Masukan nama pengguna
"Siapa di dalam?" seruan suara lelaki terdengar berbarengan dengan ketukan di pintu.
"Wulan, Mas Boy!" sahut gadis kuning langsat berparas manis yang sedang berdiri di depan wastafel seraya buru-buru merapatkan tali kimono mandinya, sebelum menuang sabun cair pembersih wajah ke telapak tangannya.
"Kamu sama siapa? Pintunya dikunci? Jangan lama-lama, ini sudah malam!" Suara yang dibuat-buat agar terdengar garang itu justru terasa aneh dan lucu di telinga Wulan.
"Gak dikunci kok, cuma diganjal aja. Aku masih bersihin muka," jawab Wulan malas tanpa mengalihkan pandangan. Matanya masih menyisakan kantuk karena tadi ia sempat ketiduran sepulang kerja sebelum dibangunkan untuk membersihkan diri.
Ia seolah tak perduli saat pintu berderit terbuka dan kepala lelaki yang ia sapa Mas Boy itu melongok mengawasinya lalu berseloroh, "jangan bercermin terlalu lama! Awas, nanti luntur cantikmu!"
Wulan hanya menjawab dengan tawa hambar selorohan mulut lemes Mas Boy. Ia bahkan tak mau repot-repot menoleh untuk memandang lawan bicaranya. Ia tak perduli pada apa yang lelaki itu lakukan kemudian.
Wulan menatap lurus ke depan, ke arah cermin antik yang tergantung di dinding tepat di atas wastafel. Bayangan wajah pucat dengan pandangan sendu itupun menatap balik ke arahnya. Wajah itu terlihat begitu galau. Aura gelap menyelimuti wajah manisnya.
Cermin tua oval dengan bingkai kayu berukir itu, meskipun warnanya sudah kekuningan, tetapi masih terlihat jernih karena selalu dibersihkan oleh Mas Boy -- pemilik gedung yang di sewa perusahaan tempat Wulan bekerja dan dijadikan mess karyawati kantor-- seorang lelaki berusia awal tiga puluhan yang selalu berbicara dengan suara halus dan sopan, kadang malah terkesan kemayu. Semua tahu bahwa Mas Boy memang agak-agak melambai.
Wulan mengangkat jemarinya untuk menyentuh bayangan gelap di sekitar bawah matanya yang terlihat agak bengkak sehabis menangis. Tentu saja bayangan dirinya di cermin mengikuti segala gerak geriknya. Semuanya berjalan sewajarnya. Meskipun adakalanya Wulan merasa ada sesuatu pada cermin itu. Pada saat pikiran itu muncul, debaran jantungnya mendadak kian terpacu seiring dengan bulu kuduk yang meremang perlahan.
Wulan menyelipkan rambut ke belakang telinga sebelum mulai menyapukan busa pembersih di telapak tangannya ke wajah. Rutinitas yang ia lakukan sebelum tidur malam, yaitu membersihkan wajahnya dari sisa kosmetik, sekaligus mengambil air wudu.
Masih dengan wajah yang basah oleh air basuhan bercampur air mata, Wulan masih saja berdiri di depan cermin dengan pikiran melayang nyalang.
Emosinya benar-benar kacau. Seminggu terakhir ini adalah hari-hari berat untuknya. Bukan hanya karena perubahan hormon jelang PMS, namun pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan Elisa, teman sekamarnya itu berakibat perang dingin yang membekukan.
Semua ini gara-gara Davin. Permintaan konyol atasannya di kantor, yang merupakan pacar Elisa itu, membuatnya terperangkap di posisi yang tak menyenangkan. Sekarang ia menyesal telah melibatkan diri pada keisengan sang atasan yang berakibat fatal.
Elisa yang biasanya sangat akrab dan perhatian padanya mendadak bersikap dingin dan selalu berusaha menghindarinya. Bukan itu saja, Elisa dan semua karyawati penghuni mess ini juga seolah menjauh dan memandang jijik padanya.
Ia tahu apa yang mereka pikirkan. Pada awalnya ia tak terlalu perduli, tapi lama-lama risih juga dengan tudingan teman-temannya. Sejak kemarin ia sudah bicara pada Davin agar mengijinkannya berterus terang dan menyelesaikan masalah dengan Elisa. Ia merasa sudah benar-benar tak tahan lagi menerima tatapan penuh tuduhan menjijikan itu, tetapi Davin meminta padanya untuk bersabar sampai tiba waktunya. Davin berjanji akan menyelesaikan semuanya besok malam.
"Heh, Wulan! Kenapa kamu diam saja kayak patung gitu? Jangan ngelamun di sembarang tempat! Kesambet setan baru tahu rasa kamu!" Suara aneh Mas Boy kembali menggema di tengah kesunyian ruang dan suasana malam. Kali ini terdengar lebih jelas dan dekat di telinganya.
"Huss... Mas Boy tuh kalau ngomong jangan asal nyeplos ya!" ketus Wulan gondok seraya berderap menuju pintu yang sudah sedikit terbuka. Tadi ia memang hanya mengganjal pintu itu dengan bongkah besi bekas potongan as roda mobil.
Tanpa ada yang menyadari, bayangan Wulan di cermin masih tetap berada di tempatnya dengan posisi menghadap lurus ke depan dan tidak mengikuti gerak-gerik tubuhnya.
Di dalam cermin, bayangan itu tampak menatap sosok aslinya dengan pandangan sedih yang dalam. Ekspresi wajahnya suram tanpa aura kehidupan. Cahaya matanya memudar ....
Mendadak Wulan merasakan ada telapak tangan berlapis latex tipis yang membekap mulut dan hidungnya sekaligus. Ia yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu berusaha melepaskan diri. Tapi ternyata penyerangnya jauh lebih kuat. Ia kelabakan karena sudah mulai kehabisan napas. Sementara penyerangnya berhasil menyeret tubuhnya yang mulai lemas, masuk lebih dalam ruangan yang kian suram.
Hingga tubuhnya terbanting dan membuat kepalanya terbentur keras lantai keramik lembab kamar mandi. Seketika matanya berkunang-kunang dan sebuah benda berat yang terasa hangat menindih bagian atas tubuhnya.
Selamatkan dirimu!
Wulan meronta dalam ketidakberdayaan. Ia mengandalkan tenaga terakhir yang tersisa untuk memberontak. Saat mulutnya terbebas dari bekapan dan ia siap berteriak, satu hantaman keras benda sedingin es yang terasa menyengat menerjang kepalanya. Lalu semua mendadak gulita.
( Burung-burung berdendang mengabarkan kisah tentang cermin berhantu di dalam toilet )
Wulan tersentak, ia merasa seolah terlepas dari tarikan kuat tangan raksasa tanpa wujud pada ruang hampa yang mencoba menariknya kedalam lubang gelap tanpa dasar.
Perlahan ia bangkit dan mulai melangkah keluar. Sesaat sebelum mencapai pintu, seolah ada yang mengingatkannya pada cermin yang menempel di atas wastafel, sehingga iapun menengok ke belakang.
Cermin itu tampak begitu jernih dan kosong. Tak nampak ada bayangan apapun di sana. Tak ada bayangan dinding dan pintu, termasuk bayangan dirinya yang saat itu berada tak lebih dari dua meter di depan cermin.
Cermin itu benar-benar tidak merefleksikan bayangan benda apapun yang ada di depannya.
Wulan memandang linglung ke arah cermin. Beberapa kali mengucek matanya berpikir memang ada yang salah pada indera penglihatannya.
Akhirnya, perlahan matanya bisa menangkap gambaran samar bayangan dirinya. Tapi bayangan itu tidak merefleksikan gestur tubuhnya yang saat itu tengah menghadap ke pintu, dan hanya lehernya saja yang bergerak menoleh ke arah cermin di belakangnya.
Di dalam cermin, terlihat bayangan dirinya tengah berdiri tegak dengan kepala lurus menghadap ke depan. Memandang dengan tatapan kosong serta bibir mengulas senyum mengambang tanpa makna.
Sesaat kemudian lelehan darah segar mulai mengaliri wajah dalam cermin. Mengucur dari rekahan luka di kepalanya. Sementara tarikan bibir itu kian mengembang menyempurnakan tampilan yang mengerikan.
Aaahhhh!!!
Jeritan ngeri dari mulut Wulan justru menjerumuskannya ke dalam jurang kelam tak berdasar.
***
Burung-burung berdendang, melaungkan dongengan malam, tentang cermin tua yang menjadi penjara bagi arwah-arwah yang masih berusaha mencari jawaban.
Wulan tersadar dalam kebingungan. Tubuhnya terasa begitu ringan. Seolah tanpa bobot. Hal itu seolah membuat langkahnya terasa melayang. Ia bahkan tak dapat merasakan kakinya memijak lantai dingin kamar mandi.
Perlahan ia bergerak menjauhi kamar mandi berukuran besar yang terbagi menjadi 2 kamar mandi sekaligus toilet berupa bilik sempit berjejer berukuran 1 setengah meter persegi. Serta 1 ruangan yang sedikit lebih luas tempat Mas Boy menaruh peralatan kerjanya, yaitu berbagai jenis alat dan cairan pembersih ruangan. Di salah satu sisi ruangan itu terdapat bak wastafel yang terbuat dari batu pualam yang menyatu dengan meja persegi dari bahan yang sama berikut cermin yang menempel di dinding.
Wulan melangkah keluar dari pintu yang kini sudah terbuka lebar. Lalu bergegas menyusuri lorong sempit yang selalu sepi, remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan dari bohlam dengan watt kecil berwarna kekuningan.
Untuk menuju kamarnya, ia harus melewati gudang, dapur yang jarang digunakan penghuni mess karena peralatannya kurang memadai. Serta satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang pribadi Mas Boy.
Gerakan Wulan terhenti saat pandangannya tertuju pada dua orang wanita muda yang juga tengah berjalan beriringan dengan langkah-langkah cepat menuju ke arahnya.
Itu adalah Elisa, wanita cantik berkulit terang dengan mata sipit yang menjabat sebagai kepala keuangan. Satunya lagi adalah Marini, asisten Elisa di kantor tempat mereka bekerja. Di mess ini, mereka bertiga tinggal dalam satu kamar.
Wulan bersiap untuk menyapa, namun kedua temannya itu mengabaikan kehadirannya. Keduanya berjalan melewatinya, bahkan tanpa sedikitpun menoleh padanya. Pandangan mata Elisa yang menatap lurus ke depan seolah menyimpan bara yang siap menghanguskan apapun yang ada di depannya.
Wulan tak tahan lagi, ia tak lagi perduli pada permintaan Davin untuk bersabar hingga besok malam. Ia bertekad untuk menyelesaikan masalah yang ada pada malam hari ini juga. Sangat tidak nyaman jika kita hidup bersama dalam satu ruangan, tetapi saling mengabaikan. Ia segera berbalik membuntuti Elisa untuk berbicara.
"Pergilah ke kamar mandi! Aku mau ke dapur bikin kopi!" perintah Elisa pada Marini sebelum berbelok ke arah dapur.
Tanpa membuang waktu dan menghiraukan sekitarnya Elisa segera bergerak mendekati kompor. Menjerang air dan menyiapkan dua set cangkir.
Wulan yang berada di dekatnya tak mendapat sedikitpun perhatian. Karena Elisa tak mengacuhkannya, Wulan hanya terdiam menunggu sambil memperhatikan semua gerak-geriknya. Ia ingin berbicara, tapi entah mengapa di hadapan Elisa yang terlihat murka membuat mulutnya terbungkam.
Tangan Elisa sangat cekatan mengeluarkan dua bungkus minuman sachet dari saku bajunya. Membuka dan menuangkan isinya ke masing-masing cangkir yang sudah ia siapkan, lalu mengguyurnya dengan air mendidih. Pada salah satu cangkir yang berisi cairan berwarna hitam Elisa menambahkan satu tablet berwarna biru sebelum mengaduknya.
Dua minuman panas segera saja tercipta dengan asap mengepul menguarkan perpaduan aroma susu, kopi dan rempah-rempah.
Wulan memperhatikan kemasan kosong minuman yang barusan diracik Elis. Satu bungkus kemasan berwarna krem dengan gambar secangkir susu dan bonggol jahe, satu lagi bungkus kemasan berwarna hitam dengan gambar binaragawan, simbol lelaki dan ginseng. Tulisan KOPI JANTAN tertera sangat jelas.
***
"Duluan saja! Aku mau ngantar kopi ini sebentar ke Mas Boy. Tadi dia bilang lagi gak enak badan." ujar Elisa seraya memberi isyarat pada Marini agar segera pergi, saat keduanya berada di depan pintu kamar Mas Boy.
Tanpa membantah Marini segera berlalu meninggalkan teman sekantornya itu.
Sementara Wulan yang merasa seolah menjadi yang tak terlihat, karena kehadirannya tak dihiraukan kedua temannya itu, masih berdiam diri di depan pintu. Mengawasi Elisa yang mendatangi Mas Boy dan menyerahkan cangkir berisi seduhan kopi.
"Ngopi dulu, Mas Boy! Ini spesial sesuai pesanan. kamu gak bakal melehoy lagi kalau sudah minum ini. Dijamin kamu bisa semacho Davin!"
"Bahaya gak?" tanya Boy antusias.
"Gaklah! tapi besok-besok kalau mau lagi ya harus bayar. Sekarang gratis dulu. Anggap aja sebagai tester!" Elisa mengedipkan sebelah matanya dan mengulas senyum menggoda.
"Baiklah. Aku cobain dulu deh. Moga-moga aja ngefek!" Dengan penuh semangat Mas Boy menyambut cangkir kopi yang disodorkan Elis.
"Nih, sekalian aku pinjami majalah asik terbitan luar negri. Biar tambah cepet reaksi kopinya!" Elis mengeluarkan buku tipis dari balik bajunya dan melemparkannya di atas bantal. "Tapi jangan dipinjamkan siapa-siapa." imbuhnya sebelum beranjak keluar.
"Lis, bilangin yang lain, kalau mau ke toilet buruan! Bentar lagi toilet mau aku kunci karena mau di vixal. Lantai udah licin lumutan!" seru Mas Boy sebelum mulai menyeruput kopi racikan Elisa
***
Wulan masih membuntuti langkah Elisa yang tetap mengabaikan dirinya. Ingin rasanya ia menarik rambut Elisa, memaksa agar mau memandangnya. Tapi itu pasti akan membuat masalahnya dengan Elisa kian memanas. Padahal ia ingin sekali menyelesaikan masalah dengan cara baik-baik dan menyudahi perang dingin antara mereka.
Ia ingin meyakinkan bahwa apa yang Elisa pikirkan tentangnya itu tidak benar.
Tetapi entah mengapa sejak tadi ia tak mampu bersuara. Ia hanya diam sambil terus saja membuntuti langkah Elisa seperti bayangan. Mengawasi segala tindakan Elisa tanpa kata dan tanya.
Tiba di dalam kamar suasana sudah senyap. Suara halus dengkuran terdengar lirih dari atas dipan susun yang diletakkan di pojok ruang. Sementara satu dipan berukuran paling kecil di letakkan di sisi lain dengan lemari pendek sebagai pemisahnya.
Elisa berjalan perlahan menuju dipan susun yang berada di pojok. Itu adalah tempat tidur Wulan dan Marini. Marini menempati ranjang di bawah, sedangkan Wulan di atas.
Masih ada 6 orang lagi penghuni mess karyawati ini. Semua menempati kamar-kamar yang berada di lantai atas. Bangunan milik Mas Boy ini memiliki 2 lantai. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, 1 kamar utama yang ditempati Wulan, Elisa dan Marini, dapur, ruang khusus yang ditempati Mas Boy, serta kamar mandi.
Sedang di atas terdapat 2 kamar tidur yang masing-masing di lengkapi kamar mandi, ruang bebas serta dek untuk menjemur cucian.
Wulan melihat Elisa mendekati Marini yang sudah terbaring di ranjangnya. "Bangunkan dia! Bilang suruh buruan ambil wudu. Dia belum salat Isya' kan? Bentar lagi kamar mandi mau dibersihkan Mas Boy!" perintahnya sebelum beranjak ke ranjangnya sendiri.
Sigap Marini bangkit dan memijakkan kakinya ke pinggiran ranjang, melongok ke tempat tidur yang biasa Wulan tempati. Namun Wulan melihat ada sosok lain yang kini sedang terbaring di ranjangnya. Wulan bertanya-tanya siapa gerangan yang sudah mendahuluinya tidur di sana?
Marini menggoyang-goyang tubuh yang terlihat tengah tertidur pulas. "Wulan! Hee, Wulan! bangun! Kamu sudah Isya' belum?"
Tak ada sahutan. Kembali Marini menggoyang, "Wulan, cepetan bangun! Mas Boy bilang dia mau kunci toiletnya karena mau dibersihkan. Kalau kamu gak bangun sekarang kamu gak bisa ambil wudu!"
Perlahan sosok itu menggeliat dan bangkit.
Wulan yang masih mematung di dekat pintu mengawasi segala tingkah Elisa jadi terpana saat menyadari bahwa sosok yang sedang dibangunkan Elisa adalah dirinya sendiri.
***
Masih dengan benak diliputi kebingungan, Wulan mengikuti dirinya sendiri yang berjalan sempoyongan karena masih mengantuk menuju ke arah kamar mandi. Sebelah tangan menenteng wadah perlengkapan mandi, sebelahnya lagi menenteng kimono mandi.
Dari pintu kamar yang terbuka lebar, ia sempat memperhatikan Mas Boy yang tengah mengawasinya dengan pandangan mata nyalang dan tangan yang sibuk membelai dirinya sendiri.
Di atas meja kecil di samping ranjang cangkir kopi pemberian Elisa tampak terguling di atas tatakannya yang kotor oleh ceceran ampas kopi.
Bukan! Sudah pasti bukan pada dirinya tatapan mata Mas Boy terarah. Mas Boy mengunci pandangan pada sosok yang berjalan sempoyongan di depannya. Akhirnya, sekarang ia mulai tak yakin pada keberadaannya. Setelah sedari tadi orang-orang yang ia kenal seolah tidak menyadari kehadirannya, apa mungkin Mas Boy bisa 'melihatnya'?
Sementara sosok Wulan yang berada di depannya terlihat begitu nyata. Lalu siapakah dirinya?
Jarum jam yang tak berhenti berputar, menit demi menit berjalan. Dan segala kejadian seolah sesuai dengan cerita hidupnya beberapa saat lalu, seolah menjadi kisah tertulis yang pernah ia baca sebelumnya.
Wulan melihat dirinya yang berdiri di depan cermin. Tampak tenggelam pada dunianya sendiri hingga tak menyadari bahaya yang sedang mengintainya.
Iblis yang menumpang di raga Mas Boy tengah mengawasinya dengan penuh minat. Mendekat tanpa suara dan bersiap menerkamnya tubuhnya.
Lelaki yang biasanya tak terlihat kokoh itu kini tampil berbeda. Tingkah 'gemulai' yang biasa melekat di kesehariannya, entah telah ia tanggalkan di mana. Mas Boy kini terlihat seperti pemuja wanita.
Wulan ingin berteriak memperingatkan dirinya sendiri. Tetapi seolah ada sekat tak kasat mata yang membuatnya berjarak dan sulit meraih sosok yang ia yakini sebagai dirinya.
Tepat di depan matanya. Seolah dipaksa untuk menjadi pemirsa tanpa daya, Wulan melihat bagaimana Mas Boy membekap hampir seluruh wajahnya. Dengan sarung tangan tipis berbahan karet yang biasa dipakai saat membersihkan lantai kamar mandi menggunakan cairan pembersih kerak porselen melapisi telapak tangan hingga ke lengan.
Menyerangnya dengan brutal. Menyeret lalu membanting serta berusaha menodainya. Hingga pada saat dirinya yang nyata, nyaris dapat melepaskan diri dari bekapan dan siap berteriak, dengan gugup Mas Boy meraih besi potongan as roda pengganjal pintu dan menghantamkan sekuat tenaga ke batok kepalanya.
Wulan terbelalak menyaksikan kengerian yang telah menimpa dirinya. Waktu seolah terhenti, terbalut senyap yang menggigit. Mematung di depan jasadnya sendiri.
***
Jeritan ngeri memecah keheningan malam. Membangunkan seluruh penghuni gedung yang sudah terlelap. Terutama yang menempati kamar di lantai dasar. Beberapa menit berikutnya beberapa sosok tubuh berjejalan di sepanjang lorong kamar mandi.
Aroma cairan kental pembersih lantai yang menggenang, tumpah dari botol yang terguling tak jauh dari kaki Wulan yang tergeletak. Membaur dengan aroma anyir darah segar yang masih mengucur deras.
Marini membeku di depan pintu kamar mandi. Tatapannya terpaku pada sosok Wulan yang terkapar di lantai basah. Sementara tak jauh dari pintu, terlihat Mas Boy yang masih berteriak- teriak histeris. Kedua belah telapak tangan berlapis latex tipis menutup rapat wajahnya yang sepucat kertas.
Elisa segera bertindak. Ia mendekati tubuh Wulan, berhenti sejenak untuk memeriksa, lalu segera berbalik ke arah pemilik gedung yang masih histeris ketakutan.
"Sssshhh, tenanglah Mas, ini kecelakaan! Kita akan segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Tenang saja!" bujuknya lembut. Terselip nada mengintimidasi pada suaranya. Namun pandangan matanya menatap lega pada sarung tangan karet yang masih menyelubungi tangan gemetar Mas Boy.
"Kalian cari bantuan cepat! Sepertinya dia tadi kepleset dan kepalanya terbentur ganjal pintu! Rin, telpon satpam kantor sekarang! Bilang ada kecelakaan di mess!" Serunya memberi perintah. Marini segera berlari menuju ruang tengah dimana pesawat telpon berada.
Di lorong masih terdengar suara derap langkah disertai dengung tanya dari penghuni lain yang baru turun dari lantai atas
"Jangan banyak bicara! Nanti, bilang saja kalau Mas Boy akan membersihkan kamar mandi waktu menemukan Wulan tergeletak di sini, paham?" bisik Elisa tajam. Lelaki itu hanya mengangguk lemah. "Bilang saja otak Mas langsung nge-blank waktu melihat keadaan Wulan. Lainnya biar aku yang urus. Ingat! Jangan ngomong apa-apa!" imbuhnya tegas.
"Ada apa? Siapa itu yang jatuh? Apa dia masih hidup? Kenapa darahnya banyak sekali?" berbagai pertanyaan terlontar. Tak ada jawaban pasti. Sementara lelaki yang menjadi saksi hanya bungkam, gemetar memandang kosong ke arah tubuh tergeletak bersimbah darah yang masih mengucur dari kepala.
"Hei, kalian jangan diam saja! Cepat cari bantuan! Dia harus segera dibawa ke rumah sakit sebelum kehabisan darah!" komando Elisa lantang yang berhasil membuat kerumunan bubar.
Sebenarnya Ia tahu bahwa Wulan sudah tak lagi bernyawa. Tetapi tentu saja, ia harus bisa memanfaatkan segala kesempatan yang ada.
"Jangan pergi semua! Satu dua orang tetap di sini sampai bantuan datang. Aku akan bawa Mas Boy ke kamarnya untuk menenangkan diri!" serunya lagi seraya memapah pemilik gedung yang terlihat masih lemas menuju ke kamarnya
Di sudut ruangan yang paling suram di bawah bayangan dinding dingin kamar mandi, Wulan menyaksikan segalanya tanpa mampu berbuat apa-apa.
Begitu tanpa arti nilai kehidupannya di mata Elisa. Kecemburuan telah membutakan mata hati gadis bermata sipit itu. Seorang Davin telah menjadi candu dan membuat Elisa tak mampu berpikir jernih dan membunuh nurani.
***
"Tolong kamu bereskan semua barang-barang pribadi Wulan, Lis! Aku akan mengurus yang lain di kantor!" perintah Davin kepada Elisa dari sambungan telepon.
"Kenapa kamu? Bukankah seharusnya itu dilakukan oleh Pak Atma sebagai Manager Personalia?" tanya Elisa tanpa bisa menyembunyikan nada tak suka pada suaranya.
"Karena Wulan itu anak buahku, aku ditugaskan menjadi perwakilan perusahaan untuk mengantar jenazah Wulan serta menyerahkan uang duka. Jadi sekarang tolong bantu aku untuk mengemasi barang-barangnya, biar bisa sekalian dikembalikan kepada keluarga Wulan!" jelas Davin cepat.
"Oh, begitu! Baiklah akan langsung aku kerjakan sekarang. Semua barangnya akan siap saat kamu datang!" sahut Elisa dingin.
"Kamu masih marah padaku, Lis?" tanya Davin di seberang.
What? Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu, setelah apa yang sudah dilakukannya? Dasar tak punya perasaan! Maki Elisa dalam hati.
"Menurutmu?"
"Tolong maafkan Wulan, Lis," kembali terdengar suara Davin yang menyiratkan kesedihan.
"Bukankah ini sudah terlambat? Wulan sudah gak ada lagi, Vin!" geram Elisa.
"Yah, ini sangat menyedihkan. Sebenarnya kemarin dia bilang akan mengatakan semuanya padamu, sekaligus minta maaf ... aku melarangnya ...."
"Kamu benar-benar tak punya perasaan!" Akhirnya makian yang sejak tadi hanya tersimpan dalam hati berhasil lolos juga dari bibir Elisa.
"Aku juga merasa bersalah pada Wulan, Lis! Aku sedih dan juga menyesal!'
Hadeeeh! Ngomong apa dia? Menyesal dan sedih untuk Wulan yang baru seminggu ini ia dekati? Bagaimana dengan dirinya? Hubungan istimewanya dengan Davin tidak bisa dibilang sebentar saja. Kisah yang ia ciptakan berdua dengan Davin sudah berjalan hampir dua tahun, atau mungkin lebih. Entahlah, Elisa sungguh tak ingin mengenangnya.
Davin sudah menorehkan luka begitu dalam di hatinya. Ia benci pada Davin dan pengkhianatan. Ia benci pada Wulan yang tak menghargai hubungan pertemanan. Ia benci karena terlalu cinta yang akhirnya membuatnya sangat terluka.
"Kamu masih di sana, Lis?" teguran lembut Davin mengusik lamunan Elisa.
"Aku akan mengerjakan apa yang kamu minta!" pungkas Elisa berusaha menutup pembicaraan dengan orang yang telah membuatnya kehilangan jati diri.
"Lis, maafkan aku!" ujar Davin penuh permohonan.
Ah, akhirnya lelaki tak berperasaan itu menyatakan juga apa yang seharusnya dari kemarin-kemarin ia ungkapkan.
"Untuk apa?" sergah Elisa dengan nada membara.
"Akan aku jelaskan semuanya, setelah aku kembali dari rumah duka. Aku tidak bisa menjelaskan hanya lewat telpon saja. Kita akan bertemu dan berbicara. Setelah aku selesai mengurus semua masalah ini. Mungkin aku baru akan kembali nanti malam atau besok pagi, setelah mengikuti prosesi pemakaman Wulan," pamit Davin.
Keheningan tercipta untuk beberapa saat, hingga Elisa mengingat sesuatu ....
"Oh ya Vin, apa akan ada polisi yang datang? Menyelidiki kasus kecelakaan ini?" tanya Elisa ragu-ragu. Bagaimanapun juga, ia tak terlalu percaya pada Boy, melihat ekspresi tertekan dan ketakutan yang lelaki itu perlihatkan pada raut wajahnya.
Kalau sampai Boy membuka mulut dan mengungkapkan semuanya, sudah pasti ia juga akan terseret dalam masalah besar ini. Ia tahu pasti bahwa kejadian itu bukanlah sebuah kecelakaan seperti yang ia gembar-gemborkan. Itu adalah tindakan kekerasan yang berujung kematian. Bahkan bisa dibilang kalau kejadian yang menimpa Wulan adalah kasus pembunuhan.
"Perusahaan tidak ingin ada masalah baru. Jadi lebih memilih memberikan uang duka dengan jumlah yang lumayan besar untuk keluarga Wulan, daripada berurusan dengan polisi!" papar Davin lugas.
"Hmm, baiklah kalau begitu. Aku akan segera membereskan barang-barang Wulan. Dalam setengah jam semua akan beres!" janji Elisa berusaha menutupi kelegaan di hatinya.
"Lis, ada bingkisan diantara barang-barang Wulan. Sisihkan bingkisan itu untukku. Mmm maksudku, jangan satukan bingkisan itu dengan barang-barang lain yang akan kita kirim ke keluarganya!" pinta Davin.
"Lalu apa yang harus kukatakan pada Marini jika ia tahu aku menyisihkan bingkisan itu? Yang ia tahu bingkisan itu milik Wulan."
"Katakan saja bahwa bingkisan itu adalah milikku yang aku titipkan pada Wulan!" tegas Davin sebelum menutup pembicaraan.
"Vin, apakah bingkisan yang kamu maksud itu sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu?" tanya Elisa memastikan.
"Ya! Kertas dan pita besar berwarna ungu tua!" tegas Davin dan sambungan pun terputus.
Ingatan Elisa kembali pada satu malam saat Wulan pulang dari acara jalan-jalan bersama seorang pria. Wulan membawa sebuah kotak besar diantara barang-barang belanjaannya. Secara mencurigakan Wulan berusaha menyembunyikan perihal kotak itu dari Elisa dan Marini, teman sekamarnya. Sementara pada saat yang sama, Elisa mendapat laporan dari satpam perusahaan bahwa Davinlah yang tadi pergi bersama dengan Wulan.
***
Di depan cermin Elisa memperhatikan bayangan dirinya yang mengenakan lingerie satin berwarna ungu tua. Lingerie dengan warna yang membuat kulit tubuhnya terlihat kian cemerlang.
Di atas meja wastafel tergeletak kotak kado yang sudah terbuka. Isi didalamnya tinggal beberapa lembar kertas tipis dan sebuah kotak kecil berlapis beludru warna merah. Tadinya, kotak kado itu berisi set lingerie yang kini ia kenakan.
Perlahan tangannya meraih kotak beludru berukuran kecil yang tergeletak di dalam kotak kado yang baru saja dibongkarnya. Seuntai kalung terbuat dari emas putih dengan liontin sederhana berbentuk satu huruf inisial namanya dengan sebutir kecil permata berkilauan sebagai pemanisnya, tampak melingkari bantalan yang ada di dalam kotak beludru itu.
Dengan tangan gemetar Elisa melingkarkan kalung itu di leher jenjangnya. Tampak begitu pas dan mewah. Tak terlalu panjang menjuntai, ataupun melingkari ketat lehernya. Kalung berliontin huruf E itu terlihat begitu manis menghiasi lehernya. Liontin sederhana namun manis jatuh tepat diatas belahan dadanya. Tampak kontras dengan warna lingerie ungu tua yang ia kenakan.
Elisa terpukau selama beberapa saat. Memandang pantulan dirinya yang tampak mempesona dari cermin antik di depannya.
'Bingkisan itu sebenarnya memang kado spesial untukmu. Tadinya aku ingin memberikannya sebagai kejutan di hari jadi kita yang ke 2. Karena ingin memberikan yang istimewa, aku meminta bantuan Wulan untuk memilihkannya. Kupikir, sebagai wanita dia pasti lebih tahu hadiah apa yang biasanya diidamkan seorang wanita dari pasangannya'. Ucap Davin saat menemuinya sore tadi.
'Aku juga meminta Wulan untuk merahasiakan tentang kado itu. Aku tidak yakin kamu ingat tentang hari jadi kita, karena kamu tidak pernah membicarakan ataupun sekedar memberi kode padaku. Aku ingin memberi kejutan istimewa padamu. Sayang semua itu tidak terlaksana sesuai rencana'. Jelas Davin lagi, sementara ia hanya terdiam menunggu dengan perasaan yang mulai tak karuan. Seolah ia sedang menanti ketukan palu hakim yang akan memvonisnya.
'Berpura-pura mendekati Wulan itu juga salah satu kejutan yang aku rencanakan. Aku bahkan menyuruh satpam untuk memanas-manasi kamu'.
Davin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
'Entahlah Lis, mendengar laporan Wulan yang mengatakan bahwa kamu menunjukkan tanda-tanda kemarahan padanya membuatku bahagia dan yakin bahwa kamu sedang cemburu padanya. Itu artinya kamu memang mencintaiku. Tapi, sekarang tiba-tiba ada rasa bersalah pada Wulan. Aku menyesal telah melibatkan Wulan pada permainan konyol ini. Pada awalnya dia sudah menolak, tapi aku memaksanya. Mana aku tahu kalau takdir membuat semua rencana yang sudah ku susun dengan Wulan menjadi berantakan karena kecelakaan yang merenggut nyawanya itu. Seharusnya kami berdua akan mengakhiri sekaligus mengakui semua sandiwara itu tepat di malam perayaan hari jadi kita. Sekaligus menyerahkan kado ini untukmu. Kamu harus memaafkan aku dan Wulan, Lis. Aku sangat menyesal. Wulan sebenarnya tidak bersalah. Aku yang sudah memaksanya!
Pengakuan Davin tadi sore telah menghancurkan perasaannya. Lama ia termangu tanpa mampu berkata-kata. Rasa berdosa langsung menghantuinya.
Sekali lagi Elisa memperhatikan bayangan dirinya di dalam cermin. Apapun yang menjadi pilihan Wulan untuknya memang istimewa. Seandainya ...
Yah, seandainya saat ini Wulan masih bersamanya, ia akan berlari menemui gadis itu, menghujaninya dengan ungkapan terima kasih tak terhingga karena sudah memilihkan yang terbaik dan pasti diimpikan tiap wanita.
Tapi Wulan sudah tiada. Ada andil besar dari dirinya atas hilangnya nyawa Wulan dengan paksa.
Menyesal? Sudah pasti rasa sesal itu ada. Tetapi semua sudah terjadi. Elisa menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali. Ia bertekad untuk menghapus jejak dosa dibenaknya, sekaligus meyakinkan Boy agar tetap bisa menjaga mulutnya. Toh mereka berdua sama-sama tidak ingin berakhir di penjara.
Elisa segera melapisi lingerie yang dikenakannya dengan kimono mandi. Lalu membereskan kardus dan sisa-sisa pembungkusnya berniat membuang di tempat sampah besar yang ada di samping pintu kamar mandi. Lalu segera berbalik dan tak lagi menoleh ke belakang, berjalan keluar untuk kembali ke kamarnya.
Di dalam cermin, samar-samar terlihat bayangan menyerupai dirinya yang tengah melotot dengan lidah terjulur. Selarik kain satin berwarna ungu tua tampak membelit ketat leher jenjangnya.
SELESAI
❤️❤️❤️