Cerpen
Disukai
1
Dilihat
8,760
Lost and Found
Drama

Toko kecil itu berdiri di sudut jalan yang tak terlalu ramai, dengan papan nama kayu bertuliskan "Lost and Found". Dari luar, tampak seperti toko barang antik biasa, tetapi siapa sangka di dalamnya menyimpan sejuta cerita. Setiap barang yang ada di sana memiliki masa lalu, pernah berada dalam genggaman seseorang, dan menyimpan kenangan yang terkadang terlalu berharga untuk dilupakan.

Di balik meja kasir, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih dan senyum ramah bernama Pak Arman menjadi penjaga toko sekaligus pendongeng. Ia selalu siap menyambut pengunjung dengan cerita-cerita yang mengiringi setiap barang yang ada di sana. Setiap kali ada yang tertarik pada sebuah barang, Pak Arman akan menceritakan sejarahnya dengan detail, seolah ia sendiri yang mengalami semua kejadian itu.

Suatu pagi yang cerah, ketika sinar matahari mulai menerobos jendela besar di toko, seorang wanita muda bernama Rani masuk. Ia tertarik pada sebuah kamera tua yang dipajang di rak kayu tua di sudut ruangan. Kamera itu tampak usang, dengan beberapa goresan di bodinya, namun lensa dan mekanismenya masih terlihat utuh.

"Kamera ini menarik perhatian saya," kata Rani sambil mengangkat kamera itu dan melihatnya lebih dekat.

Pak Arman tersenyum dan mulai bercerita. "Kamera itu milik seorang fotografer muda bernama Dimas. Ia sering menggunakan kamera itu untuk mengabadikan momen-momen berharga di kampung halamannya. Salah satu foto yang ia ambil bahkan memenangkan penghargaan di sebuah kompetisi fotografi internasional. Sayangnya, Dimas meninggal dalam kecelakaan tragis, dan keluarganya menjual kamera ini ke toko kami."

Rani terdiam sejenak, merenungi cerita yang baru saja ia dengar. "Jadi, kamera ini penuh dengan kenangan dan kisah hidup seseorang," gumamnya.

"Betul sekali, Nona. Setiap barang di toko ini memiliki kisahnya masing-masing. Kami berharap, siapa pun yang membeli barang-barang ini, bisa melanjutkan kisah yang telah dimulai oleh pemilik sebelumnya," jawab Pak Arman dengan bijaksana.

Sambil terus berkeliling, Rani menemukan sebuah cincin perak yang indah di dalam sebuah kotak kaca. Cincin itu sederhana, namun tampak berkilau di bawah cahaya lampu toko. "Bagaimana dengan cincin ini?" tanyanya.

"Cincin itu adalah lambang cinta dari seorang pemuda bernama Arya untuk kekasihnya, Maya. Mereka berdua sangat mencintai satu sama lain, namun sayangnya nasib berkata lain. Maya harus pindah ke luar negeri untuk melanjutkan studinya, dan hubungan mereka tidak bisa bertahan lama. Arya akhirnya menjual cincin ini ke toko kami, berharap bahwa seseorang yang membelinya bisa merasakan cinta yang tulus seperti yang pernah ia rasakan."

Rani tersentuh dengan cerita itu. Ia merasa bahwa setiap barang di toko ini seolah berbicara padanya, mengisahkan suka duka kehidupan pemilik sebelumnya. Ia merasa seolah sedang memasuki dunia lain, di mana waktu berhenti dan kenangan-kenangan itu tetap hidup.

***

Beberapa hari kemudian, seorang pria bernama Budi datang ke toko. Ia terlihat gelisah, seolah mencari sesuatu yang penting. Matanya berbinar saat melihat sebuah jam tangan antik di etalase. "Boleh saya lihat jam tangan itu?" tanyanya dengan suara penuh harap.

Pak Arman mengangguk dan mengambil jam tangan itu dari etalase. "Jam tangan ini milik seorang pilot bernama Andi. Ia adalah seorang pria yang sangat mencintai pekerjaannya dan selalu tepat waktu. Jam tangan ini adalah hadiah dari istrinya saat mereka pertama kali menikah. Sayangnya, Andi meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, dan istrinya menjual jam tangan ini ke toko kami."

Budi terdiam, air mata mulai menggenang di matanya. "Andi adalah sahabat saya," katanya lirih. "Saya mencari sesuatu yang bisa mengingatkan saya padanya. Saya tidak tahu kalau jam tangan ini ada di sini."

Pak Arman tersenyum penuh pengertian. "Kenangan akan selalu hidup selama kita menyimpannya dalam hati. Mungkin dengan memiliki jam tangan ini, Anda bisa merasa lebih dekat dengan sahabat Anda."

Budi mengangguk dan memutuskan untuk membeli jam tangan itu. Ia merasa seolah mendapatkan kembali sebagian kecil dari sahabatnya yang telah pergi.

Hari demi hari berlalu, dan toko "Lost and Found" semakin dikenal banyak orang. Setiap pengunjung yang datang selalu merasa terhubung dengan kisah-kisah yang tersembunyi di balik setiap barang. Ada yang datang hanya untuk mendengarkan cerita, ada yang datang untuk mencari barang yang memiliki nilai sentimental, dan ada juga yang datang untuk menjual barang-barang mereka sendiri yang penuh kenangan.

Pak Arman selalu berusaha menjaga setiap cerita dengan baik, menyimpannya dalam hati dan berbagi dengan siapa saja yang ingin mendengarnya. Baginya, toko ini bukan sekadar tempat jual beli barang bekas, tapi juga tempat di mana kenangan hidup dan kisah-kisah lama tetap abadi.

Suatu hari, seorang gadis kecil datang bersama ibunya. Gadis itu tertarik pada sebuah boneka beruang tua yang duduk di sudut rak. "Ibu, aku ingin boneka ini," pintanya dengan mata berbinar.

Ibunya tersenyum dan bertanya pada Pak Arman tentang boneka itu. "Boneka ini milik seorang anak perempuan bernama Lila," kata Pak Arman. "Lila adalah anak yang sangat penyayang dan selalu membawa boneka ini ke mana pun ia pergi. Sayangnya, Lila sakit keras dan akhirnya meninggal. Orang tuanya menjual boneka ini ke toko kami dengan harapan ada anak lain yang bisa mencintai boneka ini seperti Lila."

Gadis kecil itu memeluk boneka beruang itu erat-erat. "Aku akan merawat boneka ini dengan baik, seperti Lila," katanya penuh tekad.

Pak Arman tersenyum. "Aku yakin boneka ini akan sangat bahagia bersama kamu."

Begitulah, setiap hari di "Lost and Found" selalu penuh dengan cerita dan kenangan. Toko itu menjadi tempat di mana masa lalu dan masa kini bertemu, di mana setiap barang memiliki nilai lebih dari sekadar benda mati. Pak Arman dengan senang hati terus melanjutkan misinya, menjaga dan merawat setiap kisah yang datang dan pergi, memastikan bahwa kenangan-kenangan itu tetap hidup dalam hati setiap orang yang datang ke toko kecilnya.

Namun dari semua benda yang diperjualbelikan disana, ada satu barang yang masih tersimpan dengan cantiknya dietalase kaca. Pak Arman tak pernah mau menjual benda itu bahkan menawarkan benda itu kepada pelanggan yang ada. Benda itu merupakan satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang isteri yang ia cintai. Baju pengantin putih yang kini warnanya mulai berubah kecokelatan.

Mata Pak Arman masih saja berkaca-kaca tiap kali melihat baju pengantin itu.

***

Di sebuah sudut kota yang ramai, saat matahari belum terlalu tinggi, laki-laki paruh baya dengan rambut penuh uban itu tengah menata toko kecilnya itu, Pak Arman sibuk dengan persiapan toko sebelum toko dibuka.

Setiap hari, ia membuka pintu tokonya dengan hati-hati, seolah-olah ia sedang membuka pintu kenangan yang berharga. Di balik jendela kaca etalase, terdapat sebuah gaun pengantin berwarna putih gading yang terlihat begitu elegan. Gaun itu dipajang di tengah-tengah toko, menjadi pusat perhatian bagi siapa saja yang melintas.

Gaun pengantin itu tampak begitu istimewa, dengan renda halus yang menghiasinya dan kerutan yang dibuat dengan tangan. Namun, ada sesuatu yang berbeda tentang gaun itu. Meski sudah berusia puluhan tahun, gaun itu masih terlihat baru, seolah-olah baru saja dibuat kemarin.

Setiap harinya, ada saja orang yang tertarik untuk membeli gaun tersebut. Para wanita muda yang bermimpi tentang hari pernikahan mereka, atau para kolektor yang ingin menambah koleksi mereka. Tapi, setiap kali ada yang bertanya tentang gaun itu, Pak Arman selalu menjawab dengan tegas, “Maaf, gaun ini tidak dijual.”

Suatu hari, seorang wanita muda bernama Sinta masuk ke dalam toko. Wajahnya berseri-seri saat melihat gaun pengantin di etalase. Dengan langkah penuh harap, ia mendekati Pak Arman yang sedang merapikan barang-barang di rak.

“Pak, saya ingin membeli gaun pengantin itu. Berapa harganya?” tanya Sinta dengan mata berbinar.

Pak Arman menatap Sinta sejenak, lalu tersenyum tipis. “Maaf, Nak. Gaun itu tidak dijual.”

Sinta terkejut. “Kenapa, Pak? Saya sangat ingin memilikinya. Saya akan membayar berapa pun harganya.”

Pak Arman menggeleng pelan. “Gaun itu bukan untuk dijual. Ada banyak barang lain yang bisa kamu lihat di sini.”

Sinta merasa kecewa, tapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. “Pak, tolonglah. Gaun itu sangat berarti bagi saya. Saya akan menikah bulan depan dan gaun itu adalah gaun impian saya.”

Pak Arman menghela napas panjang. Ia melihat kesungguhan di mata Sinta, tapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penjualan barang. “Nak, gaun itu punya cerita. Cerita yang mungkin tidak bisa saya bagikan dengan siapa pun. Tapi percayalah, itu bukan sekadar gaun.”

Sinta mengangguk pelan, meski masih merasa penasaran. Ia kemudian memutuskan untuk melihat-lihat barang lain di toko itu. Setiap sudut toko penuh dengan barang-barang yang tampak biasa tapi memiliki sejarah yang mendalam. Ada jam antik yang berhenti berdetak, cangkir porselen dengan retak kecil, dan buku-buku tua yang halaman-halamannya sudah menguning.

Hari-hari berlalu, dan Sinta sering datang ke toko itu. Ia selalu berusaha membujuk Pak Arman untuk menjual gaun pengantin itu, tapi jawabannya tetap sama. Meski begitu, mereka berdua mulai akrab. Sinta sering mendengarkan cerita-cerita Pak Arman tentang barang-barang di toko itu, tentang bagaimana setiap barang memiliki kenangan tersendiri.

Pada suatu sore yang tenang, Sinta kembali ke toko dengan harapan yang masih menyala. Ia tahu Pak Arman akan menolaknya lagi, tapi ia merasa ada sesuatu yang harus ia ketahui.

“Pak, bolehkah saya tahu cerita di balik gaun itu? Saya berjanji tidak akan memaksa Bapak untuk menjualnya lagi,” kata Sinta dengan nada memohon.

Pak Arman terdiam sejenak, memandang gaun itu dengan tatapan lembut. “Baiklah, Nak. Akan kuceritakan padamu.”

Ia mengajak Sinta duduk di sebuah kursi tua di sudut toko. Dengan suara yang tenang dan penuh kenangan, Pak Arman mulai bercerita.

“Dulu, gaun ini milik seseorang yang sangat spesial. Namanya Lila. Ia adalah tunangan saya. Kami merencanakan pernikahan kami dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Gaun ini dibuat khusus untuknya, dengan setiap detail yang dirancang sesuai keinginannya.”

Pak Arman berhenti sejenak, mengingat kembali masa-masa itu. “Namun, nasib berkata lain. Lila meninggal dalam sebuah kecelakaan beberapa minggu sebelum hari pernikahan kami. Hati saya hancur berkeping-keping. Saya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa dirinya.”

Sinta mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya ikut merasakan kesedihan yang mendalam.

“Setelah Lila pergi, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan gaun ini. Saya tidak bisa membuangnya, tapi saya juga tidak bisa melihatnya tanpa merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya, saya memutuskan untuk menyimpan gaun ini di toko saya, sebagai kenangan terakhir dari Lila.”

Pak Arman menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Setiap kali saya melihat gaun ini, saya merasa Lila masih ada di sini, menemani saya. Itulah sebabnya saya tidak bisa menjualnya. Gaun ini adalah bagian dari hati saya, dan menjualnya sama saja dengan melepaskan kenangan terakhir dari Lila.”

Sinta terdiam, memahami perasaan Pak Arman. Ia menyadari bahwa gaun itu bukan sekadar pakaian, melainkan simbol cinta yang abadi.

“Terima kasih telah menceritakan kisah ini, Pak,” kata Sinta dengan suara lembut. “Saya mengerti sekarang. Saya tidak akan memaksa Bapak lagi untuk menjual gaun itu.”

Pak Arman tersenyum tipis. “Terima kasih, Nak. Kamu adalah orang yang baik. Saya harap kamu menemukan gaun pengantin yang sempurna untuk hari bahagiamu.”

Sinta mengangguk dan pamit pulang. Meski ia tidak mendapatkan gaun impiannya, ia merasa mendapatkan sesuatu yang lebih berharga – pelajaran tentang cinta dan kenangan.

Hari-hari berlalu, dan toko “Lost and Found” tetap menjadi tempat yang penuh dengan cerita. Gaun pengantin itu masih berdiri anggun di tengah-tengah toko, menjadi saksi bisu dari cinta yang tak pernah pudar. Pak Arman terus merawat toko itu dengan penuh dedikasi, mengingat setiap barang dan cerita yang ada di dalamnya.

Suatu hari, seorang pria tua masuk ke dalam toko. Wajahnya tampak lelah dan penuh keriput, tapi ada cahaya kebahagiaan di matanya. Pria itu adalah Pak Herman, teman lama Pak Arman yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Arman! Lama tidak bertemu, kawan,” sapa Pak Herman dengan suara hangat.

Pak Arman tersenyum lebar. “Herman! Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”

Mereka berdua duduk dan mulai berbincang-bincang, mengenang masa-masa muda mereka. Pak Herman melihat-lihat sekeliling toko, matanya tertumbuk pada gaun pengantin di etalase.

“Arman, gaun ini… masih di sini,” kata Pak Herman dengan nada terkejut.

Pak Arman mengangguk pelan. “Ya, Herman. Gaun ini adalah kenangan terakhir dari Lila. Saya tidak bisa melepaskannya.”

Pak Herman menghela napas. “Saya mengerti. Lila adalah wanita yang luar biasa. Saya tahu betapa berartinya dia bagimu.”

Pak Arman tersenyum pahit. “Dia adalah segalanya bagiku. Tapi sekarang, saya merasa sudah waktunya untuk melepaskan kenangan ini.”

Pak Herman terkejut mendengar kata-kata temannya. “Apa yang membuatmu berubah pikiran, Arman?”

Pak Arman memandang gaun itu dengan tatapan penuh arti. “Saya bertemu seorang wanita muda bernama Sinta. Dia mengingatkan saya pada Lila. Saya menceritakan kisah tentang gaun ini padanya, dan saya merasa sedikit lega. Mungkin sudah waktunya untuk membiarkan gaun ini pergi, agar saya bisa melanjutkan hidup.”

Pak Herman tersenyum. “Kamu benar, Arman. Terkadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan.”

Pak Arman mengangguk setuju. “Ya, saya rasa begitu.”

Dengan perasaan yang campur aduk, Pak Arman akhirnya memutuskan untuk mengadakan lelang amal untuk gaun pengantin itu. Ia ingin agar gaun itu bisa membawa kebahagiaan bagi orang lain, seperti yang pernah dibawa oleh Lila untuknya.

Berita tentang lelang amal itu menyebar dengan cepat. Banyak orang datang ke toko “Lost and Found” untuk melihat gaun pengantin yang legendaris itu. Di hari lelang, toko penuh dengan orang-orang yang ingin memberikan tawaran terbaik mereka.

Sinta juga hadir di sana. Ia terharu melihat Pak Arman yang akhirnya siap untuk melepaskan gaun itu. Ketika lelang dimulai, banyak tawaran yang masuk. Tapi pada akhirnya, gaun itu jatuh ke tangan seorang wanita muda yang juga akan segera melangsungkan pernikahannya.

Pak Herman begitu bahagia namun seringai diwajahnya itu menunjukkan hal yang lain. Kedalaman hati laki-laki ini tak ada yang tahu.

Sinta begitu bahagia, ia langsung membawa pulang baju pengantin itu dengan riang gembira namun ditengah jalan, ada seorang laki-laki bertubuh tambun dengan tato laba-laba dipergelangan kanan merampas baju itu sehingga Sinta hampir terjatuh dipinggir jalan. Laki-laki itu segera dijemput oleh sebuah mobil silver, ia segera melompat masuk ke dalam mobil. Perasaan Sinta tengah campur aduk saat ini, semenit kemudian ia tersadar. Sinta berteriak sekuat tenaga namun tak ada seorangpun yang mendengar teriakan minta tolongnya itu. Sinta harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk mengenakan gaun pengantin itu saat pernikahannya nanti. Tubuh lemas dengan hati hancur terduduk di jalan beraspal itu tanpa seorangpun yang datang menghiburnya.

***

Gaun itu masuk ke dalam sebuah lemari kaca, di dalam rumah megah itu. Laki-laki bertubuh tambun itu hanya memandangi gaun itu, ia memegang kepala plontosnya dengan wajah bingung. Ia sungguh tak mengerti mengapa ia harus repot-repot merebut gaun pengantin usang ini sedangkan ia yakin seratus persen kalau bosnya sanggup membeli gaun pengantin baru yang mewah dan menawan.

"Kadang orang kaya itu membingungkan ya."

Ia meninggalkan ruang itu lalu menguncinya rapat-rapat.

***

Pak Arman tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari yang paling mengejutkan dalam hidupnya. Pagi itu, ketika ia melangkah masuk ke dalam gereja, ia melihat Sinta, pengantin wanita yang anggun, berdiri dengan gaun pengantin yang tidak ia kenali. Ia yakin betul bahwa gaun yang dikenakan Sinta bukanlah gaun yang dimiliki Lila, tunangannya.

Hari itu seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan. Sinta adalah pemenang lelang, gaun pengantin Lila. Pak Arman berpikir ia bisa berbagi mimpi dan rahasia, termasuk mimpi tentang gaun pengantin Lila itu namun kenyataannya berbeda saat ini. Lila telah memesan gaun pengantin khusus dari seorang desainer ternama, gaun yang menjadi kebanggaan keluarganya. Namun, Lila tidak pernah mengenakan gaun itu, karena takdir berkata lain.

Pak Arman mencoba menyembunyikan keterkejutannya sepanjang upacara pemberkatan. Pandangannya tidak pernah lepas dari Sinta, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Hatinya berkecamuk antara kebingungan dan kekhawatiran. Setelah pemberkatan selesai dan para tamu mulai berpindah ke ruang resepsi, Pak Arman memutuskan untuk menemui Sinta secara langsung.

Di sudut gereja yang sepi, Pak Arman akhirnya mendekati Sinta. Ia menatap dalam mata Sinta, mencari jawaban yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

“Sinta, bolehkah saya bicara sebentar?” tanyanya dengan suara rendah.

Sinta mengangguk pelan, lalu mengikuti Pak Arman ke ruang kecil di belakang gereja. Pak Arman menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.

“Gaun pengantin yang kamu kenakan… itu bukan gaun Lila. Apa yang terjadi?” tanyanya penuh harap.

Sinta menundukkan kepalanya, matanya mulai berkaca-kaca. “Pak Arman, saya minta maaf. Sebenarnya, gaun Lila yang saya menangkan dalam lelang itu… hilang.”

Pak Arman terdiam, merasa dunia seolah runtuh di hadapannya. “Hilang? Bagaimana bisa?”

Sinta mulai menceritakan kronologi kejadian naas yang menimpanya. Beberapa minggu sebelum hari pernikahannya, gaun itu dirampas dari tangan Sinta saat ia berjalan pulang dari toko. Akhirnya, Sinta terpaksa mengenakan gaun lain yang ia beli sendiri di sebuah butik.

“Saya sangat menyesal, Pak Arman. Saya benar-benar ingin mengenakan gaun Lila. Tapi, semuanya terjadi begitu cepat dan saya tidak punya pilihan lain,” jelas Sinta dengan suara bergetar.

Pak Arman hanya bisa mengangguk. Lidahnya kelu, hatinya remuk. Gaun yang selama ini ia jaga dan kenang sebagai peninggalan putrinya kini hilang entah di mana. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan Sinta dan kembali ke toko tempat ia bekerja. Wajah ceria yang biasanya menghiasi wajahnya kini hilang.

***

Sore itu, toko Pak Arman yang biasanya ramai dengan pelanggan tampak sepi. Ia duduk di sudut toko, menatap kosong ke arah pintu. Pikiran tentang gaun pengantin Lila terus menghantuinya. Tiba-tiba, pintu toko berderit terbuka, dan sosok Pak Herman, sahabat lama Pak Arman, muncul di ambang pintu.

“Arman, aku dengar kabar tentang gaun itu. Apa kau baik-baik saja?” tanya Pak Herman dengan nada prihatin.

Pak Arman mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meski hatinya masih terasa perih. “Herman, gaun itu hilang. Gaun yang selama ini kita jaga untuk mengenang Lila.”

Pak Herman duduk di samping Pak Arman, menepuk pundaknya dengan lembut. “Aku tahu betapa berartinya gaun itu untukmu, tapi kita harus mencari cara untuk menemukannya. Mungkin ada yang mencurinya, mungkin juga ada kesalahpahaman atau kamu memang harus merelakannya.”

Pak Arman mengangguk lemah. Ia tahu bahwa Pak Herman benar, tetapi rasa kehilangan itu begitu mendalam. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan gaun pengantin Lila.

***

Pak Arman mulai dengan menelusuri jalan yang diceritakan Sinta itu. Mata Pak Arman mencari ke sana kemari berharap mendapatkan sebuah petunjuk mengenai gaun pengantin itu. Pak Arman mendongak, ia menyipitkan matanya saat melihat CCTV yang terpasang diseberang, melangkah dengan terburu-buru menuju ke butik itu.

Pak Arman melesat bagai anak panah yang dilontarkan dari busurnya, wajah Ibu Melani pemilik toko terdiam, tak bisa berkata sama sekali.

"Dengan Melani, ada yang bisa saya bantu?" tanya Melani dengan sigap walau ada sedikit rasa kaget menggelitik di dalam dada.

“Ibu Melani, saya datang untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan gaun pengantin Lila,” kata Pak Arman dengan tegas, "kebetulan gaun itu dirampas diseberang jalan sana, saya berharap kamera CCTV toko ini menangkap gambar pelaku."

Ibu Melani menghela napas panjang. “Saya sangat menyesal, Pak Arman, namun CCTV toko ini rusak beberapa minggu yang lalu dan baru saya perbaiki kemarin. Tapi tidak ada salahnya untuk melihat rekamannya terlebih dulu, siapa tahu Bapak menemukan petunjuk disana.”

Pak Arman merasa frustrasi. “Apakah ada kemungkinan gaun itu dicuri? Apakah ada yang mencurigakan?”

Ibu Melani menggeleng. “Saya juga kurang yakin tapi kita bisa cek rekaman CCTV dulu."

Ibu Melani mengajak Pak Arman untuk melihat rekaman CCTV beberapa minggu lalu di layar televisi itu. Semua terlihat normal namun ada hal begitu menarik perhatian Pak Arman hingga ia meminta Ibu Melani mengulang rekaman itu beberapa kali. Pak Arman mematung, ia seakan pernah melihat laki-laki yang mondar-mandir di depan toko ini sebelum rekaman CCTV itu rusak. Pak Arman undur diri, Ibu Melani mengantar sampai ke depan pintu toko.

"Tapi saya berjanji akan terus mencari dan memberikan informasi jika ada perkembangan.”

Pak Arman keluar dari butik dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa menemukan gaun itu tidak akan mudah, tetapi ia tidak akan menyerah begitu saja.

***

Hari-hari berikutnya, Pak Arman terus mencari informasi. Ia menghubungi berbagai pihak, termasuk perusahaan pengiriman dan tukang reparasi yang pernah bekerja di butik tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil. Jejak gaun itu seolah hilang begitu saja.

Di tengah pencarian yang melelahkan, Pak Arman mulai merasakan keputusasaan. Namun, Pak Herman selalu berada di sisinya, memberikan semangat dan dukungan. Pak Arman tahu bahwa kenangan tentang Lila tidak bisa diukur hanya dengan sebuah gaun, tetapi kehilangan itu tetap meninggalkan luka yang dalam. Pak Arman membuat selebaran mengenai gaun pengantin Lila yang hilang itu, bahkan ia memberikan hadiah dalam jumlah besar bagi yang dapat menemukan gaun pengantin itu.

***

Suatu hari, ketika Pak Arman hampir menyerah, ia menerima panggilan tak terduga dari seorang wanita bernama Ibu Ratna. Ia mengaku menemukan gaun yang mirip dengan deskripsi gaun pengantin Lila dari sebuah selebaran yang terpampang di depan pintu masuk pasar, gaun itu ada di sebuah pasar loak.

Pak Arman dan Pak Herman segera bergegas menuju pasar tersebut. Mereka menemukan Ibu Ratna yang menunjukkan sebuah kios kecil di sudut pasar. Di sana, tergantung sebuah gaun pengantin yang tampak sangat familiar. Hati Pak Herman begitu was-was, ia mencoba menghubungi anak buahnya namun tak ada satupun yang menjawab panggilan teleponnya itu.

Hati Pak Arman berdebar kencang saat mendekati gaun tersebut. Ia memperhatikan setiap detail dan menyadari bahwa itu memang gaun milik Lila. Ia tidak bisa menahan air mata yang mengalir di pipinya. Ia memeluk gaun itu dalam namun rasanya berbeda, ia kembali menatap gaun pengantin itu lalu meletakkannya kembali.

Dengan langkah gontai Pak Arman meninggalkan pasar loak itu, dari belakang Pak Herman hanya bisa menatap Pak Arman dari kejauhan.

Hampir saja jantung ini mau copot, untung itu bukan gaunnya Lila.

***

Pak Herman melangkah dengan tergesa-gesa memasuki rumahnya, seakan waktu sedang mengejar-ngejarnya dengan langkah berat yang penuh kegelisahan. Malam itu, rembulan yang purnama menyorot dari jendela, menciptakan bayangan putih di lantai kayu yang sudah usang. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar yang selama ini terkunci rapat. 

Kamar itu, yang tak pernah disentuh dalam waktu yang lama, dipenuhi dengan aroma debu dan nostalgia. Pak Herman berdiri di ambang pintu, matanya melekat pada sudut gelap di ruangan itu, di mana sebuah gaun pengantin tersimpan dengan rapi. Gaun pengantin itu—yang kini menjadi saksi bisu—bercahaya dalam kesunyian, seolah bersinar di bawah cahaya bulan yang lembut. 

Ia menghela napas berat, dan langkahnya terasa semakin berat saat mendekati gaun itu. Setiap detik seakan menjadi beban yang tak tertanggungkan, dan ia merasakan jantungnya berdebar dengan ritme yang tak menentu. Pak Herman menatap gaun pengantin itu dengan mata nanar, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Ini adalah gaun yang tidak hanya menyimpan benang-benang halus dan renda-renda indah, tetapi juga sebuah rahasia kelam yang telah menggerogoti batinnya selama dua puluh lima tahun.

Dua puluh lima tahun yang lalu, gaun ini seharusnya dikenakan oleh Lila, calon pengantin yang sangat dicintai oleh Pak Arman. Namun, hari yang seharusnya menjadi momen bahagia itu berubah menjadi tragedi. Dalam kepanikan dan kesalahan yang tidak dapat diubah lagi, Pak Herman ingat betul bagaimana mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, melawan batasan waktu dan ruang, hingga akhirnya menabrak Lila yang sedang berdiri di tepi jalan. Satu detik itu mengubah segala-galanya—menghapus impian, mengubur harapan, dan menenggelamkan kebahagiaan dalam kesedihan yang mendalam.

Ia masih bisa mendengar jeritan yang penuh ketidakberdayaan, merasa nafsu untuk mundur namun tidak bisa menghindar dari takdir. Gaun ini, kini tergantung dengan tenang di dalam lemari, adalah saksi dari peristiwa itu—kain sutra yang lembut itu seakan menjerit dalam diam, mengingatkan setiap detail dari malam yang kelam. 

Pak Herman merasakan rasa bersalah yang menyentuh setiap serat jiwanya, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Ia tahu, tidak ada kata maaf yang bisa menggantikan kehilangan itu, dan tidak ada tindakan yang bisa mengembalikan hidup yang telah diambil dari mereka. Gaun ini—sebuah simbol dari cinta dan kesedihan—adalah pengingat yang tiada akhir tentang dosa yang telah diperbuat.

Dengan pelan, Pak Herman meraih gaun itu, merasakan tekstur halusnya di bawah jemari yang sudah keriput. Ia menutup mata sejenak, seolah berharap bisa menghapus memori yang membelenggu jiwanya. Namun, bahkan dalam keheningan yang memeluknya, gaun ini tetap berdiri sebagai saksi bisu, menuntut penebusan yang tak akan pernah bisa benar-benar terbayar.

Lila, yang tak pernah benar-benar mengetahui bahwa Pak Herman adalah penyebab dari penderitaan dan kehilangan yang menghantui hidupnya, kini menjadi bagian dari sebuah rahasia yang tak bisa terungkap. Dan dengan gaun ini di tangannya, Pak Herman tahu bahwa ia akan terus menanggung beban dosa dan rasa bersalah yang tidak akan pernah pergi.

"Kalau saja kamu memilih aku waktu itu, mungkin kamu akan menari dengan anggun dalam balutan gaun indah ini," Pak Herman memegang gaun ini erat namun potongan kenangan itu masih jelas mendekap erat pikirannya.

***

Pak Arman berdiri di ambang pintu toko Lost and Found-nya, matanya terpaku pada vitrin yang penuh dengan barang-barang yang tak pernah bisa ia lupakan. Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan aroma kayu tua dan harapan yang tak pernah padam, suasana seakan bercerita tentang semua usaha yang telah dilakukan untuk menyatukan kembali barang-barang yang hilang dengan pemiliknya. Di sana, di balik kaca yang sering mengkilap karena sentuhan tangan-tangan penuh harapan, terdapat kunci, buku, dan barang-barang kecil lainnya yang pernah kehilangan tempatnya di dunia. 

Namun hari ini, mata Pak Arman tidak dapat berpaling dari kekosongan yang menyelimuti ruangannya. Biasanya, ia bisa melihat kebahagiaan di wajah-wajah orang yang menemukan barang-barang mereka kembali. Senyuman dan air mata penuh rasa syukur adalah hadiah yang tidak ternilai baginya. Tapi hari ini, seolah seluruh keceriaan yang biasa ia beri telah lenyap bersamaan dengan gaun pengantin yang berisi kenangan dan impian Lila, tunangannya yang telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tragis.

Gaun pengantin itu, yang dulu memancarkan keindahan dan harapan dari Lila, kini hanyalah sebuah kenangan samar. Dalam keheningan malam, Pak Arman sering kali membayangkan Lila mengenakan gaun itu, menari di atas lantai dansa yang bersinar dengan cahaya lampu lembut, sementara mereka berdua membangun impian untuk masa depan mereka yang penuh warna. Sekarang, gaun itu adalah simbol dari apa yang telah hilang dari hidupnya—sebuah bagian yang tidak bisa diisi oleh barang-barang lain.

Terkadang, ia mengira gaun itu mungkin telah terlupakan di suatu tempat yang tak terjangkau oleh tangan manusia. Ia mencari dengan penuh harapan, melawan perasaan pahit yang menggerogoti hatinya. Namun, pencariannya seakan sia-sia. Meskipun toko ini penuh dengan barang-barang yang hilang dan ditemukan, kali ini, tidak ada yang dapat membantu dirinya menemukan kembali apa yang telah pergi dari hidupnya.

Setiap sudut toko ini yang biasa menenangkan hatinya kini menjadi saksi bisu dari rasa kehilangan yang menyiksa. Di sinilah ia berdiri, dikelilingi oleh benda-benda yang penuh dengan kenangan milik orang lain, namun dengan tangan kosong—tidak mampu menemukan apa yang telah hilang dari dirinya. Gaun pengantin itu, yang seharusnya menjadi simbol cinta dan janji, kini seakan menjadi lambang dari semua yang tidak pernah bisa ditemukan kembali.

Pak Arman merasakan beban yang luar biasa di dadanya, seperti sebuah beban yang tak tertanggungkan. Dalam pencarian tanpa akhir, di tengah-tengah barang-barang yang penuh dengan cerita, ia berusaha menahan air mata. Toko ini, yang dulunya menjadi tempat kebahagiaan bagi banyak orang, kini hanyalah sebuah ruang yang memantulkan kesedihan dan kehilangan yang mendalam.

Krek...

Pintu itu terbuka, Pak Arman tertunduk lemas, "Kembali saja besok ya." Ia kembali merapikan tokonya namun orang itu tak meninggalkan toko malah berjalan mendekati Pak Arman.

"Nak, kembali saja besok ya," pinta Pak Arman lembut.

"Pak, saya rasa saya tak sanggup untuk memikul beban ini sendirian," ucap perempuan muda itu seraya membuka topinya. Mata Pak Arman melebar, ia tak percaya dengan perempuan yang ada dihadapannya saat ini, "kenapa kamu ada disini, Sinta?"

Tangan Sinta langsung merangkul tubuh Pak Arman, ia menumpahkan seluruh perasaan yang menganjal di dalam dadanya itu, lalu ia menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Pak Arman menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang Sinta katakan itu namun semua cerita tentang Lila benar adanya.

"Saya ini anaknya, Lila," ucap Sinta sekali lagi meyakinkan Pak Arman. Laki-laki tua itu mengangguk, ia tak mempunyai daya apapun untuk mengelak setelah begitu panjang pernyataan Sinta terhadap jati dirinya.

Namun hal yang mengejutkan belum disampaikan oleh Sinta kepada Pak Arman setelah laki-laki tua itu bercerita panjang lebar mengenai Lila, tangan Sinta meremas tangan Pak Arman, "Mari kita balaskan dendamnya."

Pak Arman mematung, ia tak mengerti maksud Sinta. Mata itu menatapnya dan mulai menceritakan apa yang diceritakan oleh tantenya sebelum meninggal. Pak Arman ingin sekali menutup telinganya rapat-rapat namun itu adalah kenyataan yang harus ia terima.

Sementara itu, angin malam berhembus lembut, menyapu sisi-sisi ruangan, seakan ingin menghibur Pak Arman dengan sentuhan lembutnya. Namun, tidak ada yang bisa menggantikan tempat yang kosong dalam hatinya. Dengan perlahan, ia menutup pintu toko Lost and Found-nya, meninggalkan dunia di luar sana yang masih penuh dengan barang-barang yang hilang dan ditemukan. Mungkin, di dunia lain, di suatu tempat yang tak terjangkau oleh waktu dan kesedihan, gaun pengantin itu masih ada—menunggu untuk ditemukan, dan Pak Arman, dalam doanya, berharap suatu hari nanti, di tempat yang tak terbayangkan, ia akan menemukan kembali cinta dan kenangan yang telah pergi.

***

Decit mobil itu masih terdengar jelas, kenangan pahit itu tak hilang sama sekali, Pak Arman tak mampu melupakan memori itu sama sekali. Ia masih ingat jelas bagaimana tubuh perempuan yang paling ia cintai itu terbujur kaku dihadapannya. Pak Arman hanya bisa melihat mobil hitam itu menjauh meninggalkan Lila disana. Pak Arman mendekati Lila, matanya basah dengan air mata yang menetes membasahi tubuh itu. Hari bahagia itu berubah menjadi duka. Kenangan di dalamnya tak dapat ia lupakan sama sekali. Pak Arman tak sanggup mengurus bayi mungil itu sendirian. Pak Herman mengajukan diri untuk mengurusnya.

***

Sinta memandang sekeliling rumah yang akrab baginya, rumah yang selama ini menjadi tempat ia mencari kehangatan dan cinta. Namun, di balik dinding-dinding ini, tersimpan sebuah misteri yang mengusik setiap malam tidurnya. Ibu Sinta, Lila, telah meninggal secara tragis, meninggalkan luka yang mendalam dan sebuah teka-teki yang tak kunjung terpecahkan. Dengan tekad bulat, Sinta mulai menggali kembali semua jejak dan memeriksa setiap kemungkinan untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kehilangan ibunya.

Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Sinta semakin tenggelam dalam pencariannya. Ia mulai dari dokumen-dokumen lama, arsip berita, hingga berbicara dengan orang-orang yang mungkin memiliki informasi. Setiap kali ia merasa mendekati kebenaran, bayang-bayang kebohongan dan misteri seakan menutup jalannya. Ia bertemu dengan berbagai karakter—seorang detektif swasta, sahabat-sahabat ibunya, dan bahkan para tetangga. Namun, satu nama yang selalu muncul dalam benaknya adalah Pak Herman, pria yang selama ini ia anggap sebagai ayah angkat, yang memiliki hubungan erat dengan Lila dan juga dengan Pak Arman, sahabat lama yang dianggap sebagai paman.

Pak Herman adalah sosok yang penuh karisma, dengan senyum yang seolah tidak pernah pudar dan mata yang seringkali menunjukkan kesedihan yang dalam. Namun, Sinta mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari pria ini. Ada kejanggalan dalam cerita-ceritanya, dan sering kali ia merasa seolah-olah Pak Herman menyembunyikan sesuatu. 

Dengan setiap hari yang berlalu, tekad Sinta semakin menguat. Ia mulai menyusun potongan-potongan puzzle dari berbagai petunjuk yang dikumpulkannya. Seiring dengan berjalannya waktu, keyakinan Sinta semakin mendalam bahwa Pak Herman mungkin memiliki peranan penting dalam kematian ibunya. Sinta mencari bukti, berbicara dengan orang-orang yang mungkin tahu lebih banyak tentang hubungan Pak Herman dan ibunya, hingga akhirnya menemukan sebuah fakta mengejutkan yang membuatnya hampir tidak percaya.

Sinta berdiri di depan sebuah gedung tua yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Gedung ini adalah milik Pak Herman, dan menurut informasi yang didapatnya, gedung ini memiliki banyak arsip dan dokumen penting terkait masa lalu Pak Herman. Dengan hati-hati, Sinta membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam gedung yang gelap dan penuh debu ini, ia mencari-cari di antara tumpukan kertas dan kotak-kotak tua. Akhirnya, ia menemukan sebuah dokumen yang membuktikan bahwa Pak Herman memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibu Sinta, Lila.

Dokumen tersebut berisi foto-foto yang menunjukkan bahwa Pak Herman dan Lila pernah menjalin hubungan yang penuh cinta sebelum akhirnya Lila memutuskan untuk menikah dengan Pak Arman. Sinta menimpulkan, Pak Herman sangat kecewa dan marah saat mengetahui bahwa Lila akan menikah dengan Pak Arman. Ia merasa bahwa ia telah kehilangan segalanya, dan dalam kemarahannya, ia memutuskan untuk mengambil langkah ekstrem.

Dengan dokumen di tangannya, Sinta merasa hatinya bergetar. Ia segera menghubungi Pak Arman, mengatur sebuah pertemuan untuk memberitahukan temuan-temuannya. Pak Arman yang sudah lanjut usia menerima kabar dengan kesedihan mendalam. Ia tidak pernah menyangka bahwa sahabat lamanya, Pak Herman, bisa terlibat dalam peristiwa tragis ini. Sinta dan Pak Arman berencana untuk menemui Pak Herman dan mencari penjelasan. Pak Arman memegang tangan Sinta, "Kamu tidak berbohongkan?" Sinta menggeleng lalu mengandeng tangan Pak Arman erat.

Hari itu tiba. Pak Herman duduk di ruang tamunya yang mewah, suasana yang kontras dengan ketegangan yang menyelimuti pertemuan itu. Pak Arman dan Sinta berdiri di hadapannya, dengan ekspresi wajah yang tidak bisa menyembunyikan kekacauan batin mereka. Pak Herman memandang mereka dengan tatapan yang kosong, seolah sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari tindakan-tindakannya.

"Pak Herman," Sinta memulai dengan suara yang bergetar, "kami sudah mengetahui semua yang terjadi. Kami menemukan bukti bahwa Anda terlibat dalam kematian ibu saya."

Pak Herman tampak terkejut, namun di matanya juga terdapat kesedihan yang dalam. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, "Sinta, Pak Arman, saya tahu ini tidak bisa diterima begitu saja. Saya harus menjelaskan semuanya. Saya rasa kalian salah paham."

Sinta melemparkan dokumen berisi foto-foto itu kepada muka Pak Herman. Mata Pak Herman membulat sempurna, ia tak menyangka kalau Sinta akan mendapatkan dokumen ini.

"Ini tak seperti yang kamu bayangkan Arman," ucap Pak Herman dengan lugas.

Pak Arman menggelengkan kepalanya, "Kamu sudah menghamili Lila, kamu pergi meninggalkannya begitu saja dan saat ia mulai menata hidupnya, kamu malah memilih untuk mengakhirinya."

Pak Herman mematung, ia tak bisa menjawab lagi saat ini. Seluruh daya dan upaya telah ia usahakan agar bau bangkai itu tak terendus sama sekali namun sekarang tak ada yang dapat ia lakukan lagi.

Sinta dan Pak Arman duduk di kursi yang disediakan, sementara Pak Herman mulai membuka cerita yang mengerikan. Ia menceritakan bagaimana cintanya yang mendalam kepada Lila telah berubah menjadi kemarahan dan kebencian saat mengetahui bahwa Lila akan menikah dengan Pak Arman. Pak Herman merasa terhianati dan putus asa. Ia mengaku telah merencanakan segala sesuatu dengan hati-hati, membuat seolah-olah semua itu adalah sebuah kecelakaan tragis.

Pak Arman, yang selama ini menganggap Pak Herman sebagai sahabat dan saudara, merasa dunia runtuh di hadapannya. Ia memegang kerah baju Pak Herman dengan tangan yang kuat, seolah-olah ingin memastikan bahwa ia benar-benar berada di depan wajah yang telah mengkhianatinya. "Bagaimana mungkin kamu melakukan ini?" tanya Pak Arman dengan suara bergetar.

Pak Herman menundukkan kepala, tampak penuh penyesalan. "Saya tidak bisa mengubah masa lalu, Pak Arman. Saya sangat mencintai Lila, dan saat saya kehilangan dia, saya merasa dunia saya hancur. Saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia pergi bersama orang lain. Saya... saya hanya bisa berpikir bahwa ini adalah satu-satunya cara."

"Saya tak mau Lila menjadi milik orang lain."

Sinta merasa campur aduk antara kemarahan dan kesedihan. Semua yang ia harapkan adalah menemukan keadilan untuk ibunya, tetapi menghadapi kenyataan bahwa sosok yang selama ini ia anggap sebagai ayah angkat adalah pembunuhnya, membuatnya merasa terjepit. Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Pak Herman telah berubah selamanya. Tidak ada lagi tempat bagi kebencian ini, hanya luka yang akan membekas.

Pak Arman akhirnya melepaskan kerah baju Pak Herman, dan dengan suara yang penuh kesedihan, ia berkata, "Kami akan melaporkan semua ini kepada pihak berwajib. Kamu harus menghadapi konsekuensi dari tindakanmu."

Pak Herman mengangguk perlahan, menerima nasib yang menantinya. Sinta dan Pak Arman meninggalkan ruangan itu dengan rasa hati yang berat. Mereka tahu bahwa kebenaran telah terungkap, tetapi rasa kehilangan dan kesedihan akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Keberanian Sinta untuk mencari kebenaran dan kejujuran Pak Herman dalam mengakui kesalahannya adalah satu-satunya hal yang dapat memberikan sedikit ketenangan dalam badai emosional yang mengguncang mereka.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)