Masukan nama pengguna
Angin pegunungan bertiup dingin di atas Benteng Kelam. Di sana, seorang gadis muda duduk dalam diam di dalam sangkar besi yang tergantung di tengah aula batu. Namanya Ayra, putri dari klan musuh yang baru saja ditaklukkan oleh Kekaisaran Daramura.
Hari ini, dia akan dihadapkan pada Upacara Penyatuan Kabut—sebuah ritus kuno yang dipercaya bisa menyatukan roh penjaga kerajaan dengan darah musuh, demi stabilitas tahta. Tapi mereka tidak tahu: darah Ayra bukan darah biasa. Ia membawa sumpah leluhur dari tanah yang telah mereka hancurkan.
Jenderal Retsu Han, panglima tertinggi Kekaisaran Daramura, menatap Ayra dari tangga batu. Ia mengenakan baju zirah hitam bertanda naga, simbol kuasa dan kehancuran. Tapi sorot matanya tak setegas tombaknya. Dalam benaknya, ia mengenang ketika masih kecil, bagaimana ayahnya seorang samurai pengkhianat dipancung karena menolak ikut dalam pembantaian klan Ayra sepuluh tahun lalu.
"Kau tahu kenapa kau tak dibunuh di medan perang?" tanya Retsu perlahan.
Ayra tak menjawab. Dia hanya menunduk, rambut hitamnya menutupi luka di pelipis. Namun bibirnya tersenyum tipis.
"Karena mereka ingin meminum darahku dan merasa jadi dewa," katanya pelan.
Para pendeta kerajaan mulai melantunkan mantra. Kabut biru mulai merayap dari lubang-lubang di lantai. Itu bukan kabut biasa, tapi kabut roh di mana arwah para prajurit yang mati tanpa pemakaman akan merasuk dalam tubuh siapa pun yang terikat dalam upacara.
Tapi saat kabut menyentuh kulit Ayra, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kabut itu menyusut, berbalik arah, seperti takut padanya. Para pendeta terdiam. Retsu turun tangga, matanya melebar.
"Apa kau...?"
Ayra membuka mata. Warna matanya berubah keperakan. Satu per satu roh dalam kabut mulai menjerit.
"Aku bukan sekadar putri klan Varan. Aku adalah segel terakhir. Leluhurku membuat perjanjian dengan para roh bahwa darah kami akan menjadi penyeimbang antara dunia orang hidup dan mati."
Langit di atas benteng berubah warna. Petir menyambar altar. Batu-batu bergetar.
Para pendeta panik, melarikan diri. Tapi Retsu berdiri diam, tubuhnya gemetar.
"Aku yang memimpin penaklukan klanmu," katanya lirih.
Ayra memejamkan mata. "Dan aku akan mengakhiri dendam ini. Tapi bukan dengan membunuhmu."
Ia menyentuh lantai dengan telapak tangan, dan dari situ keluar sosok-sosok bayangan roh-roh klan Varan yang terbunuh tanpa nama. Mereka tidak menyerang. Mereka berlutut. Memanggil Ayra sebagai "Titisan Lembah Tertinggi."
Ayra memecahkan sangkarnya sendiri dengan sihir darah. Kabut kembali diam. Hening. Ia berdiri di hadapan Retsu, lebih tinggi dari sosoknya yang tadi tampak seperti tawanan.
"Mulai hari ini, tahta Daramura akan tetap berdiri. Tapi di atas perjanjian baru. Darah bukan untuk ditumpahkan, tapi untuk menebus."
Retsu menjatuhkan tombaknya. Di hadapan semua yang masih hidup, ia berlutut.
"Aku akan jadi pedangmu. Lindungi kami... bahkan dari diri kami sendiri."
Lima tahun kemudian, Ayra dikenal sebagai Permaisuri Kabut, pemimpin spiritual dan politik yang membawa damai antar suku, dengan kekuatan untuk berkomunikasi dengan alam dan roh. Namun perdamaian itu rapuh. Di kejauhan, kerajaan utara bersiap menantang kekuasaan barunya, karena mereka menganggap kekuatan roh adalah bentuk pengkhianatan terhadap para dewa langit.
Di malam sunyi, Ayra berdiri di balkon, menatap kabut yang kini setia padanya.
"Damai tidak diwariskan," bisiknya. "Damai harus dipertahankan... setiap malam."