Cerpen
Disukai
3
Dilihat
4,969
Bendera di Bawah Bintang Senja
Sejarah

Agustus yang sunyi. Sebagian orang pergi menjaring, sebagian lagi berangkat berburu dengan perahu, sisanya duduk-duduk di depan tungku. Di kampung halamanku, tanggal-tanggal begini, jadwal karnaval selalu padat. Anak-anak bernyanyi sambil mengibarkan bendera kecil. Sementara di sini, anak-anak justru bertanya kepadaku, “Indonesia itu ada di mana, Bu?”

**

Sudah genap dua tahun, aku tinggal bersama orang-orang yang hanya menggunakan matahari sebagai penanda waktu. Tiap hari, bayi-bayi selalu terbangun mendahului orang tua mereka. Dan tangisan mereka lah yang memberiku pertanda bahwa subuh telah tiba. Tidak ada masjid di kampung ini. Apalagi listrik? Bila ingin mengisi daya ponsel aku harus menunggu matahari tinggi untuk dapat menggunakan mesin tenaga surya.

Tiap hari, aku mengajar anak-anak dalam sebuah rumah kayu yang dulu dibangun oleh pemerintah. Atap dan dindingnya sudah mulai reyot, entah sudah berapa lama usianya. Katanya, dulu pernah ada guru, tapi kemudian bangunan ini kosong bertahun-tahun. Pada hari-hari tertentu, aku bahkan sering meminta izin menggunakan gereja untuk aktivitas belajar-mengajar kami.

Anak-anak dan masyarakat di sini menerimaku dengan baik. Dalam satu bulan pertama tinggal, nama mereka sudah kuhafal di luar kepala. Untuk mengingat nama di kampung kecil ini tidak sulit bagiku. Barangkali karena aku jarang tinggal di rumah dan terlalu sering menghabiskan waktu dengan mereka. Di tempat ini pula aku mengenal seorang teman. Yonika namanya. Ia berbeda. Sejak kali pertama melihatnya, aku dapat menebak ia bukan berasal dari suku yang sama dengan masyarakat kampung ini. Masyarakat di pesisir pantai memiliki postur tubuh jenjang, sementara ia telihat lebih kekar. Ia juga memiliki gaya bicara yang berbeda.

Kami sering bertemu untuk sekedar mengobrol. Mungkin karena ia satu-satunya orang yang pernah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA, sehingga saya cukup mudah mengajaknya membicarakan apa saja. Ia pernah bilang bahwa kita sama-sama orang baru di kampung ini. Bedanya, saya datang untuk mengajar, sedangkan ia datang untuk menyelamatkan diri dari konflik kampung halamannya.

Aku masih ingat, dini hari ketika itu, ia muncul di perbatasan kampung dengan kaki penuh luka. Entah berapa puluh kilometer telah ia tempuh untuk tiba di kampung ini. Melewati hutan yang bahkan tak pernah dilewati orang-orang sebelumnya. Berhari-hari sudah perjalanan itu, ia tiba dengan kondisi lemas, matanya cowong seperti tidak minum beberapa hari.

Orang-orang langsung membawanya ke jew, rumah adat untuk kaum lelaki. Memberinya minuman dan entah ramuan apa. Saya tidak bisa melihatnya sampai beberapa hari kemudian, ia kembali sehat dan tiap pagi berjalan-jalan di halaman jew. Saat itu lah aku dan anak-anak mendatanginya.

**

“Kalau mau lihat perayaan, kau pergi ke kota saja,” ucap Yonika. “Minggu depan, orang-orang gereja datang, kau bisa ikut ke kota to?”

Anak-anak bilang kepadanya bahwa aku ingin melihat perayaan. Itulah sebabnya kenapa sejak beberapa hari lalu, Yonika mengajakku pergi ke kota, ikut petugas gereja yang setiap satu bulan sekali mengunjungi kampung kami.

“Sebenarnya aku tidak terlalu ingin melihat perayaan, aku hanya rindu melihat banyak bendera. Seperti suasana di kampung halamanku,” imbuhku.

“Ya, kau bisa lihat itu di kota,”

Berkali-kali ia bilang begitu. Sepertinya ia juga ada rencana ke kota, walaupun ketika kutanya ia tidak menjawab dengan jelas. Ia hanya bilang ingin melihat kota. Tapi aku menduga, ada hal lain yang ingin dilakukannya. Waktu itu, kami bicara banyak. Kuceritakan kepadanya tentang keinginanku untuk melihat bendera yang meriah. Juga tentang kebiasaanku setiap Agustus tiba. Aku dibesarkan oleh keluarga nasionalis. Kakekku seorang veteran. Sebagai seorang pejuang yang ikut turun langsung melawan penjajah, ingatan akan pengalamannya itu selalu ia ceritakan kepada anak-cucunya berulang kali. Tiap Agustus, nama presiden Soekarno selalu disebut-sebut, sampai-sampai aku ikut menjadi penggemar beratnya. Cintanya kepada negara tidak pernah habis sampai ia tutup usia. Aku pun hidup dengan harapan menjadi seorang abdi negara sebagaimana ia menanamkan mimpinya kepadaku.

“Bagaimana dengan keluargamu? Kamu tidak pernah menceritakannya,” aku tanyakan itu kepadanya setelah aku bercerita lama.

“Sama,”

“Sama bagaimana?”

“Keluarga saya juga pejuang. Biar orang sebut keluaga saya adalah pengkhianat. Bagi saya, mereka tetap pejuang,”

**

Aku bilang kepada Bapak Kepala Kampung bahwa aku akan pergi ke kota. Anak-anak akan libur beberapa hari. Ia tidak keberatan. Ia malah menyuruhku sering pergi, agar tidak gila seperti guru-guru yang sebelumnya. Tidak ada satu guru pun yang bisa tinggal lama di sini. Barangkali aku adalah guru pertama yang betah hidup di kampung ini. Memang tidak mudah untuk tinggal dan mengajar di pedalaman. Anak-anak datang dan pergi sesukanya. Mengenalkan kedisiplinan tidak bisa semudah mengenalkan lagu. Tetapi, setelah lama tinggal, aku mulai menyadari bahwa ada PR besar yang lebih layak dikejar daripada mengajari mereka tentang angka dan bahasa, yaitu mengenalkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Tidak perlu bicara diare berkepanjangan, penyakit menular, atau apalah itu. Untuk yang sederhana saja, masyarakat bahkan masih belum bisa sembuh dari penyakit jamur yang memenuhi kulit mereka. Ketika aku mengenalkan kebiasaan mandi dan mencuci pakaian rutin, masyarakat kampung justru menceritakan bagaimana mereka tetap bisa sehat di masa lalu tanpa hal-hal yang kujelaskan. Dulu, mereka tidak mengenal sakit kulit. Penyakit jamur itu datang ketika mereka mulai mengenakan pakaian. Ketika itu, ada sekelompok orang yang datang mengaku orang dinas, membawakan segelintir pakaian dan memaska mereka mengenakannya. Baju yang dimiliki hanya satu-dua itu, mereka cuci belum tentu satu minggu sekali. Mereka mengerti bahwa pakaian kini telah menjadi simbol kesopanan, sehingga mau tak mau mereka harus mengenakannya.

Sejak itu, kulit mereka sering gatal. Baru-baru itu juga, orang-orang datang mengenalkan kain pembalut. Keluhan yang sama muncul setelahnya—gatal di kemaluan. Kadang aku ikut pusing memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Bagaimana mungkin mereka yang belum selesai dengan masalah yang timbul karena pakaian, ditambah lagi dengan kain pembalut. Mengapa orang-orang datang menawarkan solusi, tetapi justru muncul permasalahan-permasalahan baru.

“Lebih baik bantu mereka olah tanah mereka sendiri,”

Yonika pernah bilang begitu sampai suatu hari saya mengerti maksud ucapannya setelah ia berhasil memanen tomat dan cabai di halaman rumah masyarakat. Mereka senang sekali waktu itu terlebih karena, tidak seperti masyarakat di gunung yang pandai bertani, mereka hidup dengan berburu dan meramu. Kedatangan Yonika memberikan napas segar untuk cara bertahan hidup.  

Percakapanku dan Yonika sering datang dari hal-hal yang seperti itu, mengenai masyarakat, anak-anak, hingga masalah-masalah di kampung. Kami bahkan pernah berdebat panjang ketika membicarakan pembangunan untuk masyarakat kampung.

“Coba pikir, untuk apa listrik dan sinyal? Orang-orang seperti kami toh bisa hidup tanpa itu semua,” tanyanya membuka perdebatan.

**

Bertepatan dengan jadwal kunjungan gereja, sebuah perahu motor datang di kampung kami. Seperti biasa anak-anak berkumpul di dermaga hanya untuk melihat dan menyentuh-nyentuh perahu motor. Bagi mereka perahu motor adalah barang merah yang jarang terlihat dan hanya orang beruntung yang bisa menaikinya. Aku dan Yonika sudah izin bergabung dengan petugas gereja. Kami sudah bersiap di dermaga.

Saat matahari mulai tinggi, air sungai mulai naik, mesin dinyalakan. Kami tinggalkan kampung yang sunyi ini. Kami pun mengatur posisi senyaman mungkin, sebab delapan jam perjalanan menuju kota bukanlah waktu yang singkat.

Sepanjang perjalanan aku ingat rumah. Barangkali ini adalah jarak terjauhku pergi dari rumah. Pengabdian atas nama kemanusiaan yang aku agungkan di media sosial sepertinya bukan tujuan utamaku. Jauh di balik itu, ada tujuan yang tidak diketahui siapapun—aku ingin menyembuhkan diri dengan tidak bertemu dengan orang-orang yang membuatku merasa tidak berguna. Tidak terpenuhinya target-target di kota, patah hati, dan mengalami banyak penolakan dalam pekerjaan, aku merasa hidupku sia-siap sampai aku memutuskan pergi jauh, ke suatu tempat terpencil, yang barangkali di tempat ini aku akan merasa dibutuhkan.

Senja mulai datang. Perjalanan hampir tiba ditujuan. Pada saat langit mulai perlahan gelap, mata Yonika berkaca-kaca. Ketika kutanya, ia bilang ingat keluarganya di kampung halaman. Dan bertambah merah matanya saat bilang ingat kakaknya yang mati tertembak sewaktu ia masuk kecil. Ia bilang ia begitu terluka atas semua yang ia terima. Aku hanya bisa diam sampai Yonika menunjuk sebuah cahaya di atas cakrawala barat. Ia menyebutnya cahaya itu bintang senja dan di sana lah secercah harapan ia simpan.

Tidak lama setelahnya, perahu kami semakin dekat menuju kota. Pemukiman mulai terlihat. Merah putih tampak ramai dikibarkan. Bendera melambai-lambai begitu gagah di tiang-tiang dermaga, di bawah langit dengan bintang senja.

Kami berpisah di dermaga dan Yonika bilang kepadaku agar selalu menjaga diri. Tidak ada yang menyangka bahwa kala itu adalah pertemuan terakhir kami. Ada yang melihat Yonika ikut kapal ke ibu kota bersama beberapa orang. Tidak lama berselang, aku mendengar berita kerusuhan. Yonika tidak pernah kembali lagi ke kampung kami. Aku dan orang-orang kampung sangat merindukannya.***

Cerpen ini terbit di koran Republika, 5 September 2021

Intan Andaru. Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (2021). Sempat menjuarai lomba cerpen Festival Sastra UGM (2021). Menulis novel Perempuan Bersampur Merah (GPU, 2019). Masih tetap menulis di tengah kesibukan melanjutkan studi spesialis bedah urologi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)