Cerpen
Disukai
2
Dilihat
13,997
Sisi Romantis Seorang Pembunuh
Romantis

Beberapa koran menyebutnya pembunuh. Beberapa tabloid menyebutnya bajingan. Beberapa televisi menyebutnya biadab dan terkutuk. Tapi mereka tak tahu siapa Steve. Mereka menyebutnya sebagai seseorang. Seseorang yang membunuh, seseorang yang bajingan, seseorang yang biadab dan terkutuk. Tapi mereka tak tahu siapa Steve.

Beberapa korbannya terkapar di mobil, tergeletak di jalanan, tersungkur di ranjang, terjungkal ke jurang. Tapi mereka –koran, tabloid, televisi itu—tak tahu siapa yang mengaparkan, menggeletakkan, menyungkurkan, menjungkalkan para korban itu. 

Beberapa korbannya beruntung masih bernapas, melarikan diri, atau setidaknya sempat berteriak minta tolong. Tapi mereka –para korban yang beruntung selamat itu-- tak tahu siapa Steve. 

Mereka hanya melihatnya berpenutup wajah, sepasang mata jalang, berjaket hitam, dan sigap menghilang seperti hantu.

Beberapa koran menyebutnya pembunuh. Beberapa tabloid menyebutnya bajingan. Beberapa televisi menyebutnya biadab dan terkutuk. Tapi mereka sepakat menyebutnya profesional.

Seorang pengusaha tewas di apartemennya dengan sebuah lubang menganga di keningnya. Kepolisian menduga pelakunya sama dengan pembunuh korban-korban sebelumnya. Warga kota dicekam ketakutan. Pembunuh berantai masih berkeliaran.

Itulah koran. Itulah tabloid. Itulah televisi. Mereka memengaruhi opini publik. Warga dicekam ketakutan? Hahaha! Menggelikan. Steve tak pernah membuat warga kota tercekam ketakutan, atau tersergap kengerian. Mereka –koran, tabloid, televisi itu—terlalu tendensius.

Steve profesional. Tak sembarang orang ia terima sebagai target. Ia tak mau menjadikan orang-orang kecil sebagai targetnya. Setiap calon targetnya harus melalui studi kelayakan. Syaratnya sangat ketat. Bukan main-main. Calon targetnya haruslah orang-orang munafik, serakah, dan korup.

Hatil-hatilah bekerja. Jujurlah. Jangan berani-berani korupsi atau penembak jitu misterius akan membuat lubang di kening anda.

Hahaha! Itulah koran. Itulah tabloid. Itulah televisi. Kadang mereka menemukan juga analisa yang cerdas.

***

Steve tak punya isteri. Ia tak punya anak. Isteri akan membuatnya terkungkung. Anak akan membuatnya terbelenggu. Dengan kesendirian ia bebas berkelana. Ia tak perlu memikirkan jatah materi untuk isteri. Ia tak perlu memikirkan susu untuk anak. Dengan kesendirian ia merasa merdeka. 

Bila hasrat dan kerinduan menggelegak, Steve cepat melesat ke diskotik. Di sana ia menemukan Sonya. Wajah dan tubuh perempuan malam itu sangat menarik. Perempuan itu juga sepertinya; pengagum kebebasan. Perempuan itu juga sepertinya; manusia pencari mangsa. 

Tetapi mangsa mereka berbeda. Sonya mencari mangsa hidup dan membuatnya lebih hidup. Sedangkan Steve –pembunuh itu, bajingan itu—mematikan mangsanya.

Bila sedang suntuk, Steve mendatangi kamar Sonya yang kecil di sebuah apartemen yang menjulang tinggi. Setiap kali terjaga dari tidur –setelah kelelahan usai bercinta—ia selalu melihat Sonya sedang menulis sesuatu.

“Apa lagi yang kau tulis?” tanya Steve, mencium lembut bahu Sonya.

Tanpa menoleh Sonya menjawab, “Tentang hidupku.”

“Aku tak tahu kalau kau seorang penulis.”

“Bukan,” sahut Sonya, menoleh dan tersenyum tipis. “Aku menulis buku harian.”

Steve terkekeh. Senyum Sonya berubah masam.

“Maaf, aku tak bermaksud menertawakanmu,” kata Steve, membelai bahu Sonya dan mencium leher perempuan itu. “Pindahlah ke apartemenku yang luas. Banyak yang bisa kau tulis di sana,” Steve berbisik.

Sonya pindah ke apartemen Steve yang dua kali lebih luas. Sejauh ini perempuan itu tak tahu siapa Steve. Begitu pula Steve. Dari mana asal Sonya, siapa nama sebenarnya, siapa saudara dan orangtua perempuan itu, Steve tak peduli.

Suatu malam Sonya memergoki revolver kesayangan Steve menyembul di balik tumpukan pakaian di lemari. Sonya memekik tertahan.

“Jangan usik barang-barangku, kau mengerti?” Steve menghardik.

Sonya menggigil dan wajahnya memucat. Steve ingat bila perempuan itu fobia pada pistol. Buru-buru ia mendekap tubuh perempuan itu. “I’m so sorry, honey,” kata Steve.

“Singkirkan itu, Steve,” pinta Sonya.

“Yeah, akan kusingkirkan.”

“Apa yang kau lakukan dengan revolver itu, Steve?”

“Untuk berjaga-jaga, tak lebih,” sahut Steve.

“Kaukah yang melakukan semua itu, Steve? Melubangi kepala-kepala koruptor itu dengan revolvermu?” tanya Sonya.


“Apakah kau detektif?” Steve bertanya santai.

“My feeling, Steve,” Sonya berbisik. “Aku bangga denganmu, sayang. Bila warga kota mengetahuinya, mereka tentu menganggapmu pahlawan. Bukankah itu yang mereka inginkan, Steve? Menghabisi koruptor-koruptor itu?”

“Hmm.”

“Siapa saja klienmu, Steve?” tanya Sonya.

“Sebagian swasta dan lebih banyak orang-orang pemerintah.”

“Orang-orang pemerintah tak berdaya melawan koruptor-koruptor itu, lalu menyewamu untuk bertindak. Begitu maksudmu, Steve?” tanya Sonya, menebak.

Steve mengangguk. “Tetapi aku telah pensiun. Aku lelah, jenuh,” kata Steve, terdengar lemah seperti seseorang yang tidak punya masa depan.

“Karena itukah kau selalu termenung akhir-akhir ini? Kau telah pensiun dan tak punya uang?”

“Begitulah,” Steve menyahut.

Sonya memberi Steve beberapa lembar uang.

“Bukan menghina, namun aku yakin kau membutuhkan ini,” kata Sonya.

“Terima kasih, tapi kau lebih memerlukan uang itu,” ia menepiskan uang-uang itu.

“Aku masih punya banyak, Steve.”

“Tidak, terima kasih,” lelaki itu kembali menolak.

“Mengapa?”

“Aku tidak terbiasa menerima uang dari perempuan,” kata Steve.

Sonya tergelak. Usai tertawa, Sonya menatap lekat wajah partner hidupnya itu.

“Bila begitu kau carilah job lain,” kata Sonya, serius.

“Pekerjaan apa? Tak ada yang bisa kulakukan selain menarik picu revolver,” sergah Steve.

“Bila begitu, bekerjalah untukku, Steve,” ujar Sonya menawarkan sebuah kesempatan.

“Maksudmu?” Steve mengernyitkan dahi.

“Jadi papaku.”

“Papa?”

“Germo, bego!” Sonya mencubit lengan Steve.

Steve tertegun dan beberapa detik kemudian tersenyum.

***

Mereka sedang menonton televisi, suatu malam. Ada sebuah berita mengejutkan. Seorang pejabat yang diduga melakukan korupsi, tewas dalam perjalanan menuju gedung pengadilan. Pada kaca jendela mobil tahanan terdapat lubang bekas tembakan. Tembakan itu tepat mengenai kening si pejabat.

Sonya menatap Steve curiga.

“Bersumpahlah padaku, Steve. Bukan kau pelakunya.”

“Tentu saja, bukan. Aku tak pernah menembak dari jarak jauh.”

Sonya menghela napas lega.

“Ada copycat di luar sana,” Steve menggumam.

Sonya membelai pipi lelaki itu yang mulai bercambang.

“Itu bagus, sayang. Warga kota butuh pahlawan, dan kau tak perlu melakukan tugas itu. Tugasmu menjagaku dan junior,” Sonya mengelus perutnya yang membuncit.

Steve menempelkan telinganya ke perut Sonya.

“Dia menendang,” kata Steve tersenyum.

“Junior minta pizza. Kau mau membelikannya, Steve?”

“Tentu saja.”

“Oh, kau sungguh romantis, sayang,” Sonya mencium pipi Steve.

Steve segera keluar dari apartemen. Malam dingin, jalanan lengang. Ia berjalan menuju toko pizza yang buka 24 jam di sudut jalan depan gedung apartemen. Ia melangkah ringan dan bisa tersenyum. Sebentar lagi ia akan menjadi ayah? Itu sebuah keajaiban.

Bagaimana dengan Sonya? Apa yang harus ia lakukan terhadap perempuan itu? Mengawininya seperti yang sering perempuan itu bisikkan setiap mereka usai bercinta? Shit! Tetapi, sudahlah. Itu urusan esok pagi atau entah kapan. Malam ini Steve harus mencarikan pizza untuk Sonya. Itu saja.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)