Cerpen
Disukai
4
Dilihat
5,804
FIRASAT EMAK
Slice of Life


Sudah lewat jam 10 malam. Ayun mulai mematikan lampu ruang tamu dan mengunci pintu serta jendela sekaligus menutup tirai jendela kaca besar yang menempel di dinding ruang tamunya.

Malam ini ia harus mengawali tidur malam sendirian. Hal itu sudah biasa bagi Ayun karena Sadikin, suaminya memang sering pulang tengah malam, terkadang malah tak pulang hingga dua tiga hari saat harus mengirim barang jauh ke luar kota. Suaminya adalah supir truk yang sering pergi ke luar kota untuk mengirim barang.

Jika barang yang dikirim ke luar kota yang jaraknya dekat, maka suaminya akan pulang saat sore atau malam hari.

Anaknya yang sulung, Ardi sudah bekerja di Surabaya dan hanya pulang seminggu sekali saat libur. Bayu, anaknya yang nomor 2 bekerja sebagai satpam di pabrik dekat rumah selepas SMU dan memiliki usaha angkringan bersama temannya yang ia jaga bergantian sepulang dari pabrik. Biasanya Bayu akan pulang ke rumah antara jam 10 atau jam 11 malam, tergantung ramai tidaknya pembeli angkringan. Sementara si bungsu Citra, sedang menuntut ilmu di pondok pesantren yang terletak di pinggiran kota.

Itulah sebabnya, Ayun hampir selalu sendirian di rumah saat siang hingga malam hari. Sangat jarang penghuni rumahnya dapat berkumpul bersama-sama secara lengkap selain hari raya atau acara keluarga.

Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah tertutup dan terkunci, Ayun bergerak mendekati bufet pendek dari kayu jati dan mengambil Hp yang tadi diletakkannya di samping asbak yang terbuat dari besi. Asbak itu adalah hasil karya suaminya yang memanfaatkan piston truk yang sudah tak terpakai.

Layar hpnya menyala bersamaan dengan tangannya yang terulur. Satu notifikasi dari aplikasi WhatsApp.

[ Pergilah ke rumah Emak. Warno bilang jam segini Emak masih duduk sendirian di teras ]

Ayun membaca pesan yang dikirim dari nomor suaminya.

Warno adalah teman main Sadikin sejak masa kanak-kanak yang tinggal tepat di samping rumah ibu mertuanya itu.

Ayun segera mengetik jawaban dan mengirimnya.

[ Baiklah. Mas lagi di mana? Pulang jam berapa? ]

[ Aku masih di jalan. Satu jam lagi sampai rumah. Nanti aku langsung ke rumah Emak sekalian jemput kamu ]

Ayun menjawab pesan suaminya dengan mengirimkan gambar stiker jempol besar berwarna kuning.

Gegas Ayun masuk ke kamarnya, mengganti daster yang ia kenakan dengan celana panjang dan sweater berbahan kaus. Menyambar jilbab instan yang tersampir di hanger, memakainya sambil berjalan cepat menuju pintu keluar.

Rumah ibu mertuanya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahnya, jadi ia cukup berjalan kaki saja.

Suasana kampung tempat tinggalnya sudah sepi. Pintu-pintu rumah tetangganya terlihat sudah tertutup rapat. Jangankan pada malam hari, saat siang pun pintu rumah-rumah itu lebih sering tertutup. Karena hampir semua penghuni kampung yang baru sekitar sepuluh tahun terbentuk itu adalah pasangan pekerja.

Tadinya, area sekitar rumahnya adalah sawah yang akhirnya dikeringkan dan diuruk oleh pemiliknya dan dijual dengan sistim kavling sehingga lama-kelamaan tanah sawah itu berubah menjadi perkampungan yang lumayan padat penduduknya.

Dari belokan jalan, samar-samar Ayun dapat melihat sosok ibu mertuanya. Seperti yang suaminya bilang, wanita renta itu terlihat masih duduk sendirian di balai-balai bambu yang diletakkan di sudut teras rumahnya.

"Suamimu belum pulang, Yun?" tanya Warno yang ternyata masih berada di dekat pagar rumahnya saat melihat Ayun menyeberang dan berjalan ke arahnya. Seolah-olah lelaki itu sengaja menunggunya.

Ayun menghentikan langkahnya, "belum, Cak!" jawabnya seraya mendekat saat Warno melambaikan tangan menyuruhnya mendekat.

"Emakmu, dari tadi kelihatan gelisah. Ini aku baru saja pamit pulang karena sudah mulai ngantuk. Dari jam sepuluh tadi aku menemaninya," terang Warno dengan suara pelan.

"Apa Emak mengeluhkan sesuatu? Apa dia sakit?" tanya Ayun.

"Emakmu gak ngomong apa-apa sih. Tapi kalau bisa kamu menginap saja di sini, Yun. Temani emakmu! Kasihan kalau dibiarkan sendirian!" ujar Warno menyarankan sebelum pamit untuk masuk ke rumahnya.

"Iya, Cak! Nanti Mas Dikin juga katanya mau langsung pulang ke sini kok," ucap Ayun lalu melangkah mendekati pagar rumah mertuanya.

"Belum tidur, Mak?" tanyanya berbasa-basi seraya mendekat.

"Kamu kok ke sini malam-malam begini, Nduk?"

"Belum ngantuk Mak!" dustanya, "tadi Cak Warno mengabari Mas Dikin, dia bilang emak belum tidur sampai jam segini. Ya sudah saya kesini saja biar ada teman ngobrol."

"Dikin belum pulang? Kirim barang ke mana dia?"

"Mas Dikin belum pulang dari dua hari lalu, Mak! Mungkin kirim barang ke Jakarta. Tapi tadi sudah bilang kalau sekarang sudah perjalanan pulang kok!" tutur Ayun.

"Apa dia tadi telpon kamu? Sudah sampai mana dia? Coba telpon lagi sudah sampai mana! Suruh hati-hati di jalan!" Wanita yang sudah mulai bungkuk itu terlihat gelisah.

"Tadi sebelum ke sini saya sudah telpon Mas Dikin kok Mak, sekalian bilang kalau mau ke sini. Katanya sudah dekat. Sebentar lagi Mas Dikin pasti sampai. Tadi Mas Dikin juga bilang kalau mau langsung pulang ke sini sekalian jemput saya," sekali lagi Ayun berdusta untuk menenangkan ibu mertuanya. Tidak sepenuhnya juga ia berbohong.

"Oh, syukurlah kala begitu," gumamnya seraya menghembuskan napas lega.

"Emak kenapa kok gak tidur-tidur? Ini sudah malam loh, Mak."

"Jam berapa ini?" Wanita tua itu memandang menantunya dengan pandangan tanpa fokus.

"Sudah jam sebelas lewat. Mas Dikin mungkin baru akan sampai sekitar jam dua belas nanti," sahut Ayun setelah melihat penunjuk waktu di layar hpnya.

"Sudah malam. Bayu apa sudah pulang?"

"Mungkin sekarang dia sudah sampai rumah. Tadi saya juga sudah pamit lewat WA ke Bayu kalau lagi ada di sini, Mak."

Kembali Ayun memeriksa aplikasi WhatsApp di hpnya. Bayu menjawab pesannya dengan satu kata 'inggih' ( iya )

"Kalau sudah mengantuk tidur saja Mak, biar saya di sini sambil nungguin Mas Dikin," saran Ayun padahal ia sendiri tengah menahan agar tidak menguap di depan ibu mertuanya itu.

"Sebenarnya dari habis Isya' tadi aku sudah tidur. Karena mimpi buruk, aku terbangun pas jam setengah sepuluh. Akhirnya sampai sekarang aku gak bisa tidur lagi," keluh mertuanya galau.

"Mimpi apa sih, Mak? Itu cuma bunga tidur. Gak usah terlalu dipikirkan. Emak juga tidurnya masih sore kan?" bujuk Ayun menenangkan.

"Gimana aku gak kepikiran, Nduk. Aku tadi mimpi gigi bawahku tanggal. Padahal sekarang, Mamat cacakmu ( abangmu ) sedang sakit. Sudah hampir dua minggu dia belum juga sembuh, sementara Dikin, suamimu sedang berada di jalanan, jauh dari rumah dan gak tahu sedang berada di mana. Jalanan besar itu tempatnya balak, malapetaka, Nduk!" papar wanita renta itu dengan suara bergetar penuh kekhawatiran. "Beberapa hari ini, aku sering lihat ada gagak hitam yang bertengger di pohon asam belakang rumah!"

Ayun terdiam, mencoba memikirkan kata-kata yang dapat menenangkan ibu mertuanya yang tengah dipenuhi kecemasan itu.

"Mungkin ada burung peliharaan warga sekitar sini yang kabur, Mak," ucap Ayun setelah terdiam sejenak.

"Entahlah. Aku kepikiran sama Mamat. Sakit apa dia sebenarnya? Istrinya juga gak kasih kabar apa-apa ke Emak. Seharusnya kalau memang sakit Mamat sudah parah, bawa ke rumah sakit biar dirawat. Kalau hanya dirawat di rumah kan kita gak tau penyakitnya apa," omel Emak entah ditujukan pada siapa.

"Apa sebaiknya besok kita ke rumah Cak Mamat untuk melihat keadaannya, Mak? Biar emak gak kepikiran lagi," usul Ayun.

"Mau naik apa kita ke sana? Aku sudah tidak berani dibonceng sepeda motor jarak jauh Nduk, takut jatuh! Pinggangku sudah gak kuat kalau harus duduk lama tanpa bersandar."

"Biar Mas Dikin pinjam mobil pak RT. Biasanya Pak RT juga sering minta tolong Mas Dikin menyetir mobilnya kalau mau bepergian jauh ke luar kota," jawab Ayun.

Di jalan, tepat di depan pagar terlihat sepeda motor berhenti sebentar. Setelah penumpangnya turun, sepeda motor itu kembali melaju.

"Itu, Mas Dikin sudah pulang Mak!" seru Ayun menunjuk seseorang yang berjalan mendekat.

"Kok belum tidur, Mak? Sudah malam, Emak harus istirahat biar gak naik tensinya!" Sadikin menyalami tangan ibunya sebelum meletakkan tas pakaian ganti yang tadi ia tenteng ke lantai.

"Bareng siapa tadi, Mas? Kenapa truknya tidak dibawa pulang?"

"Truknya aku parkir di jalan depan. Masuk ke sini tadi aku numpang orang yang kebetulan searah," jawab suaminya.

Lelaki berusia hampir limapuluh tahun itu terlihat segar. Sepintas Ayun sempat menghirup aroma parfum yang dipakai suaminya. Kaus berkerah yang membalut tubuh suaminya juga terlihat masih bersih.

"Mas Dikin kok sudah kelihatan segar seperti habis mandi?" tanya Ayun merasa aneh.

"Iya, tadi mampir sebentar di POM bensin, habis ngisi solar aku numpang mandi sekalian. Seharian nyetir tadi aku baru mandi sekali. Rasanya gak betah, badanku lengket semua," terang Sadikin. Ayun hanya mengangguk.

Hampir mendekati jam satu malam, ketika Sadikin dan Ayun berhasil membujuk ibunya untuk kembali masuk ke dalam rumah dan tidur. Lalu keduanya berjalan bersama untuk pulang ke rumah mereka di kegelapan malam tanpa banyak bicara.

***

"Maaf Yun, minggu ini uang belanja untuk kamu cuma kebagian ini," sesal Sadikin seraya menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan.

"Memangnya lainnya kepakai buat apa, Mas?" tanya Ayun sambil lalu seperti biasa, tangannya menjemput lembaran uang dari Sadikin dan langsung memasukkannya ke dompet berwarna krem di atas meja makan.

"Kemarin waktu masih di Cilacap ban trukku meletus. Terpaksa uangnya kupakai buat ngeban. Sebagian aku pegang buat bayar sewa mobilnya pak RT. Semalam kamu bilang mau ngajak Emak sambang ke Cak Mamat," terang Sadikin.

Ayun hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan kegiatannya, menyiapkan sarapan untuk Sadikin dan Bayu yang sudah rapi mengenakan seragam satpamnya.

Begitulah Ayun, istrinya itu tidak pernah protes saat ia memberi uang belanja yang akhir-akhir ini minim. Mungkin karena sekarang dua anak lelaki mereka sudah bekerja dan rutin memberi ibunya sebagian dari gaji mereka tiap bulan yang membuat Ayun tak pernah mengeluhkan jumlah nafkah belanja darinya. Mungkin karena hal itu juga yang membuat Sadikin merasa tak bersalah saat mengurangi nafkah belanja istrinya untuk kepentingannya yang lain. Kepentingan yang sebenarnya adalah untuk memenuhi kesenangannya sendiri di luar sepengetahuan istri dan anak-anaknya.

Ayun tak pernah bertanya ataupun mempermasalahkannya. Sifatnya memang neriman dan gak neko-neko. Sebenarnya, Ayun juga termasuk perempuan yang pintar mengatur keuangan. Buktinya, biarpun ia hanya bekerja sebagai sopir truk dengan penghasilan yang tak menentu, Ayun berhasil mengatur keuangannya dengan sangat baik, sehingga mereka berhasil membangun rumah yang cukup bagus untuk ukuran kampung mereka, menyekolahkan anak-anak hingga lulus dan memondokkan si bungsu ke pesantren yang terbilang paling bagus di daerah mereka.

"Ke rumah Cak Mamat juga kita gak mungkin datang dengan tangan kosong. Paling tidak kita mesti bawa sesuatu ...," gumam Sadikin setelah beberapa saat keduanya hanya diam.

"Nanti kita mampir ke pasar dulu. Belikan roti dan susu saja. Kalau buah-buahan mereka gak kekurangan. Kebunnya luas dan banyak tanaman buah," sahut Ayun.

"Ya, baiklah!"

"Berikan ini buat Pakde Mamat, Bu!" Bayu yang sejak tadi mendengarkan percakapan orang tuanya mendekat seraya menyerahkan amplop berisi uang ke arah ibunya. "Biar bisa buat tambahan berobat," imbuhnya.

"Kamu masih pegang uang, Le?" tanya Ayun ragu-ragu menerima amplop dari tangan anaknya. Dua minggu yang lalu, Bayu juga sudah memberinya hampir separuh gaji yang ia terima sebagai satpam. Itu hampir sama dengan jumlah nafkah belanja dari suaminya jika ia kumpulkan selama satu bulan.

"Ibu tenang saja. Kebutuhanku gak besar kok. Aku masih ada uang! Lagipula, bukankah setiap hari aku juga masih ikut makan di rumah?" sahut Bayu sambil menggeser kursi untuk sarapan.

Tanpa berbasa-basi dengan ayahnya ia langsung menyendok nasi dan lauk sederhana yang sudah disiapkan ibunya di atas meja makan.

"Usaha angkringan mu masih jalan, Le?" tanya Sadikin membuka percakapan dengan putra keduanya yang memang pendiam itu. "Rame jualannya?"

"Lumayan," jawab Bayu singkat tanpa mengalihkan pandangan dari piring di depannya.

Suasana kembali senyap.

Selama beberapa menit tak lagi terdengar suara orang bercakap-cakap. Hanya denting suara sendok dan piring Bayu saja yang sesekali terdengar. Juga desis suara ikan lele segar yang dimasukkan ibunya ke dalam minyak panas di penggorengan.

"Aku berangkat ya Bu, salam buat Pakde Mamat dan Bude Nisa'," pamit Bayu seraya mencium tangan Ayun lalu mencium tangan Sadikin dan bergegas pergi.

"Kadang-kadang kupikir, makin besar dia makin kurang ajar!" gerutu Sadikin saat motor Bayu sudah terdengar menjauh.

"Kurang ajar gimana sih Mas?"

"Kamu lihat sendiri, dia sekarang gak ada hormat-hormatnya sama aku. Bapaknya!" kesal Sadikin, "baru juga kerja jadi satpam. Biarpun jadi bos juga gak seharusnya bersikap seenaknya begitu! Gimanapun juga, aku ini bapaknya!"

"Ah, itu cuma perasaan Mas saja. Bayu itu memang orangnya gak banyak omong kalau gak penting. Masa sama watak anak sendiri gak ngerti," sanggah Ayun. Kembali suasana menjadi sepi dan canggung.

Entahlah, beberapa bulan ini suasana rumah terasa berbeda. Ada kecanggungan dan sesuatu yang mengganjal sehingga suasana rumah tak lagi sehangat dulu, saat anak-anak masih kecil dan mereka tinggal bersama.

***

"Aku lihat gagak hitam itu muncul lagi di belakang rumah, Nduk!" lapor ibu mertua Ayun saat ia mengantarkan lauk dan sayur menu masakannya pagi ini.

Sudah berbulan-bulan ibu mertuanya tak pernah lagi membicarakan tentang mimpi dan gagak hitam yang pernah dilihatnya dulu.

"Mungkin gagak itu memang membuat sarang di pohon asam belakang, Mak," cetus Ayun terlihat santai, tapi tidak dengan perasaannya. Entah mengapa kali ini apa yang ibu mertuanya katakan membuatnya memikirkan sesuatu.

Sesampai di rumah Ayun segera membuka hpnya. Mencari-cari pesan yang pernah dikirimkan suaminya beberapa bukan lalu saat ibu mertuanya tak dapat tidur karena baru mengalami mimpi buruk.

Setelah menemukannya, Ayun langsung melihat tanggal berapa pesan itu dikirim padanya. Lalu ia segera mencari tahu tanggal berapa tepatnya seratus hari dari hari dimana ibu mertuanya mendapat firasat melalui mimpi itu.

Bukan tanpa alasan Ayun mulai menghitung-hitung hari. Dulu, saat ia masih duduk di bangku SMP, neneknya pernah bercerita padanya tentang mimpi yang sama. Tentang gigi bawah yang tanggal. Tepat seratus hari kemudian, Bulik Atikah, adik bungsu ayahnya meninggal dunia setelah melahirkan.

Dua tahun yang lalu Ayun juga mengalami kejadian yang sama. Saat menginap di rumah adik lelakinya yang tinggal di Solo, ia bermimpi giginya yang atas tanggal. Ia sempat menceritakan perihal mimpinya itu pada adik iparnya sebelum pulang. Tiga bulan kemudian, saat ibu kandung Ayun meninggal, adik iparnya tanpa sengaja mengatakan bahwa jarak tanggal kedatangannya ke Solo dan meninggalnya ibu adalah tepat seratus hari.

Sekarang saat Ayun sedang sendirian di rumah dan mulai melakukan penghitungan dengan bantuan aplikasi google maupun menghitung manual pada kalender meja yang tadi diambilnya dari kamar Bayu. Tanggal yang sesuai dengan perhitungannya adalah besok. Baik hasil yang di tunjukkan aplikasi google maupun hasil perhitungan manual yang ia lakukan. Keduanya memberikan jawaban yang sama. Besok adalah tepat seratus hari dari hari datangnya firasat ibu mertuanya.

Secara tiba-tiba dada Ayun berdesir. Ada rasa khawatir yang menyelusup di benaknya.

Tidak! Yang ia rasakan kini bukan hanya rasa khawatir. Tapi Ayun mulai merasa ketakutan. Ia takut sesuatu akan menimpa keluarganya, terutama pada Sadikin suaminya.

Mimpi buruk ibu mertua tentang gigi bawahnya yang tanggal, juga kehadiran gagak hitam di sekitar rumah mertuanya itu adalah satu pertanda buruk. Bahkan ibu mertuanya sendiri juga merasa cemas atas firasat buruk yang mendatanginya. Kecemasan yang kini menular pada Ayun.

"Yaa Allah Yaa Rahmaan Yaa Rahiim, hamba mohon lindungilah suami hamba, putra dan putri hamba, seluruh keluarga hamba. Lindungi kami semua dari segala musibah dan marabahaya. Aamiin!" Dan doa-doa untuk memohon keselamatan bagi keluarganya terus saja Ayun laungkan sepenuh hati.

***

"Jangan pergi, Mas! Hari ini saja, tetaplah di rumah!" mohon Ayun. Tangannya menahan lengan Sadikin yang sudah siap berangkat.

"Kamu ini kenapa sih, Yun? Kalau aku di rumah siapa yang nyopirin trukku? Kamu ini aneh-aneh saja!" dengus Sadikin tak sabar. Apalagi hp yang berada dalam sakunya terus bergetar tak berhenti sejak tadi.

Ia memang sudah berjanji untuk menemui seseorang sejak tadi pagi, tapi entah kenapa Ayun terus menahannya, sehingga lewat tengah hari Ayun masih juga merengek agar tak ditinggalkan. Sadikin sendiri merasa heran, tak biasanya Ayun bersikap begini. Sekarang, perasaan Sadikin sudah dipenuhi kekesalan.

Di luar rumah, terdengar suara motor yang biasa di pakai Bayu berhenti di depan rumah.

"Tumben, baru jam segini kok Bayu sudah pulang?" gumam Sadikin bingung. Paras lega yang ditunjukkan Ayun kian menambah kebingungannya.

"Sudah pulang, Le?" sambut Ayun saat Bayu memasuki ruang tengah melalui pintu samping. Sementara kedua tangannya masih mencengkeram lengan suaminya.

"Bayu meriang, Bu! Badan lemes banget. Tadi Bayu ijin pulang awal, daripada pingsan di pabrik," jawabnya seraya melepas sepatu.

"Dari tadi pagi kan ibu sudah bilang, minta ijin saja, tadi pagi kamu sudah kelihatan pucat, badanmu demam!" cetus Ayun, melepaskan lengan suaminya lalu bergerak mendekati Bayu untuk mengecek suhu badan putranya itu.

"Makanlah, lalu minum obat dan istirahat!" perintahnya lembut.

"Bayu sudah ada di rumah, Yun. Kamu sudah ada yang menemani. Aku pergi sekarang kalau gitu!" pamit Sadikin buru-buru menyambar tasnya.

"Tidak! Jangan pergi, Mas! Mas Dikin juga harus tetap di rumah hari ini! Jangan ada yang pergi keluar rumah. Bayu biar istirahat. Kita berdua menjaganya!" Ayun segera menyambar tas yang sudah dijinjing suaminya. Berjalan cepat menuju kamarnya dan melemparkan tas itu di atas ranjang.

"Hee, kamu itu kenapa sih? Aku ini harus segera berangkat. Aku ini mau kerja, Yun! Hari ini harus mengantar mangga ke Tegal! Besok pagi harus sudah sampai, kalau tidak bisa busuk di jalan!" sentak Sadikin tak sabar. Hatinya sudah benar-benar kesal atas sikap Ayun yang seperti anak kecil itu.

"Kamu tidak boleh pergi, Mas! Kalau kamu nekat pergi, aku khawatir kamu gak bisa pulang ke sini lagi!"

Sadikin terperangah mendengar ucapan Ayun yang seolah-olah merupakan ancaman baginya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah Ayun telah mengetahui sesuatu?

"Kamu itu kalau ngomong lama-lama kayak orang stress, Yun!" bentaknya sambil mendorong Ayun yang sudah mencengkeram lengannya lagi. Berusaha menahannya agar tak pergi.

Ayun yang tak siap langsung terjatuh menabrak bufet pendek tempat televisi.

Bayu langsung keluar kamar saat mendengar keributan. Melihat ibunya yang jatuh dan merintih kesakitan setelah menabrak bufet jati, Bayu langsung memburu dan menolong ibunya. Kemarahan yang sudah terpendam sekian lama pada ayahnya langsung memuncak melihat keadaan ibunya.

"Apa yang Bapak lakukan!" bentaknya seraya mendorong Sadikin penuh kemarahan setelah mendudukkan ibunya di kursi makan.

"Tanya ibu kamu! Seharian ini udah bikin jengkel! Disabar-sabarin gak bisa! Kelakuan kayak anak kecil saja!" balas Sadikin. Matanya melotot garang pada Bayu yang bersikap seolah menantangnya.

"Memangnya kenapa? Ibu kan cuma ingin Bapak tetap di rumah sehari ini saja! Baru kali ini saja kan, ibu tidak mengijinkan Bapak pergi?!" seru Bayu ngotot.

"Kalian pikir pekerjaanku main-main, hah! Apapun yang terjadi aku harus tetap pergi! Kalau gak segera berangkat dan sampai tujuan tepat waktu, bisa busuk semua nanti muatanku! Memangnya siapa yang mau ganti rugi?" sentak Sadikin emosi.

"Memangnya apa muatan truk Bapak sekarang?" tanya Bayu seolah menantang.

"Aku harus kirim mangga ke Tegal!"

"Oh, aku baru tahu kalau warung kopi Mbak Menik juga jadi gudang mangga sekarang!" sindir Bayu.

Kembali Sadikin terperangah, "kamu ketularan ibumu ternyata. Kalian berdua sama-sama stress!" gerutunya kesal.

"Gak usah mungkir, Pak! Aku tahu, sudah beberapa hari truk Bapak parkir di depan warung kopi Mbak Menik di daerah Kemasan! Aku yakin, saat Bapak gak pulang, Bapak juga sedang parkir di warung itu!" tuduh Bayu dengan nada mencemooh.

"BAYU! JANGAN KURANG AJAR KAMU!" hardik Sadikin. Spontan tangannya mendorong Bayu. Tapi Bayu tetap bertahan, malah balas mendorong ayahnya yang tengah murka.

"Bapak pikir Bayu gak tau apa-apa? Bayu bahkan tahu Bapak sudah menikah siri dengan Mbak Menik!" serang Bayu kian berani. Terdengar seruan kaget dari bibir Ayun. Bayu merasa menyesal telah kelepasan bicara. Tapi semua sudah terlanjur.

Sementara wajah Sadikin sudah memerah oleh amarah, sekaligus panik karena rahasia perselingkuhannya telah terbongkar oleh anaknya sendiri.

"BRENGSEK! DASAR ANAK KURANG AJAR!" Sadikin merangsek maju hendak meninju anaknya. Tetapi Bayu dengan sigap menahan tangan ayahnya.

"Mau mungkir gimana lagi, Pak? Dimas, adik bungsu Mbak Menik itu teman sekolahku. Aku bahkan sudah tau dari dulu kalau Bapak ada main dengan Mbak Menik. Foto pernikahan Bapak juga dipajang ruang tamu di rumah Dimas sejak kami kelas 12. Itulah sebabnya aku pilih kerja setelah lulus daripada kuliah!" dengus Bayu yang kian membuat Sadikin berang dan Ayun terperangah.

"Mas ...," rintih Ayun lirih. Ia sungguh tak menyangka atas apa yang ia dengar. Lelaki yang telah begitu tulus ia cintai telah berkhianat di belakangnya. Lelaki yang dengan tulus selalu ia doakan keselamatannya, ia percaya sepenuh hati telah mendustainya. Lelaki yang dengan setia telah ia bersamai selama lebih dari dua puluh tahun ternyata telah menyelingkuhinya.

"BOHONG!" sentak Sadikin panik melihat paras pucat Ayun.

"Itu benar, Bu! Kalau akhir-akhir ini jatah belanja ibu berkurang banyak, itu karena harus dibagi dengan Mbak Menik!" sembur Bayu dengan napas memburu.

"DIAM KAMU, BAYU!!" Dengan kalap Sadikin menerjang putranya.

Bayu yang mulai merasa pusing karena tekanan emosi di hatinya yang seolah telah naik ke ubun-ubun tak siap menerima serangan ayahnya.

Keduanya terjatuh dan berguling-guling saling serang. Beberapa perabot roboh dan berjatuhan terkena terjangan dua tubuh lelaki dewasa yang tengah berkelahi itu.

Usia Sadikin memang sudah tua. Tetapi postur tubuhnya yang tegap dan berisi cukup membuatnya mampu mengimbangi kekuatan fisik putranya yang mulai memasuki usia dewasa. Keduanya bergumul di lantai ruang tengah yang berukuran lumayan luas.

Jeritan Ayun tak mampu memisahkan keduanya. Karena dari awal Bayu memang sedang tidak sehat, dan tubuhnya yang lemas, beberapa menit berikutnya ia sudah tak berdaya melawan ayahnya. Apalagi kepalanya yang pusing membuat matanya berkunang-kunang dibawah sergapan ayahnya yang tampak kian beringas setelah melihat keadaan Bayu yang sudah lemas tak berdaya. Kalap dan emosi yang memuncak membuat Sadikin kian merapatkan cekikan tangannya di leher Bayu.

"SUDAH CUKUP! HENTIKAN, MAS!" jerit Ayun saat melihat Bayu yang mulai mengejang dengan mata melotot karena mulai kehabisan napas.

Tapi jeritan Ayun seolah tak sampai ke telinga Sadikin.

Tarikan tangan Ayun yang berusaha memisahkannya dari Bayu pun membuatnya tetap bergeming pada posisinya tubuhnya yang tengah menindih Bayu.

"LEPASKAN ANAKKU!" jerit Ayun kalap seraya merenggut asbak rokok dari atas bufet jati, lalu dengan sekuat tenaga menghantamkan asbak berbahan besi itu ke kepala Sadikin. Seketika tubuh Sadikin roboh bersamaan dengan darah yang mengucur deras dari kepalanya.

Suasana rumah yang semula ribut oleh bentakan-bentakan, jeritan serta suara benda-benda berat yang roboh oleh terjangan dua tubuh kekar yang tengah berkelahi mendadak senyap.

Bayu yang merasakan cengkeraman tangan di lehernya mengendur segera membebaskan dirinya dari kungkungan tubuh ayahnya yang roboh menyamping.

Lelaki yang tadi sudah menyerang dirinya dengan membabi buta itu telah roboh bersimbah darah. Diam tak bergerak, juga tak bernapas.

Sementara di dekat kakinya, Bayu melihat ibunya yang jatuh terduduk dengan pandangan kosong dan tangan yang masih menggenggam erat sebuah asbak besi yang biasa digunakan ayahnya untuk menampung abu rokok yang ia hisap.

Perlahan, tak ingin mengagetkan ibundanya, Bayu beringsut mendekat dan memeluk tubuh lemah Ayun yang menggigil dan berurai air mata.

Dari pintu dapur yang terbuka. Seekor burung gagak berwarna hitam tampak terbang rendah lalu bertengger di pokok pohon yang sudah ditebang Sadikin beberapa bulan sebelumnya.


SELESAI












Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)