Masukan nama pengguna
Dua bulan setelah pengiriman video akting ke salah satu rumah produksi, Maya yang sedang duduk melamun di teras rumah terperanjat, ketika tiba-tiba sebuah mobil merah berhenti di depan pagar rumah, membunyikan klakson. Maya segera bangkit. Tepat saat Maya akan menghampiri mobil itu, ayahnya telah sampai di depan pagar.
Mata Maya mengamat-amati mobil itu. Maklum desa tempat tinggal Maya ini sungguh terpelosok, hampir tidak ada mobil mewah seperti itu yang singgah namun nyatanya kendaraan itu berada disini, di depan rumahnya.
Ayah berbincang dengan si supir mobil sebentar lalu membuka pagar bambu. Tergesa laki-laki ringkih berjalan mendekati Maya dengan langkah tertatih, senyum diwajah begitu merekah. Hati Maya menjadi tak karuan melihat ayah saat ini. Seorang laki-laki tampan turun dari dalam mobil itu berjalan di belakang ayah. Maya memandang laki-laki itu dengan dahi berkerut. Sementara ibu yang menyadari ada tamu dari kota bergegas masuk ke dapur, menyiapkan makan dan minum seadanya.
Ayah menepuk pundak Maya, “Siapkan bajumu ya, nak.”
Laki-laki itu melewati Maya begitu saja, tak berkata sepatah katapun bahkan setelah Maya menyapa. Maya bergegas masuk ke dalam kamar, ia tak pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya namun kedua orang tuanya nampak akrab dengan dia.
Ibu membuka pintu kamar, ditangannya ada sebuah tas merah besar. Mata ibu berseri begitu melihat Maya. Pintu lemari Jati dibuka lebar, ibu mengeluarkan seluruh baju milik Maya dan memasukkannya ke dalam tas seraya bersenandung kecil. Jantung Maya berdebar kencang, matanya membulat melihat perbuatan ibu, ia merasa aneh dengan ibu saat ini.
“Bu, kenapa semua baju Maya dimasukkin kedalam tas?” tanya Maya seraya mengigit bibir bawahnya.
“Kan kamu mau ikut ke kota sama nak Arya,” jawab ibu seraya melipat beberapa pakaian dalam, “nanti kamu dengerin semua kata nak Arya ya.”
Maya bergegas mendekati ibu, memegang tangan ibu erat, “Tapi Maya engga kenal sama dia, Bu?”
Ibu menarik tangan Maya yang mengenggam tangannya erat, lalu memegang kedua tangan Maya. Tangan kanan ibu mulai mengelus rambut hitam legam dan panjang sebahu, mata ibu bersinar menatap masa depan Maya yang akan diukir oleh anak semata wayangnya itu. Ibu bangkit dari ranjang Maya, lalu membawa tas merah yang sudah penuh sesak itu lalu menyerahkannya kepada Arya. Setelah memegang tas merah itu, Arya bergegas membawanya ke dalam mobil, memasukkan ke dalam bagasi lalu menunggu Maya. Arya berdiri di depan mobilnya. Ayah berjalan perlahan, kaki tak beralaskan kasut, melangkah mendekati Arya. Mereka berbincang seraya menunggu Maya.
Ibu berjalan masuk ke dalam kamar Maya, anak perempuan yang baru menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas tengah menangis pilu. Air mata telah berlinang membasahi wajah cantik perempuan polos yang memiliki cita-cita menjadi artis ibu kota. Ibu memeluk Maya, membiarkan puteri semata wayangnya itu menumpahkan seluruh perasaannya di pundaknya sebelum pergi bersama Arya.
“Ini ada kalung dan anting emas punya ibu,” ucap ibu seraya mengelus pundak Maya, “kalau kamu engga punya uang atau belum dapat uang dari syuting, jual aja untuk kamu makan ya.”
Mata Maya terbelalak mendengar ucapan ibu, ia baru sadar kalau Arya itu mungkin saja adalah salah satu orang rumah produksi yang menjemputnya untuk syuting di ibu kota. Maya menghapus air mata dengan punggung tangannya lalu memeluk ibu dengan erat. Semua gundah gulana yang menggelayut di dalam hati kini sirna begitu mendengar ucapan ibu. Maya segera bangkit lalu berlari keluar rumah untuk menjemput mimpinya menjadi artis ibu kota.
Tiga puntung rokok sudah habis terbakar namun Maya tak menunjukkan batang hidungnya, Arya mulai tak sabar menunggu. Saat Arya ingin melangkahkan kakinya menuju bagasi untuk mengeluarkan tas merah itu, Maya muncul dengan wajah riang gembira. Arya tersenyum melihat Maya datang mendekat ke arahnya.
Setelah berpamitan dengan ayah dan ibu, Maya masuk ke dalam mobil itu, ia duduk di bangku penumpang, tepat di belakang bangku pengemudi. Perjalanan mereka menuju ke Jakarta akan memakan waktu enam jam lamanya. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Arya, membisu seolah bibirnya terkunci rapat dan tak terbuka sama sekali. Maya juga tak mau memulai percakapan, ia bingung apa yang harus ia katakan.
Tangan Maya memegang erat, tas jinjing berisi makan yang diberikan ibu saat ia mau masuk ke dalam mobil. Maya membuka makan yang ada di dalam tas, ia tak berani meminta Arya untuk singgah di rumah makan saat perutnya mulai keroncongan. Makanan di dalam tas, dihabiskan Maya tanpa mengeluh sedikitpun.
Kantuk mulai melanda saat perut sudah terisi penuh, Maya tak bisa lagi menahan gempuran ini sehingga ia mulai memejamkan matanya. Arya melihat Maya sudah mulai tertidur, seringai itu terlihat jelas diwajah tampannya.
Hampir tujuh jam, mobil merah itu melaju, membelah jalan tanpa hambatan walau sesekali Arya menepi untuk sekedar merokok atau buang air kecil, akhirnya tiba juga di Jakarta. Mobil merah itu masuk ke dalam sebuah rumah besar dengan lapangan parkir luas, rumah itu dibangun seperti rumah kontrakan, terdiri dari dua lantai. Lampu rumah itu begitu terang, menyilaukan mata namun saat masuk disalah satu kamar, terang lampu sangat temaram. Matahari yang tadi bersinar dengan gagah berani, kini berangsur-angsur kembali ke peraduannya.
Arya menepuk tangan Maya, membangunkan perempuan kepang dua itu. Maya mengusap-usap matanya. Ia bergegas menarik tas jinjing anyam miliknya itu keluar dari mobil. Arya mengeluarkan tas merah itu dari bagasi.
“Kamu ikuti saya ya,” ucap Arya seraya berjalan mendahului Maya.
Maya mengangguk, ia mengekor tepat di belakang Arya. Mata Maya tak sanggup melihat rumah itu, ia hanya menunduk saja mengikuti Arya. Dengan sigap, Arya membuka pintu kamar itu lalu meletakkan tas merah di atas ranjang.
“Ini kamarmu ya,” ucap Arya seraya bergegas pergi meninggalkan Maya begitu saja.
Maya belum sempat berterima kasih namun Arya telah menghilang, ia memandangi kamar barunya itu. Tangan Maya mulai meraba-raba mencari saklar, cahaya lampu kamar menyakiti mata. Namun berapa kalipun, Maya menekan saklar, lampu tak berubah warna tetap sama. Maya berjalan perlahan, kakinya beberapa kali terantuk meja ataupun bangku. Maya ingin meminta bantuan Arya tapi pintu itu terkunci.
“Permisi,” ucap Maya, “pak Arya kenapa saya dikunci ya?”
Tak ada yang menyahut sama sekali. Tangan Maya mulai mengendor daun pintu itu sekuat tenaga, berharap Arya akan membukakan pintu. Sudah setengah jam, Maya berdiri dan mengendor namun pintu itu tak kunjung dibukakan. Pikiran Maya menjadi kalut, ia berharap bukan hal buruk yang menimpa dirinya saat ini.
“PAK ARYA… TOLONG BUKA PINTUNYA!”
Pendingin udara di kamar Maya tiba-tiba berfungsi, seakan ada seseorang yang menyalakannya. Tangan Maya semakin kencang mengendor pintu itu namun tetap tak ada yang menyahut. Tangan mulai memerah namun tak seorangpun datang untuk membuka pintu itu, Maya mulai menjerit ketakutan, ia yakin kalau bukan impian yang akan dijemputnya melainkan hal menyeramkan tengah menunggu dirinya.
Keadaan begitu mencekam bagi seorang gadis polos dari desa, Maya mengira dirinya dihantar menuju impian namun malah dikurung dan tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, pintu yang terkunci itu terbuka dan seorang wanita berjalan mendekati Maya.
“Cepat bersihkan dirimu dan pakai ini!” ucap perempuan tambun yang telah berusia paruh baya itu, si mucikari, “jangan coba-coba melawan ya.”
Maya hanya menatap perempuan itu, nanar, ia tak memiliki daya untuk melawan saat ini. Seluruh impiannya hancur begitu dikurung tempat ini, seorang perempuan lain bertubuh langsing masuk ke kamar. Ia mulai mendandani Maya saat ini. Maya mencoba menahan tangisnya, ia mengira bahwa perempuan di depannya ini adalah seorang makeup artist. Maya menutup mulutnya, rapat, membiarkan perempuan ini memoles wajahnya.
“Kamu ini cantik ya,” ucap perempuan itu seraya memulas lipstick merah ke bibir Maya.
Setelah selesai mendandani Maya, perempuan itu keluar dan pintu kembali terkunci. Maya kembali dikurung di kamar itu tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun saat tengah malam, pintu itu kembali terbuka, Maya yang tadi terlelap tidur segera bangun dan beranjak dari ranjangnya itu menuju pintu, menyambut sang sutradara ataupun produser atau siapapun itu. Namun senyum sumringah itu kini berubah menjadi tangis, Maya memang sedari tadi tidak bersiap untuk syuting namun ia dijajakan kepada laki-laki hidung belang.
Neraka dunia kini dimulai bagi perempuan yang baru beranjak dewasa itu, Maya dipaksa untuk melayani laki-laki yang umurnya bahkan lebih tua dari ayahnya itu. Malam itu terasa begitu panjang bagi perempuan polos dan lugu ini, Maya menjerit saat tangannya ditangkap oleh laki-laki tua bangka yang siap untuk mengambil keperawanan yang ia miliki itu.
Maya meraung-raung ketakutan, ia mengeluarkan seluruh tenaga untuk melawan setan bertubuh manusia itu. Laki-laki ini melayangkan tamparan ke arah pipi Maya hingga ia terkapar tak sadarkan diri. Tubuh Maya ditelan oleh nafsu bejat si laki-laki hingga tak tersisa malam ini.
Hari telah berganti, Maya terbangun dengan lebam dibeberapa bagian tubuhnya. Air mata tak berhenti mengalir, ia hanya ingin pulang ke desa. Maya tak mau menjadi artis, ia mau turun ke sungai mencuci pakaian atau ke sawah, menandur padi. Maya mendekati tembok dan meratapi kemalangannya saat ini. Perempuan tambun itu datang lagi, ia membawa pakaian baru dan makanan serta minuman untuk Maya.
“Kamu engga usah sedih lagi,” ucap perempuan itu, Maya memalingkan wajahnya, menatap perempun itu, dalam, “hari ini Arya kembali lagi ke desamu, nanti ada beberapa teman yang akan menemanimu ya, cah ayu.”
Tubuh Maya mendadak kaku, mendengar ucapan perempuan tua itu.
“Ayah dan ibumu sudah mendapatkan gaji pertamamu,” lanjut perempuan itu, “mereka sangat senang, sampai-sampai mempromosikan Arya sebagai talent agent ke seluruh kampung.”
Impian Maya membawa orang lain masuk ke neraka yang sama dengannya. Maya memegang tangan mucikari, erat “Saya ingin pulang.”
Tangan lembut itu membelai rambut Maya sekali lagi, "Kalau kamu pulang, siapa yang akan menyambut kedatangan teman-temammu nanti?" sorot mata mucikari itu menatap ke arah Maya dari ujung kaki hingga ujung rambutnya sedangkan Maya hanya terdiam, tak ada lagi air mata yang menetes.
***
Kedua orang tua Maya terdiam begitu menerima uang dari Arya. Sang ayah mengangkat kepalanya seraya menyerahkan amplop cokelat itu kepada istrinya, "Terima kasih nak Arya, kami tak menyangka secepat ini anak kami mendapatkan gajinya."
Arya merogoh saku kemejanya, ia mengeluarkan sebatang rokok dari sana. Lalu merogoh korek api di saku celananya, ia menyalakan korek itu lalu membakar ujung rokok seraya menatap lurus ke arah ibu Maya yang sedari tadi menatapnya sambil meremas amplop cokelat itu, "Kalau ada teman Maya yang mau ikut bekerja ke Jakarta, kalian bisa kasih tahu saya."
Setelah itu Arya langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata lain. Mata perempuan tua renta itu menatap punggung Arya yang semakin lama semakin menjauh. Laki-laki tua itu kemudian menoleh kearahnya seraya berkata, "Uang ini bisa kita gunakan untuk membeli pupuk dan keperluan dapur ya, Bu." Mata perempuan itu langsung berlinang air mata, ia tak kuasa menahan tangisnya, "Kenapa hatiku malah sedih ya, Pak?"
Ia menepuk pundak istrinya, "Saya tahu kalau kamu kangen sama Maya tapi sekarang dia sudah senang, Bu. Maya, anak kita jadi artis." Perempuan itu mengangguk perlahan walau hatinya teriris, perdih sekali rasanya, ia sama sekali tak merasa bahagia saat tahu anaknya sudah meraih impiannya.
***
Kamar mendadak begitu terang, Maya tak bisa membuka lebar kedua matanya. Bengkak. Hampir satu hari ini, ia meratapi kemalangan yang menghampiri dirinya dan kini malam sudah kembali datang mencengkram dirinya saat ini. Hati Maya mulai gelisah, otaknya sudah penuh rencana ini dan itu. Ia tak mau tertawan di kamar busuk ini, ia ingin bebas.
***