yang kesepian. Andaikan Ibu dan Ayah bisa begitu, Tari pun akan sangat bahagia.
Ibu menarik lengannya dan mengantarkannya ke kamar mandi. Tari hanya mengikutinya tanpa memberontak sedikit pun. Sampai di kamar mandi, Ibu menunggunya di depan pintu. Ibu memang sudah membiasakan mandiri, jadi dia harus biasa cuci tangan, kaki, dan sikat gigi sendiri. Tiba-tiba saja di tengah dia membasuh tangan dan kakinya. Tari jongkok lagi. Ibu yang merasa aneh dengan kelakuan Tari akhir-akhir ini, langsung melongok ke dalam kamar mandi.
“Kenapa lagi?” tanyanya.
Dilihatnya Tari mengambil satu butir kapur barus yang ikut tersiram air hingga hampir hanyut di pembatas pipa keluar. Dia mencucinya dan segera menaruhnya pelan-pelan di pojokan. Di dekat kapur-kapur barus yang lain.
Hei, kapur barus kamar mandi, seharusnya kamu bersama-sama temanmu. Jangan sendirian. Jangan sepertiku. Jangan seperti Ibu. Rasanya sangat tidak enak.
“Kenapa?” tanya Ibu kedua kali setelah tak mendapat jawaban.
“Menaruh kapur barus, Bu..” jawabnya lalu mengelap kakinya di atas keset dan berjalan pelan menuju kamarnya.
Ibunya mengerutkan dahi dan segera menarik tangannya lagi. Anak itu diam-diam memang suka tidur malam. Kalau tidak diantarkan menuju tempat tidur dan tidak dipastikan tidur, biasanya dia berkeliaran di rumah. Di dapur. Di ruang tamu. Di kamar mandi. Mencari benda-benda dan menatanya. Entah apa yang dipikirkan anak itu, Ibu tak pernah tahu.
**
Esok harinya, Tari dibangunkan oleh ibu pagi-pagi benar. Matanya terlihat berat. Tapi, Tari harus tetap bangun. Tidur larut malam tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak bangun pagi. Ibu tak pernah suka pada keterlambatan. Ibu pun biasa bangun subuh untuk memulai pekerjaan sehari-harinya. Menjadi single parent sangat berat apalagi bagi seorang wanita. Sekarang, makanan sudah siap di meja makan. Nasi hangat dan telur mata sapi setengah matang yang disiram kecap manis. Menu kesukaan Tari.
“Ibu tidak sarapan?” tanya Tari.
“Tidak. Ibu kenyang. Nanti sekalian makan siang saja di kantor,” jawab Ibu sambil menuang air putih di dua gelas belimbing.
“Ibu, ayah kapan pulang?”
“Sepertinya sudah tidak pulang lagi. Jangan tanya-tanya dia lagi..”
Mendengar jawaban dingin itu, Tari jadi diam sambil terus mengunyah makanannya. Ibu tak tahu, Tari rindu Ayah. Terutama rindu saat makan bersama di meja makan. Atau rindu saat malam hari mereka menonton TV bersama. Mereka berdua duduk di sofa dan Tari duduk di lantai sambil mewarnai. Biasanya kalau dia bingung dengan warna-warna gambar itu dia bertanya pada Ayah. Dia rindu kebersamaan, sampai-sampai tak pernah tega melihat satu benda pun sendirian. Tiap lihat benda yang sendirian, dia ingat Ibu dan ingat dirinya. Bagaimana pun caranya, benda itu tak boleh sendirian. Bahkan saat di sekolah, guru pernah marah padanya karena dia sibuk mengambili batu yang tercecer dan tak mau pulang. Batu-batu itu dia kumpulkan jadi satu di depan kelas. Guru marah padanya.
“Ibu, Tari mau kecapnya lagi..”
Ibu menarik napas panjang lalu mengambil botol kecap yang ada di depannya. Dia menuangkannya sedikit demi sedikit di piring Tari.
“Besok kalau sudah kelas dua, ambil kecap sendiri ya?” pinta ibunya.
Tari mengangguk saja. Tari memang harus belajar menuang botol kecap sendiri. Kemarin dia sudah belajar menyiapkan buku-buku sekolahnya sendiri, memilih kaus kakinya sendiri, memutuskan jepit yang akan dipakainya sendiri. Dia paham bahwa akhir-akhir ini Ibu mengajarinya mengerjakan apa-apa sendiri. Sebenarnya, Ibu hanya ingin mengajarinya untuk mandiri, tapi di kepala Tari, Tari mengira Ibu akan meninggalkannya sendirian. Seperti apa yang telah Ayah lakukan pada mereka berdua.
Ibu melihat jam tangan dan langsung mengajaknya berangkat, “Ayo sudah setengah tujuh, Nak..:
Tari menghabiskan segelas air putih dan menaruh piring kotor itu di meja dapur.
“Ayo..” ajak Ibu lagi.
Tari mengangguk dan mengikuti Ibu keluar rumah. Tapi, sampai di depan pintu, tiba-tiba Tari lari kencang ke belakang. Dia ingat piring makannya yang sendirian. Biasanya piring makannya selalu berteman dengan piring makan Ibu. Dia kasihan pada piring itu dan langsung kembali ke dapur. Mengambil satu piring bersih. Lalu dia tumpuk di atas piring kotor.
Ibu yang langsung menyusul Tari ke dalam itu tiba-tiba kaget, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa piring bersih taruh di situ? Kan jadi kotor!”
Tari diam. Wajah Ibu tampak sangat marah, “Jangan begitu lagi!”
Ibu lalu menyahut tangan Tari dan langsung mengantarkannya pergi ke sekolah. Dia tak mau telat ke kantor hanya gara-gara piring kotor.
**
Malam hari, Ibu tak bisa tidur. Bukan karena dia mendengar Tari berulah. Tapi, tiba-tiba dia ingat dengan Ayah yang tak pernah pulang lagi. Dia juga ingat bahwa dia sedang mengurus siding perceraian. Dengan luka hati yang masih menganga, Ibu memilih merelakan Ayah. Ayah sudah tak bisa dipertahankan lagi. Kebiasannya main perempuan itu memang sangat menyakitkan. Lebih baik merawat Tari sendirian. Itu lebih baik. Untuknya dan untuk Tari. Tari tak lagi harus mendengar mereka bertengkar. Tari tak harus menunggu-nunggu kapan ayahnya pulang.
Sreeeet..
Suara dari dapur membuat dahinya berkerut.
Ibu langsung bangun dan bergegas menuju dapur. Jangan-jangan Tari melakukan hal aneh lagi. Betul, pintu belakang terbuka lebar. Dan Tari sedang menyeret sebuah kursi kayu dari luar. Ibu langsung berlari ke arahnya.
“Tari… jangan dibawa masuk. Kursinya memang Ibu taruh luar karena akan Ibu pakai untuk pasang pot-pot tanaman gantung besok hari.”
Ibu lalu menyahut kursi itu. Ibu angkat sedikit-sedikit agar tidak bergesekan di lantai dan berbunyi keras. Ini sudah malam, suara itu akan mengganggu tetangga. Tari hanya diam melihati Ibunya melakukannya. Ibu lalu mengunci pintu belakang dan menyuruh Tari cuci tangan dan kaki lagi. Ibu menungguinya sampai masuk kamar dan mematikan lampu. Setelah memastikan Tari sudah berada di atas tempat tidur, memeluk guling dan berselimut, Ibu pergi di kamarnya.
Di atas tempat tidur itu, Tari terus berkedip-kedip. Dia tak bisa tidur lagi. Dia sedang memikirkan kursi kayu yang sendirian di halaman belakang rumah. Berkali-kali dia membalikkan badan. Gelimpangan. Dia tak tenang. Meski Ibu butuh kursi itu di luar, tapi tidak kah kursi kesepian? Tari tahu rasanya sendirian dan itu sangat tidak enak. Tari tidak ingin kursi itu jadi seperti dia atau jadi seperti ibunya.
Kursi itu pasti kedinginan di luar. Dia tak ada teman sementara kursi yang lain berkumpul di dalam rumah. Kursi itu pasti menangis. Kursi itu pasti bersedih. Kursi itu pasti nelangsa. Kursi itu harus kutolong. Bayangan tentang kursi yang sedih dan ketakutan itu berkecamuk di pikirannya. Tari pun mengendap-endap keluar dari kamarnya lagi. Pelan-pelan dia membuka kunci pintu belakang. Lalu menyeret satu kursi kayu yang ada di ruang makan. Kalau Ibu tak memperbolehkannya masuk, harus ada satu kursi yang menemaninya lagi, agar dia tidak bersedih hati dan kesepian, pikirnya.
Ibu yang sudah terlelap mulanya tak mendengar suara gesekan keras antara kursi dan lantai. Tapi, setelah mendengar suara yang sangat keras seperti barang pecah yang jatuh, mata Ibu langsung terbelalak. Dia terbangun. Ibu gegas keluar kamar karena menduga itu adalah ulah Tari lagi.
Astaga!
“Apa yang kamu lakukan, Tari?” Ibu berteriak keras saat melihat guci tempatnya menaruh payung-payung itu terguling dan lehernya pecah. Pecahannya tajam berceceran di lantai. Sambil mengambili serpihan itu dengan hati-hati, Ibu melihat sekeliling yang tak tampak berbeda.
Ruangan tampak lebih luas. Ibu jadi sadar ada dua kursi yang hilang di ruang makan. Yang pertama adalah kursi yang memang dia taruh untuk dipakainya memasang pot-pot gantung di halaman belakang. Yang satu lagi..pasti adalah ulah Tari yang memindahkannya. Ibu membuang pecahan guci ke kantung plastik lalu menaruhnya di tempat sampah. Tari hanya berdiri melihati Ibu, dia takut Ibu akan marah padanya karena dia tak sengaja menyenggol guci sampai terjatuh dan pecah.
Ibu melempar tatapan penuh amarah padanya dan berlalu mengecek halaman belakang. Benar. Kursi itu telah Tari pindahkan ke sana. Apa maunya anakku ini? Anakku ini sungguh kacau. Bandel sekali. Tiap malam selalu melakukan hal-hal aneh yang membuatku tak bisa tidur. Anakku ini, bila dibiarkan lama-lama akan membuatku gila.
Tanpa bicara apapun, Ibu langsung menyeret Tari ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Setelah menguncinya dari luar, Ibu berteriak seperti kesetanan, “Itu hukuman anak yang tidak menurut. Ibu suruh kamu tidur dari tadi, tapi malah berulah terus. Awas, besok, kalau kamu tidak bisa diam dan merusak barang-barang lagi.”
Suara gertakan Ibu membuat Tari bergetar. Bahkan mengalahkan dingin hawa kamar mandi. Tari pun melihat sekeliling dan merasa takut. Bagaimana mungkin dia yang takut sendirian ini malah dikurung di ruangan sempit dan dingin begini pada malam hari oleh ibunya sendiri. Ibu yang sering dia kasihani karena berjuang hidup sendirian tanpa suami. Yang sudah membuatnya takut sampai-sampai saat dia melihat benda yang sendirian pun dia ingat pada Ibu yang sendirian.
“Ibu..Ibu.. Jangan tinggalin Tari sendirian..” rengek Tari dari dalam kamar mandi.
Ibu mengabaikannya lalu mengangkat satu kursi kayu dan mengembalikan ke meja makan. Dia lantas mengunci pintu belakang. Dia pun mengabaikan suara tangis dan pukulan-pukulan kecil Tari pada daun pintu kamar mandi.
Tari makin terisak dalam tangisnya, “Ibu..Ibu.. Jangan marah.. Tari cuma ingin kursinya tidak sendirian. Tari kasihan kalau lihat dia sendirian di luar sana. Kok Ibu malah mengurung Tari di sini sendirian..”
Hening.
“Ibu… Ibu.. Tari takut sendirian..”
Hening. Ibu tidak menghiraukan tangisan Tari. Ibu malah masuk ke kamarnya dan menarik selimut. Kepalanya teramat pusing mengingat suami yang menghianatinya dan merasakan anak yang tak pernah membuatnya bisa tidur dengan tenang. Dia biarkan Tari menangis sendirian di kamar mandi. Dia biarkan Tari dan dirinya tak bisa tidur lagi.*
Cerpen ini merupakan cerpil pilihan unsa 2016 dan dibukukan bersama 11 cerpen lain dalam buku Kupu-Kupu Kematian.