Flash
Disukai
3
Dilihat
4,157
Bidadari dan Puspawangi
Romantis

Kekembangan punya amrik-wangi sendiri yang sejati. Bidadari dan Puspawangi menyadari dengan benar-benar kesejatian tersebut. Ketika lelakian dalam birahi kaum Adam lebih memilih menjadi kumbang dan perempuan-perempuan di kolongan langit ini dikembang-kembangkan oleh imajinasi mereka sendiri. Bidadari dan Puspawangi pun mengutuk mata para pujangga yang tak menidurkan mereka di jambangan atau pun di taman, sebagaimana kekembangan sejati yang memiliki amrik-wangi sendiri.

Bidadari, perempuan yang menulis lidah langit dengan kemanjaan berwarna ungu, mengutip derai tawa pohon Pinus dengan untaian kekata lembut, hingga hilangkan sadarian banyak lelaki. Bidadari lebih suka menyebutnya sebagai kepolosan yang tanpa inginan lebih. Di mata dada dan hati Bidadari, dirinya hanya ingin menjadi perempuan sebagaimana yang diinginkan hatinya.

Sedangkan Puspawangi, juga perempuan yang menulis lidah langit dengan kemanjaan berwarna ungu, juga mengutip derai tawa pohon Pinus dengan untaian kekata lembut, hingga hilangkan sadarian banyak lelaki juga. Puspawangi juga lebih suka menyebutnya sebagai kepolosan yang tanpa inginan lebih. Di mata dada dan hati Puspawangi, dirinya hanya ingin menjadi perempuan sebagaimana yang diinginkan hatinya.

“Aku pernah jatuh hati padamu, Dananjaya, kejatuhan hati tak berawal dan tak berujung. Sayang, kau tak bermata elang. Dananjaya yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut menjurai ternyata tak sadari kejatuhan hati itu,” pesan singkat Bidadari kepadaku saat kupatungkan puja pada seorang perempuan yang bukan Puspawangi.

Tak ada sahut dari bibirku, bibir Dananjaya yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut menjurai. Sebab aku begitu merasa bukan diriku. Seperti panglima suku yang belum membaui aksara dengan benaran, aku lebih memilih mengitari api unggun yang kubuat beberapa tahun lalu. Waktu yang terlewat di antara kepingan sesal karena tak mampu ku cium bahasa cinta dari degup langkah perempuan polos yang manja, seperti Bidadari.

Ketika senja telah mengaduh, tak kusadari telah ku pinang Puspawangi, ku titipkan benihku di rahimnya. Dan, Dananjaya telah sangkakalakan pesan hingga ke penjuru negeri hingga seberangan lautan, bahwa dirinyalah yang menjadi bapak dari anak-anak Puspawangi.

Satu yang kuingat dari permahligaian dengan Puspawangi adalah kenyataan yang memahitkan mimpi-mimpiku tentang perempuan. Dananjaya yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut, akhirnya gagap, tergagu dalam gugu membaca amrik wangi kekembangan Puspawangi. Ternyata, kepolosan dan kemanjaan Puspawangi seperti halnya yang juga diakui ada pada Bidadari, tiada lebih juga tiada kurang adalah senjata mematikan kaum perempuan. Sebagaimana amrik wanginya kekembangan, menarik, menggoda, menawarkan seutas gamit sederhana menuju sorga, sebuah pesonaan yang tak bisa di jawab dengan benar olehku, juga semut-semut kecil yang kesepian.

Aku, Dananjaya yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut menjurai, pun menitikkan air mata dalam kamar dengan semut-semut kecil yang kesepian karena Puspawangi.

“Bahasa amrik wangi kekembangan perempuan itu menyendiri. Memasing dari kami, kadang tak ruapkan begitu saja apa yang mengamrik-mewangi dari diri kami. Namun, tak ada sama sekali niatan pada perempuan seperti kami untuk memusarakan kumbang, terlebih lelaki seperti dirimu, Dananjaya,” tutur Bidadari padaku senja ini. Suatu senja yang lebih dekat dengan Bidadari.

“Seperti halnya aku yang tak sadari kejatuhan hatimu. Aku juga tak sadari bahasa mengamrik mewangi dari Puspawangi, perempuan yang menjadi ibu anak-anakku,” balasku dengan menggenggam tangannya, berdegup jantung bertalu. “Puspawangi ku jumpa saat ku patungkan pujaku pada perempuan lain. Dirinya mampu menerimanya dengan penghargaan sayang yang luar biasa bagiku, saat itu. Dirinya mengaduh, namun menerima, padahal tak ada keikhlasan bertahta di dalam nafasnya, yang menanda adalah kesabaran untuk menunggu waktu guna mencium bibirku, utuh,”

Ku tahu, Dananjaya yang yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut menjurai menyadari, tak sepenuhnya Bidadari mendengar kisahku tentang perempuan-perempuanku. Sejengkal hemat yang kusadap saat Bidadari melengah adalah kesepian yang ada padaku, seperti halnya dirinya. Di ruang samun, kami mengabarkan sepi-sepi yang ada pada kami dalam uraian bahasa cinta pendam penuh.

 Namun, ku harap sadapan itu hanyalah perasaan tak terperam yang manisnya belum tua, dan nikmatnya belum dewasa.

Senja ini, saat Bidadari pamitkan tubuh untuk menjauh dariku, pun tidak dengan hatinya. Ingin rasanya kuteriakkan serapah pada sejarah dan mencongkel daun jendela takdir agar bisa kuukir cerita yang berbeda denganmu, Bidadari, perempuan yang menulis lidah langit dengan kemanjaan berwarna ungu, mengutip derai tawa pohon-pohon pinus dengan untaian kekata lembut, hingga hilangkan sadarian banyak lelaki. Aku tak bisa jauh darimu, lagi, Bidadari.

Namun apa kata rasa maluan ini!! Meski Bidadari memiliki sepi pada dirinya, ada sebuah sejarah yang menantinya, sejarah untuk menjadi perempuan yang lebih dewasa menyadap getah kehidupan. Aku pun harus kembali kepada Puspawangiku, karena Puspawangi dengan sepi pada dirinya, juga punya sebuah sejarah yang menantinya, sejarah untuk menjadi perempuan yang lebih dewasa menyadap getah kehidupan.

Begitupun diriku, Dananjaya yang konon mampu membaca perempuan dari ujungan jemari kaki hingga rambut menjurai pun dipaksa menerima lagi kata-kata Bidadari yang mengkomakan dirinya;

“Jujur, aku tidak bisa jauh denganmu Dananjaya, lagi.”

 

--- The End ---

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)