Masukan nama pengguna
Hari pertama orientasi siswa baru di SMA Cahaya Bangsa, langit lazuardi sedang panas-panasnya dipanggang terik matahari, tetapi para siswa berseragam dominan putih polos dengan topi karton berbentuk kerucut di kepala, duduk berjemur di lapangan sekolah. Di depan lautan anak baru, ada panggung yang dikuasai oleh para panitia berbusana tradisional aneka rupa. ‘Campur Sari’, tema Ospek tahun ini, terpampang pada baliho di belakang panggung.
Gema Sonata, si tampan kembaran cowok korea, tidak peduli pada atraksi sulap di depan. Kerongkongannya seret. Ia mengerling pada Jo di sisi kiri, lantas berdeham pada Kaka di sisi kanan. Gema hafal kalau kedua sahabatnya sejak SMP itu selalu menyimpan senjata antigalau. Dua butir permen pun sukses beredar dari saku mereka berdua ke tangan Gema.
“Ehm!” Gema berpura-pura mengganti posisi duduk seraya bergerilya membuka bungkus. Sambil berlagak batuk dan menutup mulut, dua permen sekaligus masuk dalam mulut. Rambut lurus Gema bagai ditiup angin sepoi-sepoi saking nikmatnya. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?
“Kamu curang, ya! Keluarin semua isi kantong kamu!” Seorang panitia cewek berkain kebaya dengan bakul di punggung-jelmaan Mbak Gendong, membentak di mikrofon hingga Gema terdiam. Bulir-bulir keringat seketika berlomba turun di keningnya. Celaka, demi apa ia ketahuan makan permen di tengah lautan siswa? Gema melirik horor pada bungkus kosong di sakunya. Namun, rupanya Mbak Gendong marah kepada si pesulap di atas panggung. Siswa malang itu disuruh mengeluarkan semua perlengkapan sulapnya. Gelak tawa pecah tak terbendung saat sehelai kertas crepe tak habis-habis ditarik dengan gemas oleh Mbak Gendong dari dalam saku anak tersebut.
“Adek yang pakai kerudung Attack On Titan! Kamu. Iya, kamu! Maju ke depan!” Kelar berurusan dengan si pesulap, Mbak Gendong menunjuk seorang siswi berkerudung paling lebar seantero Cahaya Bangsa untuk naik ke atas panggung. Setelah memperkenalkan diri dengan nama ‘Hafizah’, siswi itu langsung mendapat titah, “Kamu dapat tugas menyanyi. Setuju, semua?”
“Setuju, Kaaak.”
Di mata Gema, Hafizah terlihat menerima mikrofon dengan pasrah. Tatapannya berkeliling sebentar, lantas ia mengucap basmalah dan menarik napas panjang. “Potong bebek angsaaa masak di kuaaali-”
Permen dalam mulut Gema tertelan bulat-bulat demi mendengar pilihan lagu Hafizah yang kekanakan dan nyanyiannya yang lebih mirip gerundel. Kakak panitia berusaha menyetop senandung sekenanya Hafizah meskipun sedang seru-serunya bagai stand up comedy dadakan, tetapi gadis itu terus saja bernyanyi tabrak not kanan kiri. Celaka kuadrat, permen lantas macet di esofagus. Gema pun megap-megap menekan dada. Sakit. Sementara, Jo dan Kaka di sebelahnya sibuk berdebat dengan absurd.
“Cantik-cantik, kok, tukang jagal?”
“Ngapain nenek minta dansa, coba?”
“Kali aja bakar lemak abis makan bebek angsa. Kolesterol, ye, ‘kan?”
“Tumben otak lu cerdas.”
Jo dan Kaka tidak sadar kalau Gema sedang berjuang mengedan permen simalakama, sementara desak tawa tertahan di perutnya bagai menarik-narik urat saraf. Keringat makin membanjir hingga seluruh baju Gema ikut-ikutan basah. Celananya juga. Wajah Gema memucat seketika.
“Kamu lahir tahun berapa, sih? Gak ada referensi lagu yang lebih up to date, apa?” Mbak Gendong mengomeli Hafizah.
“Maaf, Kak. Saya hafizah. Cuman ini lagu adik saya yang saya hafal.”
“Iya, saya tahu nama kamu Hafizah. Jadi, apa sebenarnya masalah kamu?”
“Maksud saya, saya hafizah, menghafal Al-Qur’an. Jadi, saya memang tidak menyanyi atau menghafal lagu.”
“Apa, sih, susahnya menghafal lagu? Jangan cuma alesan, ya.”
“Maaf, Kak. Lagu dan Al-Qur’an nggak bisa disatukan dalam satu kepala, apalagi hati.”
Krik. Krik. Segenap makhluk bernyawa di lapangan SMA Cahaya Bangsa bergeming. Permen sudah meluncur dengan selamat ke lambung Gema, tetapi kini ia bau pesing. Hafizah adalah gadis pertama yang membuat Gema pipis di celana akibat kenekatan dan keabsurdannya. Sejak saat itu, Gema tidak bisa melupakan Hafizah.
***
“Hafiiizaaah, Sayangkuuu … dengarlaaah isi hatikuuu.” Jreng. Jreng.
Gema tidak peduli pada bantingan senar gitarnya yang belum disetem. Begitu penampakan Hafizah terlihat di sisi lapangan, ia bernyanyi penuh totalitas di atas panggung. Apalagi ketika sebaris plesetan lirik Iwan Fals tersebut berhasil mencuri perhatian dan menarik gadis itu mendekat bagai magnet, titian nada Gema bersalto bebas di bas. Segenap Cahaya Bangsa bergetar-getar.
“Gema.”
Gema langsung meluncur ke tepi panggung demi mendengar panggilan lembut Hafizah. “Ya, Hafizah Sayangku?” Tangannya menyugar poni yang jatuh di depan mata dengan gaya sok keren.
“Tolong-” Hafizah mengetuk arloji di pergelangan tangan dua kali. “Sekarang waktu azan zuhur. Stop dulu nyanyinya.” Gadis itu langsung berbalik dengan ujung kerudung lebarnya berkibar anggun. Tak lupa, seulas senyum manis sempat ia layangkan sebagai tanda terima kasih. Duh, jika teguran tadi adalah bentuk kasih sayang Hafizah kepadanya, Gema rela menyanyi setiap hari kala azan zuhur tiba.
“Aduh!” Pukulan keji Kaka mendarat di kepala Gema. “Makanya, jangan bandel! Masih untung Hafizah yang nyamperin. Gimana kalau Ustaz Maimun langsung yang turun tangan? Gua kapok disuruh membaca iqro juz satu sampai enam. Jontor, bibir gua!”
“Gem!” Setan Jo bergelayut di pundak Gema. “Lu itu bukan levelnya Hafizah. Dia hafizah, lu anak band. Kalian berdua itu seperti ikan dan burung, tau, nggak? Dunia kalian jauh beda. Jangan sampai, ya, gara-gara ngejar Hafizah, lu ninggalin kita berdua dan band!” Kaka mengamini ancaman maut Jo. Gema pun tercenung.
***
Hafizah bukan hanya cantik luar dalam, tetapi gadis itu mewakili gambaran perempuan salihah di mata Gema. Alasannya, Hafizah tidak pernah marah meski sering ia ganggu. Semakin ia goda, Hafizah makin rajin menasihati Gema dengan cara yang lemah lembut.
“Apa kabar, Ayangku, Hafizah?”
“Gema, ucapkan salam yang benar.”
“Assalamu’alaikum, Bidadari masa depanku.”
“Wa’alaikumussalam. Gema, dilarang gombal. Jodoh itu rahasia Allah.”
“Kalau Hafizah tidak percaya, Hafizah boleh membelah dadaku.”
“Hm. Kalo gitu, kita ke lab, deh.”
“Buat apa, Yang? Jangankan ke lab, ke KUA pun, aku ikhlas!”
“Ambil pisau bedah buat belah dada kamu.”
“Hah? Hafizah jangan sadis, dong!”
“Sesungguhnya, Allah marah kepada orang yang perbuatannya tidak sesuai ucapannya, Gema.”
“Ucapanku sesuai isi hatiku, Hafizah. Kenapa kamu selalu menolak perasaanku?”
Hafizah mengembus napas, terlihat jelas sedang menahan kesabaran, tetapi senyumnya tetap mengembang. “Aku harus menjaga hati agar hafalan Al-Qur’anku tetap terjaga.” Gadis itu pun berlalu dari hidup-ralat-hadapan Gema.
“Hafiiizaaah, sayangkuuu-”
“Hem! Daripada kamu menyanyi tapi nggak diladenin, lebih baik kamu ikut saya solawatan.” Gema terkekeh kikuk ketika Ustaz Maimun, guru PAI muncul.
“Ah, Bapak bisa aja. Saya mana punya tampang ikhwan-ikhwan masjid.”
“Kamu anak band, ‘kan?” Gema mengangguk. “Nggak ada salahnya kamu tambah referensi. Dari gitar ke rebana, nggak jauh-jauh amat, kok.”
Buseeet, jauh amir, Pak! Gema kepingin teriak, tetapi tidak berani membantah karena beliau adalah abinya Hafizah. Mengacau sedikit saja, nanti ia gagal dapat restu. Sebaris lirik rebana kondang pun terngiang-ngiang di telinga Gema. ‘Perdamaian, perdamaian. Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai.’ Namun, siapa sangka jika ajakan Ustaz Maimun tadi berujung pada sebuah pencerahan?
“Qomaruuun … qomaruuun …. Qomarun sidnan Nabi, qomaruuun.” Kepala Gema terangguk-angguk tatkala ber-falseto ria mendendangkan salawat berjudul “Qomarun”. Sesekali matanya memelotot untuk membaca teks lirik berbahasa Arab di tangan. Untung Gema tidak pe’a amat, ia cukup lancar mengaji untuk membaca teks tersebut, dan langsung mahir mengikuti lantunan salawat yang dibawakan oleh Ustaz Maimun. Sejenak, ruangan masjid hening. Berpasang-pasang mata memandang Gema heran, lalu Ustaz Maimun sigap memberi aba-aba. Gendang pun mulai ditabuh bersahut-sahutan dengan seru, sehingga Gema makin larut dan suaranya terdengar semakin nyaring di pengeras suara masjid. “Qomaruuun ….”
***
“Aku bukan Laila Majnun … tapi engkau terasa candu.
Bidadari surga pun silau memandang wajahmu.
Jika rindu ini terlarang, ya Rabb … sungguh Engkau Mahapenyayang.
Jika hatimu lautan isyarat, bukan salahmu aku tersesat.
Barakallahu fikum, barakallahu fikum, doaku teruntuk kamu.
Ukhti tersayang dunia akhirat.”
Jo dan Kaka berpandangan sambil menabuh rebana. Sudah dua kali Gema mengulang refrein lagu ciptaannya sendiri yang dipersembahkan khusus untuk Hafizah. Tetangga kanan kiri juga berkali-kali melongok ulah tiga remaja di depan kediaman Ustaz Maimun, tepatnya, di luar jendela kamar Hafizah, persis di depan balkon lantai dua. Namun, sang pujaan hati belum sudi menampakkan batang hidung.
“Kamu lagi, kamu lagi.”
Gema dan kawan-kawan salah tingkah ketika yang muncul di balkon malah Ustaz Maimun. “Assalamu’alaikum, Pak!” salam mereka kompak.
“Wa’alaikumussalam.”
“Kami rencananya akan membawakan gambus ini buat acara pensi nanti. Gimana, Pak? Bagus, Pak?” Gema spontan memutar akal di hadapan Ustaz Maimun. Jo dan Kaka terpaksa cuma bisa menelan ludah karena terseret dalam skenario penyelamatan diri Gema. Mereka main gambus? Hello?
Ustaz Maimun mengacungkan dua jempol. Nyaris Gema terbang ke langit, tetapi digagalkan kedua sahabatnya. Mereka segera menarik Gema dan pamit dari sana sebelum Ustaz Maimun menaruh curiga.
“Gema!”
Jo dan Kaka pasrah. Gema betulan terbang ke langit ketika Hafizah mengejar mereka keluar jalan. Gadis itu pun tersenyum manis kepada mereka bertiga. Tangan Gema menutup mata dua sahabatnya.
“Terima kasih, ya. Nyanyianmu tadi bagus. Maknanya dalam.” Jleb.
“Ehem, itu tadi namanya serenade, lagu penghormatan khusus yang kupersembahkan buat kamu. Kamu suka?”
Hafizah kembali tersenyum. “Suka. Dan bakal lebih suka lagi kalau kamu membawakan ini,” Hafizah menyerahkan selembar kertas ke tangan Gema, “salawat badar. Kata Abi, kamu berbakat. Aku tunggu penampilanmu di acara maulid nanti, ya? Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Gem, kami nggak mau ikut-ikutan, ya?” Jo dan Kaka gentar melihat senyum terkembang di bibir Gema. Yah, sudah kadung kecebur, Gema pantang mundur. Gema akan membuktikan pada Hafizah dan Ustaz Maimun kalau anak band juga punya cinta tulus yang layak diperjuangkan. Dari serenade sampai salawat, semua akan Gema amalkan demi menaklukkan hati seorang Hafizah.
“Hafiiizaaah, Sayangkuuu.”
***