Cerpen
Disukai
5
Dilihat
7,274
Perempuan yang Menikahi Belik
Misteri

Konon di perbatasan salah satu kabupaten di Pulau Jawa, ada sebuah desa yang tiba-tiba lenyap. Orang yang hendak pergi ke sana tak pernah menemukan desa itu lagi. Mereka kehilangan apa pun yang ada di desa itu. Meski desa beserta isinya itu nyata pernah ada, hingga sekarang pun desa itu tak pernah ada dalam peta. Berapa pun kau perbesar skalanya, desa itu tak pernah ada. Di sanalah dulu ditemukan seorang anak yang lahir dari rahim seorang wanita suci tanpa suami. Seorang anak berkulit sawo matang. Gerakannya begitu gesit, tak bisa dikejar siapa pun, ada yang pernah melihat anak ini menghilang saat bertemu dengan air. Tubuhnya menjadi transparan seperti air mengalir. Tak ada yang mau berteman dengannya. Bahkan dengan ibunya sekali pun. Dituduhnya anak itu anak haram lantaran ibunya tak bersuami. Ada pula yang menerka-nerka bahwa anak itu adalah anak siluman air. Ada juga yang bilang dia anak jin penghuni belik.

Rumor mengenai belik yang menghamili ibunya itu mulai tersebar beberapa tahun lalu. Dulu ibunya adalah seorang gadis cantik dengan rambut legam tergelung ke belakang, hampir tiap hari dia mengenakan jarik bermotif lurik yang sama, dan kebaya kisut berwarna coklat. Gadis itu menjadi pembicaraan banyak orang lantaran begitu berani mandi di sebuah belik yang katanya dihuni makhluk halus. Tak boleh ada orang yang mandi di sana. Dipercayai bahwa siapa pun yang mandi di sana akan mendapatkan kesialan seumur hidup. Tapi dengan polos dan tak ada takutnya gadis itu menikmati segarnya guyur demi guyur air yang diciduknya dari belik itu. Sudah diperingatkan banyak orang, tapi tak pernah didengarkannya.

Begitu senang dia mandi di belik itu. Baginya, belik itu bukan hanya sebuah mata air segar biasa yang berada di tengah bongkahan batu cadas. Tapi sesuatu yang bisa membuatnya merasa bahagia, nyaman, dan seperti orang jatuh cinta. Air yang wanginya menyerupai bunga tujuh rupa itu seakan menyetubuhinya lewat pori-pori kulit badannya.

Tak dipedulikannya ketakutan orang-orang itu. Daripada mandi di sendang, mata air yang lebih besar dari belik, lebih baik dia mandi sendirian di belik itu. Sendang di dekat hilir sungai terlalu ramai. Tak pernah tenang dan leluasa bila mandi di sana. Banyak lelaki yang sengaja lewat di samping kali itu, berpura-pura cuci kaki, cuci muka, cuci pacul, atau mencuci benda apa saja yang dimilikinya. Padahal tujuannya cuma satu, cuci mata. Jelalatan melihati lekukan tubuh perempuan yang terlihat jelas saat kembennya basah.

Setelah lima belas hari dia menjalani rutinitas mandi di belik itu, dia pun makin terlihat cantik. Saat dia lewat, dalam jarak lima meter akan tercium bau wangi yang aneh. Bau yang mampu membuat orang yang mencium wangi itu menjadi bahagia. Wajahnya kian bercahaya dan cerah. Senyumnya makin memikat. Maka ada satu-dua orang yang mencoba mandi di belik itu dengan harapan menjadi makin cantik seperti si gadis, tapi malah sakit-sakitan. Ada yang bahkan tiba-tiba saja pundaknya terasa berat seperti diduduki beban seberat manusia dewasa. Lalu, tak satu pun orang berani mandi di belik itu. Belik itu dikeramatkan.

Dan yang terjadi pada gadis itu justru sebaliknya. Makin hari gadis itu makin mencintai belik yang katanya kutukan. Katanya, dia benar-benar jatuh cinta pada belik itu. Entah pada apanya. Dia bahkan telah membangun sebuah gubuk kecil tepat di samping belik. Kini dia hanya cukup turun melewati tanah yang sudah dibentuk undak-undakan menyerupai tangga untuk sampai di belik itu.

Karena kecantikannya, banyak pria lajang dan yang telah beristri ingin mempersuntingnya. Banyak sekali. Ada seorang pemuda gagah dengan dahi kehitaman dan jenggot yang menggelantung di dagunya yang tajam. Ganteng sangat. Tatapannya meneduhkan seperti mengingatkan kita akan kesejukan sembahyang. Dialah pemuda yang baru lulus dari pesantren, berpendidikan paling tinggi di desa ini, anak kiai terkenal. Banyak wanita yang menggilainya. Tapi si gadis menolaknya. Ada juga seorang lelaki yang sudah beristri tiga, kekayaannya tak dapat dihitung lagi. Mungkin tanah yang dia miliki bila digabung bisa seluas tanah desa itu. Meski pendek dan agak gemuk, tak ada wanita yang menolak dipersuntingnya. Tapi, lagi-lagi, gadis itu menolaknya. Semua lelaki ditolaknya.

Cukup sederhana gadis itu menjawab lamaran mereka, “Maaf, aku tak lagi perawan.”

Lelaki yang hendak melamarnya selalu terheran-heran, lalu pulang dengan tangan kosong. Bagaimana tidak. Pengakuan gadis itu membuat mereka menganggapnya gila. Dia bilang dia telah menikah dengan belik di sampingnya, pernikahannya disaksikan oleh bebatuan yang hitam, pepohonan yang tinggi kekar, dan tanah liat yang licin di sekitar kali itu. Gemericik air sungai dan gesekan daun di ladang jagung seperti meneriakkan kata “sah” di pernikahan mereka. Dia telah mengikat janji setia seumur hidupnya dengan sebuah belik.

Desa makin ramai. Gosip seorang gadis cantik yang gila telah menyebar ke mana-mana. Ke mana dia pergi, orang selalu memanggil orang di sekitarnya dan menunjuk gadis itu seperti melihat sesuatu yang langka. Gadis itu makin terganggu. Dia sering mengurung diri, hanya mau pergi ke tempat belik dan kadang keluar gubuk hanya untuk membeli bahan makanan di warung terdekat. Tak ada tetangga yang mau mendekatinya lagi, mereka takut. Meski gadis itu begitu cantik parasnya, begitu harum baunya. Bagi warga desa, gadis itu terlampau aneh.

Dan benar apa yang terjadi.. Gadis itu tak bohong bahwa dia tak lagi perawan. Lama-lama perut gadis itu membuncit. Makin bulan makin besar, seperti orang yang benar-benar hamil. Hingga sembilan bulan lamanya..

Di dalam sebuah gubuk yang reot, hujan deras mengguyur desa, guntur menyambar-nyambar. Gadis itu meremas perutnya. Sakit tak ketulungan. Hingga saat guntur paling keras mengudara. Terdengar pula suara tangisan bayi laki-laki yang dia lahirkan sendiri. Dipeluknya bayi itu erat-erat. Dikuburkannya ari-arinya di undak-undakan dekat jalan yang menghubungkan antara gubuk dan belik itu. 

Dia amat bahagia. Anak itu dinamainya Guntur. Tapi warga desa memanggilnya Guntur Belik, karena dia adalah anak dari sebuah belik.

*

Meskipun si gadis yang sekarang telah menjadi ibu itu seperti dikucilkan, tapi dia tak ingin anaknya, Guntur, mengalami hal yang sama. Dia yang sangat mencintai Guntur itu ingin anaknya bisa hidup normal. Bisa punya banyak teman dan tak kesepian. Maka di usianya yang ke tujuh, Guntur didaftarkannya di sekolah rakyat yang berjarak lima kilometer dari gubuk itu. Meski begitu jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Guntur tak perlu ragu. Sang ibu hanya menyuruh Guntur berangkat lewat kali di dekat belik itu, maka dalam hitungan menit anak itu sudah berada di kali belakang sekolahnya. Tanpa basah sedikit pun. Beberapa hari dia bersekolah seperti anak normal lainnya.

Tapi, tidak di hari itu. Saat teman-temannya hendak mengerjainya lantaran dia tampak begitu pendiam seperti enak untuk dijadikan korban kejahilan.

Saat dia berjalan ke belakang sekolah hendak menuju kali untuk pulang ke gubuknya. Empat temannya mengikutinya dari belakang. Membawa sebuah timba berisi tanah dengan kedua tangan yang diselobongi plastik hitam. Lalu mereka menimpuknya dengan tanah liat yang mereka ambil di kandang sapi. Baunya tak karuan.

“Hei, Guntur, sini kalau berani!” tantang satu anak dengan gigi depan yang kuning geripis seperti lama terkikis ulat gigi.

Guntur hanya menoleh. 

“He, Guntur! Guntur tak punya bapak, ibunya gila!” sahut satu anak yang lain lalu melemparkan tanah liat pesing itu. Tepat mengenai punggung Guntur.

“He Guntur! Jangan bohong kalau kamu punya bapak belik. Tak ada manusia yang kawin sama belik. Hahaha...” teriak satunya lagi, lalu dihantamnya Guntur dengan gumpalan tanah liat itu. Berkali-kali.

Guntur mengernyit. Tapi terus berlalu menuju tepian kali, acuh tak acuh dengan mereka. Kakinya lalu menyentuh aliran air kali. Kakinya mencair dan menyatu dengan arus air yang tak begitu deras. Disusul pahanya, disusul perutnya, kepalanya, hingga keseluruhan yang menempel pada badannya ikut mencair. Lalu hilang. Keempat anak yang mengikutinya melongo. Ketakutan. Kemudian pulang dan bercerita pada orang-tuanya.

Hingga sampai di gubuknya. Guntur masih juga diam, sakit hatinya. Dia ingin marah. Tapi bukan marah pada teman-temannya. Dia ingin marah pada Ibunya. Dituduhnya ibunya berbohong mengenai ayahnya. Tapi, tahukah kau? Ibunya tak pernah berbohong. Ibunya tak pernah berbohong. Tak pernah. Guntur memang anak dari belik di samping rumahnya.

“Kau boleh marah pada Ibu, Nak. Tapi jangan pernah marah pada bapakmu. Jangan pernah kau tunjukkan kau bersedih di hadapannya. Jangan mengeluh di hadapannya..” kalimat Ibunya membuat guntur makin bersedih. Guntur bahkan tak pernah melihat seperti apa bapaknya. Wajahnya, perawakannya, suaranya, adakah yang mirip dengan dia? Tapi percayakah kau bahwa ibunya pun tak pernah tahu wujud bapaknya, dia hanya tahu dia sebuah belik. Sebuah belikdengan air segar yang wangi, yang telah menghamilinya, yang telah menyetubuhinya lewat pori-pori kulitnya.

Guntur lalu berjalan pelan. Menjauhi gubuk. Menenangkan diri. Ibunya melihatnya hingga lenyap. Tapi memastikan anak itu tidak pergi ke belik. Dia takut hal itu terjadi. Takut apa yang dikatakan suaminya lewat pikiran-pikirannya itu benar terjadi. Suaminya bilang, bila anaknya tak bahagia di tempat ini, maka dia akan membawanya masuk ke dalam sukmanya. Yaitu sebuah tempat yang tak pernah diketahui orang, sebuah tempat yang tak bisa ditemukan hingga saat ini. Tempat yang tidak pernah ada dalam peta.

Sang Ibu pun lalu mengelus dada, masuk ke dalam gubuk. Tapi, dia tak tahu bahwa setiap Guntur kesepian Guntur selalu bermain di kali. Bicara pada air mengalir. Berenang, menghilang, menyatu dengan air. Dia juga tak tahu, bahwa air kali itu berasal dari sang belik, air itu adalah telinga, suara, mata, dan sekelumit bagian dari sang belik. Air itu adalah sang belik.

*


            Tiba saat itu, sang belik yang juga ayahnya tak bisa lagi menahan amarah. Warga telah banyak yang menyakiti anaknya. Pertama-tama, dia akan membawa istri dan anaknya ke dalam sukmanya. Tiba-tiba mereka merasa ada sebuah kekuatan yang mendorong mereka menuju belik. Mereka lalu tersedot dan tenggelam dalam belik itu. Kemudian hilang. Disusul oleh ladang jagung, pepohonan, bebatuan, rumah, warga, sapi, bahkan awan yang tersembul di atas desa, halilintarnya, hujannya, burung-burungnya, semuanya yang menjadi bagian dari desa itu ikut lenyap. Seisi desa itu dalam hitungan detik hanyut tersedot ke dalam belik itu. Hingga tak bersisa. Mata air itu kini tak mengeluarkan airnya lagi, mengecil-mengecil, dan lama-lama lenyap. Menjadi sebuah titik yang benar-benar hilang.

Desa tetangga yang semula berada di kanan-kiri desa itu kini berhimpitan tak ada batas. Orang-orang kebingungan lantaran sebuah desa dan isinya hilang dari muka bumi.

*

Berpuluh-puluh tahun kemudian, cerita tentang seorang gadis yang beranak dari sebuah belik hanya menjadi cibiran saja. Orang-orang kini tak lagi mempercayai apa yang diceritakan orang-orang jompo yang dulu pernah menjadi saksi adanya sebuah desa yang hilang.

Di suatu latar yang sama. Di sebuah titik di mana belik itu lenyap. Di dalam sebuah desa yang telah berubah menjadi kota. Ada kendaraan bermotor, bangunan beton yang tinggi-tinggi, pemandian yang ramai, dan tempat lain khas perkotaan. Tiba-tiba datang seorang gadis dengan rambut yang tergelung ke belakang, mengenakan rok motif lurik, dan baju berkerah shanghai berwarna coklat. Dia berjongkok. Melihati sebuah titik hitam yang asing baginya. Diketuknya titik itu dengan jari-jarinya yang lentik. Tiba-tiba rembesan air terlihat dari titik itu. Merembes dan makin banyak.. Mengalir bagai sumber mata air. Membludak seperti tak dapat dibendung lagi.

Dia lalu berteriak, “Ada sumber air, ada sumber air!”

Banyak orang berdatangan. Sebagian berpikir itu adalah selang air PDAM yang bocor. Sebagian berpikir itu adalah air tiban yang membawa keberuntungan. Sementara sang gadis hanya berpikir satu hal. Dia ingin mengguyur badannya dengan air segar itu. Secepatnya.***


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (5)