Masukan nama pengguna
Setiap hari Pak Wicara berjalan kaki dari kampung ke kampung. Setia menemaninya sebuah tas punggung hitam yang pudar warnanya, tempat lelaki tua itu menyimpan berbagai peralatan mendongeng. Ia juga membawa genta kecil dan kayu pemukulnya.
Siang itu Pak Wicara berhenti di pos ronda dekat pertigaan sebuah kampung. Ia memukul genta kecil kuning keemasan beberapa kali, suaranya nyaring. Tak lama kemudian, datanglah anak-anak menghampiri pos ronda, lalu duduk berjejer di teras pos ronda.
“Dongeng apa yang ingin kalian dengar?” tanya Pak Wicara.
“Kancil!” serempak anak-anak itu menjawab.
“Baiklah,” sahut Pak Wicara meletakkan kaleng di depannya, lalu memulai mendongeng.
Saat mendongeng, Pak Wicara melakukan beragam adegan. Ia memasang bulatan merah di hidung ketika mengisahkan kancil sedang sakit demam, memasang telinga panjang dari kertas karton ketika mengisahkan kelinci, mengenakan rambut rafia merah ketika mengisahkan harimau. Anak-anak senang melihatnya. Setengah jam kemudian, Pak Wicara selesai mendongeng.
Anak-anak membubarkan diri, berlarian menjauh dari pos ronda sambil tertawa.
Pak Wicara menatap kaleng di depannya. Tak ada sekeping uang pun di kaleng itu. Pak Wicara mengela napas, mencoba bersabar. Ia telah mendongeng, tetapi tak ada yang mau memberinya uang.
Zaman telah berubah. Dahulu, Pak Wicara sering diundang ke sekolah-sekolah untuk mendongeng di hadapan murid-murid. Pak Wicara mendapatkan uang dari jasanya mendongeng. Sekarang, tak ada sekolah yang mengundangnya, karena tiap sekolah sudah punya televisi dan DVD dongeng.
Pak Wicara memilih menjadi pendongeng keliling demi bertahan hidup, berharap masih ada orang yang mau mendengarkan dongeng dan memberinya uang.
Meski banyak orang mencibir, tetapi Pak Wicara tetap tekun dengan profesinya. Terlebih, istri dan anak tunggalnya (lelaki) pun mendukung pula. Sebenarnya, anaknya telah meminta Pak Wicara untuk pensiun dan tinggal bersamanya di kota, tetapi sang pendongeng itu menolak. Baginya, mendongeng adalah jiwanya, panggilan hidupnya.
Pak Wicara mengemasi barang-barangnya, bersiap melanjutkan perjalanan. Di kampung sebelah nanti, mungkin ia akan mendapatkan keberuntungan.
Perjalanan ke kampung sebelah masih cukup jauh. Pak Wicara merasa lelah, lalu menghampiri gubuk di tepi area persawahan. Di sana, ada seorang pemuda yang membawa kamera. Tampaknya, pemuda itu juga sedang beristirahat.
“Bapak mau ke mana?” tanya si pemuda.
“Ke kampung sebelah, Nak.”
“Bapak jualan apa?” tanya si pemuda.
“Bukan jualan, Nak. Saya ini pendongeng keliling. Oh, semoga di kampung sebelah nanti saya mendapat keberuntungan,” kata Pak Wicara berharap.
“Menarik sekali profesi Bapak. Saya jadi punya ide. Maukah Bapak membantu saya?” kata si pemuda.
“Membantu apa, Nak?”
“Saya akan merekam Bapak mendongeng, pakai kamera ini,” ujar pemuda itu, menunjukkan kamera berlensa panjang miliknya.
“Untuk apa merekam saya?”
“Saya ini YouTuber, Pak. Saya akan merekam Bapak mendongeng, lalu saya unggah di akun saya.”
“Ah, saya tak mengerti. Apa tadi yutu ....”
Pemuda itu tertawa, lalu berkata. “YouTuber, Pak. Nanti saya akan jelaskan. Sekarang, Bapak duduk di balai gubuk ini lalu mendongeng. Biar saya merekamnya.”
Pemuda itu lalu memasang tripod dan kamera di depan gubuk, mengatur posisi duduk Pak Wicara dan memberi petunjuk apa saja yang harus dilakukan lelaki tua itu.
“Siap, Pak? Satu, dua, tiga, mulai!” seru si pemuda.
Begitulah, syuting dadakan itu berlangsung. Beberapa kali si pemuda meminta Pak Wicara mengulang adegan, karena dinilai kurang pas. Hingga akhirnya pemuda itu mengatakan syuting sudah cukup, lalu memberi uang seratus ribu rupiah pada Pak Wicara.
“Alhamdulillah,” ucap Pak Wicara penuh syukur. “Terima kasih, Nak, terima kasih.”
“Sama-sama, Pak. Kalau boleh, saya minta alamat Bapak,” sahut si pemuda. Pak Wicara menyebutkan alamat rumahnya.
“Kapan-kapan saya akan ke rumah Bapak membawa kejutan. Oh, ya, hampir lupa, kita belum berkenalan. Dari tadi saya menyebut Bapak, dan Bapak menyebut saya Nak. Hehe. Nama saya Andi, Pak,” kata si pemuda.
***
Dua bulan kemudian, bakda isya, Andi berkunjung ke rumah Pak Wicara. Pemuda itu menyerahkan uang yang banyak pada Pak Wicara. Tentu saja lelaki tua itu terkejut. Andi menjelaskan bahwa, video Pak Wicara mendongeng di gubuk telah ditonton jutaan orang. Mereka suka sekali dengan video itu dan meminta Andi untuk membuat video dongeng lagi.
“Bagaimana, Pak? Kalau kita kerjasama membuat video dongeng lagi?” kata Andi.
“Baiklah, Nak Andi. Saya siap,” sahut Pak Wicara.
Kini Pak Wicara tidak lagi berkeliling dari kampung ke kampung untuk mendongeng. Ia telah menjadi bagian manusia modern; menyampaikan sesuatu melalui teknologi.
***SELESAI***