Masukan nama pengguna
"Mbak Gita, kakek itu datang lagi," Binar berbisik ke telingaku dengan tatapan terpaku ke satu arah.
Aku yang masih sibuk mengeringkan cangkir-cangkir yang baru kucuci segera mengikuti arah pandangan Binar, partner dalam menjalankan usaha kedai kopi sejak tiga tahun lalu.
Kulihat seorang lelaki tua berjalan tertatih menuju meja yang berada paling dekat dengan pintu masuk kedai. Duduk diam tanpa memesan apapun.
"Biar aku yang menyiapkan kopinya," ujarku seraya menyerahkan lap yang kupegang pada Binar agar melanjutkan pekerjaanku. Melirik sepintas pada jam besar yang menempel di dinding. Pukul 15.35.
Beberapa hari ini, lelaki tua itu selalu datang ke kedai kopiku pada waktu yang hampir sama. Lalu sekitar pukul 16.30 seorang pemuda akan menjemput, dan membawanya pergi.
"Kopinya, Kek," sapaku lembut agar tak mengagetkannya yang masih tenggelam dalam lamunan. Kuletakkan secangkir kopi dan sepiring kecil potongan lapis Surabaya di atas meja.
"Terima kasih. Kuenya enak," ucapnya. Sebuah senyuman terlukis di wajahnya yang sudah dipenuhi keriput, namun di mataku, gurat ketampanan masih saja terlihat.
"Bagaimana dengan kopinya?" tanyaku memancing.
"Sangat nikmat. Aromanya membuatku terkenang pada seseorang. Sayang, aku tak mungkin dapat bertemu dengannya lagi," gumamnya sedih. "Untunglah aku menemukan tempat ini. Membuatku seperti pulang ke rumahku sendiri."
Aku tercenung, kepolosannya membuatku didera rasa bersalah, "boleh saya temani?" tawarku ragu.
"Duduklah! Sejak pertama datang ke sini, aku selalu berharap bisa duduk berdua dan berbicara denganmu," sahutnya mempersilahkan aku duduk di seberang.
Aku merasa sedikit kecewa karena sebenarnya aku sangat ingin duduk tepat di sampingnya. Seperti dulu.
Lima puluh tahun lalu, dia adalah pria mapan tertampan yang telah membuatku kepayang, namun mustahil untuk kudapatkan. Meskipun perbedaan usia kami sangatlah jauh. Lebih dari 30 tahun jarak usia kami waktu itu, namun entah mengapa paras wajah dan fisik lelaki itu tak menunjukkan bahwa usianya sudah hampir memasuki setengah abad.
Pesonanya sungguh tak terelakkan bagi gadis dusun berusia 16 tahun yang di mata lelaki itu hanyalah putri seorang pembantu di rumahnya yang megah.
Apa daya hatiku terlanjur jatuh, dan aku termasuk gadis keras kepala dan selalu berusaha dengan segala cara untuk dapat meraih apapun yang kumau. Dengan bantuan Kakek aku berhasil mendapatkan hatinya. Bahkan membuatnya tergila-gila dan terikat padaku yang pada akhirnya membuat kami bertekad untuk hidup bersama.
Tujuh tahun hidup dalam kebahagiaan bersamanya, aku terlihat kian dewasa dan dia tetap tak berubah. Baik fisik maupun paras wajahnya tetap sama seperti saat pertama aku berjumpa dengannya. Hal itu membuatku khawatir, kelak saat aku mulai menua dan ia tetap begitu-begitu saja, perasaannya padaku pasti akan berubah.
Atas desakanku, dengan polosnya ia pun bercerita tentang mustika panoman, sebuah ajimat yang menjadi perhiasan cincin yang tersemat di jarinya. Keserakahan menguasaiku, dengan tipu daya aku berhasil menguasai mustika itu dan meninggalkannya.
Puluhan tahun berlalu, tapi penampilan fisikku tak pernah berubah. Masih sama seperti saat aku berusia 23 tahun. Hanya saja, demi mengikuti perkembangan jaman penampilanku selalu modis dan up to date.
"Kamu mengingatkanku pada Inggit, istriku yang telah pergi membawa separuh hati dan kehidupanku," desahnya memaku tatapan pada wajahku.
Dengan senyuman gugup aku berpura-pura merapikan rambut yang baru sebulan lalu kucat dengan warna karamel, "Maafkan saya, semoga kemiripan saya tidak membuat kakek bersedih hati."
Lelaki tua itu tersenyum, mengalihkan pandangan jauh ke luar pintu kedai dengan ekspresi wajah tak tereja.
Sambil menyentuh mustika panoman yang kujadikan liontin di balik blouse yang kukenakan, aku bertekad untuk segera pergi jauh dari kota ini, menyerahkan kedai pada Binar dan memulai kehidupan baru lagi di tempat lain seperti sebelum-sebelumnya. Karena aku tidak mungkin tinggal dalam waktu lama di satu daerah, orang-orang di sekitarku akan curiga karena aku tidak akan pernah menua.
'Satu yang harus kamu tahu, Tuhan telah menghukum aku dengan dera kehampaan. Perasaan bahagia tak pernah dapat kutemukan lagi sepanjang hidupku, seperti kebahagiaanku saat bersamamu' batinku nelangsa seraya menatap tubuh rentanya.
SELESAI