Flash
Disukai
0
Dilihat
1,270
Aku lupa besok senin, selasa, rabu, kamis, jumaat, sabtu atau minggu
Komedi

Namaku Alya. Belakangan ini aku sampai lupa besok hari apa. Bukan karena pikun, tapi karena semua hari rasanya sama: bangun, kerja, lembur, tidur. Ulangi. Begitu terus. Seperti playlist Spotify yang di-loop tanpa ampun.

Rutinitas kantor membuatku seperti robot. Bangun jam enam, bikin kopi instan sachet, cek email sambil sikat gigi, lalu berangkat pakai blazer yang itu-itu saja. Pernah suatu hari, aku baru sadar pakai sepatu beda warna pas udah di lift kantor. Ya sudahlah, toh bosku juga nggak merhatiin. Yang penting presentasi beres.

Dan pagi itu, puncaknya terjadi. Alarm ponselku tak berbunyi. Aku panik. Kubuka ponsel sambil teriak, “Astaga! Gue telat!” Dengan kecepatan cahaya, aku mandi kilat, dandan ala kadarnya, lalu lari ke bawah manggil ojek online.

"Bang, ke kantor cepat! Saya telat!" kataku ngos-ngosan.

Abang ojek menatapku sebentar dari balik helmnya, lalu berkata, “Mbak, hari ini Minggu.”

Deg.

Aku langsung nge-freeze kayak komputer Pentium jadul. Rasanya seperti ditampar dompet yang kosong di tanggal tua. “Serius, Bang?” tanyaku lemah.

“Serius. Liat tuh tukang bubur juga baru buka.”

Aku menghela napas panjang, minta maaf, turun dari motor, lalu jalan kaki kembali ke apartemen. Di lobby, Pak Ucup tetangga apartemen yang hobi nongkrong sambil ngudut cuma melirik sambil nyengir.

“Nah lho, Mbak Alya. Kebiasaan dikejar kerja sih. Sampai Minggu aja dikira Senin,” ujarnya bijak ala bapak-bapak.

Sejak hari itu, aku sadar ada yang salah dengan hidupku. Semua hari sudah kehilangan rasanya.

Sorenya, aku keluar ke taman kota, mencoba cari udara segar. Duduk di bangku taman, aku melihat anak-anak main layangan, pasangan muda piknik, dan bapak-bapak lari-lari sambil ngos-ngosan dikejar anaknya. Dunia ternyata masih hidup, sementara aku... aku udah kayak zombie kantoran.

Lalu mataku tertuju pada seorang pria di bawah pohon besar. Dia duduk santai, baca buku, ditemani termos kopi. Wajahnya tenang, seperti habis makan mi instan plus telur setengah matang.

Entah kenapa, dia memergokiku yang sedang memperhatikannya. Bukannya risih, dia malah tersenyum dan berkata, “Kamu juga korban rutinitas, ya?”

Aku kikuk. “Kelihatan ya?”

“Kelihatan banget. Auramu kayak Excel error #N/A.”

Aku ngakak. Sudah lama aku nggak ketawa selepas itu. Kami pun mengobrol. Namanya Rayhan. Dia ilustrator freelance. Hidupnya santai, waktu kerjanya fleksibel, penghasilannya cukup buat makan sushi seminggu sekali katanya.

“Setiap hari itu unik,” ujarnya. “Kalau semua hari terasa sama, berarti kita lupa cara menikmatinya.”

Dari pertemuan itu, kami jadi sering ketemu. Di taman, di kafe kecil, kadang nonton film festival yang filmnya kadang malah bikin kita berdua bingung.

Suatu hari, dia ngajak aku ke pasar tradisional.

“Percaya deh, di sini kamu bakal ngerasa waktu itu lambat,” katanya penuh keyakinan.

Begitu masuk pasar, aku langsung disambut suara teriakan ibu-ibu nawar harga, bau bawang putih, aroma ayam goreng, dan suara mbak-mbak kasir Indomaret dari seberang jalan.

“Jadi... gini ya rasanya belanja offline,” gumamku.

Rayhan ketawa, “Tenang, nggak ada fitur checkout gagal kok.”

Kami memilih sayur, buah, bahkan sempat tawar-menawar harga ikan. Aku yang biasanya serba online, jadi norak sendiri.

“Bang, ini ikannya hidup kan?” tanyaku ragu.

Penjualnya menjawab dengan datar, “Kalau hidup dia lari, Mbak.”

Aku dan Rayhan cekikikan sepanjang pasar.

Setelah itu, kami sarapan di warung soto pinggir jalan. Semangkuk soto panas, teh manis, dan gorengan tempe rasanya lebih nikmat dari steak hotel bintang lima yang sering aku makan pas business trip.

Perlahan, aku mulai mengubah hidupku. Kurangi lembur, mulai yoga, baca buku yang bukan laporan kerja, bahkan sesekali ikut workshop melukis digital bareng Rayhan. Kadang Salsa, sahabatku, nyinyir lucu melihat perubahan ini.

“Gila, Alya. Lu kayak Windows yang abis update total,” komentar Salsa. “Sekarang bisa multitasking, bisa restart pakai cinta.”

Rayhan jadi tempatku bernaung dari kesibukan yang mencekik. Tapi tetap saja, aku punya ketakutan dalam hati.

Suatu malam, kami duduk di balkon apartemenku. Bintang bertaburan, angin malam sepoi-sepoi. Aku mengungkapkan kegelisahanku.

“Ray, aku takut. Takut balik lagi kayak dulu. Lupa hari. Lupa diri.”

Rayhan menatapku, mengelus tanganku, dan berkata, “Kalau suatu saat kamu lupa hari, aku bakal beliin kamu kalender kucing lucu. Tiap pagi aku ingetin, ‘Sayang, hari ini Selasa, waktunya makan ayam crispy’.”

Aku tertawa sambil meneteskan air mata. Dia memang aneh, tapi selalu tahu caranya membuatku tersenyum.

Beberapa bulan berlalu. Kini, tiap hari aku bisa menikmati detik-detik yang sebelumnya tak pernah kuperhatikan. Aroma kopi pagi, angin yang lewat saat berjalan, bahkan suara recehan Pak Ucup yang kadang nyeletuk random di lobby.

Kadang, saat aku dan Rayhan jalan di taman tempat kami pertama kali bertemu, aku iseng bertanya, “Hari ini hari apa, ya?”

Rayhan menggenggam jemariku sambil tersenyum nakal, “Hari ini... hari kita, boskuh.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menikmati lupa hari.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)