Cerpen
Disukai
3
Dilihat
14,282
Seorang Novelis Telah Mati
Drama

Syamaran seorang pengarang yang telah menerbitkan tiga novel percintaan, namun tak satu pun yang dicetak ulang. Ia pantang menyerah dan telah siap dengan novel keempat. Syamaran berusaha meyakinkan editor bahwa kali ini novelnya akan laris manis.

“Simpan ocehanmu itu,” kata sang editor. “Kau tahu, novel pertamamu terbit atas biaya perusahaan. Anggaplah kami sedang bereksperimen. Novel kedua dan ketigamu terbit atas biaya dariku. Kalau aku bukan pamanmu, mustahil novelmu terbit.”

“Saya tahu, Paman,” sahut Syamaran. “Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati paman. Saya berharap, kebaikan hati paman masih ada untuk menerbitkan novel keempat saya.”

“Aku masih berbaik hati dengan tidak membuang naskah novel keempatmu ke tong sampah. Aku pamanmu, dan aku menyarankan alangkah baik kau buang novel-novel picisan yang selalu kau baca dari kamarmu. Satu lagi dan kurasa ini saran yang realis; kau pakai ijazahmu, cari pekerjaan lain.”

“Tapi saya ingin jadi pengarang, Paman. Menjadi novelis adalah impian saya,” sergah Syamaran.

“Tidak semua mimpi harus menjelma nyata, Syam,” kata editor. “Sekarang bukan lagi zaman Fredy S, Maria Fransiska, Mila Karmila. Kalau kau memaksa menulis novel macam itu, kau bisa bikin bangkrut penerbit. Sekarang zaman Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, Eka Kurniawan. Kau tirulah gaya mereka. Tak apa jadi epigon, asal bisa menyelamatkan penerbit dari kebangkrutan.”

“Mustahil, Paman,” sahut Syamaran. “Saya menulis novel untuk pelipur lara, mereka menulis untuk seni. Kami dua kutub yang berbeda, Paman.”

“Kalau begitu,” editor menyodorkan naskah novel bersampul biru muda pada Syamaran. “Bawa novelmu ini, kau carilah penerbit pelipur lara.”

Syamaran keluar dari kantor penerbit, berjalan menyusuri trotoar dan berhenti di taman kota. Ia duduk di bangku beton di bawah pohon peneduh, di sudut taman itu.

Syamaran memandang pada kejauhan, memikirkan ucapan pamannya. Sebenarnya, Syamaran telah mencoba meniru gaya bercerita berbagai pengarang, tetapi hatinya selalu berontak. Ia akan tersenyum puas dan bangga ketika menulis cerita dengan gayanya sendiri. 

Carilah pekerjaan lain. Masih terngiang ucapan pamannya itu. Sebenarnya, Syamaran ingin marah; memaki atau setidaknya menggebrak meja ketika mendengar saran itu. Tapi editor itu adalah pamannya, sehingga Syamaran memilih merantai diri dengan kesabaran.

“Selalu ada jalan keluar,” guman Syamaran kukuh pada impiannya. Ia memencet sejumlah nomor di ponsel lipatnya. Menghubungi seseorang dan beberapa detik kemudian ia telah memulai pembicaraan.

Syamaran menghubungi seorang temannya yang punya penerbitan indie. Beberapa teman sesama pengarang telah menerbitkan buku di penerbit itu, dan konon laris manis. Ah, mengapa Syamaran tidak melakukannya sejak dulu?

“Tapi ada syarat penting. Kau harus ikut menjual bukumu,” kata temannya di telepon.

“Aku ini pengarang, bukan salesman,” sahut Syamaran.

“Kalau kau tak mau, maaf, aku tak bisa terbitkan novelmu.”

Syamaran kembali memandang pada kejauhan. Ia menghela napas dan menoleh ke kanan. Di sana, di bangku lain duduk seorang gadis sedang membaca buku. Ah, mungkin saja gadis itu sedang membaca novel Syamaran.

Diam-diam Syamaran tersenyum dan menyakinkan diri sendiri bahwa, seburuk apapun novel pasti ada yang menyukainya, ada yang sudi membacanya. Berpikir begitu, Syamaran meninggalkan taman dengan langkah ringan, seringan impiannya menjadi pengarang novel pelipur lara.

 

***

Syamaran berada di gerbong kereta api kelas super ekonomi. Minggu lalu pemerintah meluncurkan kereta itu sebagai uji coba. Kalau efektif mengatasi kemacetan jalan raya, konon, kereta itu akan berlanjut sebagai moda transportasi yang murah meriah.

Karena kereta itu kelas super ekonomi dan gratis selama sebulan masa uji coba, penumpang penuh tapi tak ada yang berdiri. Semua penumpang mendapatkan kursi, meski tak harus sesuai nomor kursi. Sebagai pengganti AC, jendela-jendela di kereta itu bisa dibuka-tutup dengan menggeser ke bawah dan ke atas.

Syamaran berada di kereta itu dalam perjalanan ke sebuah perguruan tinggi swasta yang baru berdiri di kota sebelah. Ia telah mengirimkan lamaran sebagai tenaga administrasi, melalui surel, dan kini ia dalam perjalanan untuk wawancara. Ayah telah meminta -tepatnya mendesak- Syamaran untuk kerja kantoran. Sayang kalau ijazah Administrasi Bisnis Syamaran tidak dimanfaatkan, begitu dalih ayahnya.

Ayahnya mengerti kalau Syamaran ingin jadi pengarang. Kalau Syamaran kerja kantoran di kampus, itu bagus, karena ia bisa membaca buku di perpustakaan, mengarang setelah jam kantor, dan memakai internet sepuas hati.

Sebenarnya, impian menjadi pengarang mulai redup dan menjauh dari pikiran Syamaran. Ia telah menyelesaikan novel kelima yang kini bernasib sama dengan novel keempat; tak ada yang mau menerbitkannya.

Zaman telah berubah, masa-masa keemasan novel pelipur lara telah berlalu. Kerja kantoran, mungkin itulah takdir yang harus Syamaran jalani, dan kini ia sedang menjemput takdir itu.

Di sebelah Syamaran duduk seorang bapak yang sejak datang langsung menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Di depannya, duduk dua gadis; yang satu berhijab pink, dan satunya lagi berambut lurus sebahu.

Gadis berhijab sedang membaca buku Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway. Ia mengangkat novel itu tepat di depan mata, sehingga Syamaran dapat melihat dengan jelas sampul dan judulnya.

Temannya, si gadis berambut lurus sebahu dan duduk di dekat jendela, juga sedang membaca buku. Tetapi, Syamaran tak tahu buku apa itu, karena gadis itu menaruhnya di pangkuan. Namun, detik berikutnya, gadis itu melakukan hal yang sama dengan si hijab; mengangkat buku tepat di depan mata, sehingga Syamaran dapat membaca judulnya.

Dada Syamaran berdebar ketika mengetahui si rambut lurus ternyata membaca Mencari Kekasih, novel pertama Syamaran yang laku 212 eksemplar - dari seribu eksemplar yang dicetak. Syamaran tersenyum dan merasa dirinya memanglah seorang pengarang. Ada orang yang membaca novelnya!

Sebenarnya, gadis berambut lurus sebahu itu berwajah biasa-biasa saja. Tetapi, karena ia sedang membaca novel Mencari Kekasih, maka gadis itu tampak cantik di mata Syamaran.

Syamaran masih mengulum senyum, ketika kemudian ia mendengar si rambut lurus berkata kesal, “menyebalkan!”

Si rambut lurus menutup buku, tetapi masih memegangnya. Si hijab menutup bukunya pula dan menoleh.

“Memang menyebalkan,” sahut si hijab. “Aku hanya beberapa lembar membacanya.”

“Gue heran,” kata si rambut lurus. “Masih saja ada yang mau menerbitkan novel sampah.”

“Buang saja ke tong sampah, seperti yang sering kita lakukan,” sahut si hijab.

“Tapi gak ada tong sampah di sini.”

“Kalau gitu ....,” si hijab menyahut, menatap temannya.

Serempak, dua gadis itu berseru, “Buang saja!” lalu tertawa.

Si rambut lurus sigap menggeser jendela ke bawah hingga terbuka sedikit, dan itu cukup baginya untuk membuang buku dari tangannya.

“Novel sampah, buang saja!” dua gadis itu berseru lagi, dan tertawa lagi.

Di depan mereka, Syamaran duduk tertunduk dengan hati remuk redam, menyisakan duka yang mendalam. Syamaran memejamkan mata, menangis dalam hati.

Sejumlah pembuktian telah cukup -pamannya dan kini dua gadis itu- bahwa Syamaran hanya mampu menulis novel sampah. Impiannya menjadi pengarang seketika padam, terkubur dalam-dalam.

Hari itu, di gerbong kereta api kelas super ekonomi, seorang pengarang novel telah mati!

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)