Flash
Disukai
1
Dilihat
15,598
Rambo Mencoba Bertahan Hidup
Drama

Seorang lelaki tua duduk di kursi dekat ranjang. Cucu perempuannya berbaring miring, memandangnya siap mendengarkan dongeng. Tiap malam harus ada dongeng agar cucunya dapat terlelap. Tak harus dongeng pangeran dan putri raja. Tak harus dongeng kancil yang cerdik yang justru mencetak orang-orang berpikiran licik.

Dahulu kala, demikianlah suatu malam lelaki tua itu mulai mendongeng, banyak becak di sebuah kota. Di mana-mana, di setiap sudut kota itu, mudah kita menemukan becak. Banyak orang memilih naik becak ketika berpergian jarak dekat, misal dari rumah ke sekolah.

Kalau itu tahun 1980-an ada seorang lelaki tukang becak. Tubuhnya kekar mirip petinju. Becaknya bercat merah. Di sisi kanan dan kiri becaknya ada gambar wajah Sylvester Stallone berambut gondrong yang saat itu sedang terkenal.

“Hai, Rambo, sudah narik berapa penumpang hari ini?” Begitulah orang-orang suka menyapanya.

Rambo punya pelanggan setia, seorang anak bernama Hendra Budiman yang tinggal di Perumahan Griya Permai. Setiap pagi Rambo mengantar Hendra ke SD tempatnya bersekolah. Siang, Rambo menjemput anak itu dari sekolah lalu mengantarnya pulang.

Jarak rumah Hendra dengan SD-nya sekitar dua kilometer. Jarak yang dekat bagi Rambo yang bertubuh kekar, ia mampu mengayuh becaknya dengan sepenuh tenaga.

Ketika Hendra menginjak SMP, jaraknya bertambah jauh, sekitar lima kilometer. Usia Rambo bertambah pula, ia tidak sanggup lagi mengayuh becaknya sepenuh tenaga. Apalagi rute yang ditempuhnya kini ada beberapa tanjakan kecil. Terpaksa Rambo turun dari becak, lalu mendorong becaknya di jalan menanjak.

Ketika Hendra masuk SMA, jaraknya semakin jauh, sekitar sepuluh kilometer. Rambo tidak sanggup lagi mengayuh becak sejauh itu, usianya makin tua, tenaganya makin lemah.

Selain itu pemerintah kota telah melarang becak beroperasi di kota itu. Becak tidak boleh hilir mudik di pusat kota dan jalan-jalan utama di kota. Menurut Wali Kota, becak membuat macet jalanan kota, dan tidak manusiawi.

Rambo kehilangan banyak pelanggan. Ia mencari penumpang dan melayani rute di pinggiran kota. Lama-lama, becak juga dilarang mengaspal di pinggiran kota. Mau tak mau, untuk sementara, Rambo menjadi pengangguran.

Ia menyimpan becak kesayangannya di belakang rumahnya. Gambar Rambo di becaknya pun telah memudar, seperti masa depannya yang suram.

Beruntunglah, ia memiliki dua anak yang sudah bekerja; si sulung yang lelaki bekerja di pabrik sepatu dan si bungsu yang perempuan bekerja di toko roti. Istrinya menjadi buruh cuci pakaian. Untuk sementara ia menumpang hidup pada mereka.

Tetapi ia merasa menjadi beban. Ia terbiasa bekerja. Maka, suatu pagi ia mengeluarkan becaknya dari “museum” di belakang rumahnya. Mencuci becak itu hingga bersih. Meski sudah pudar, tetapi gambar si gondrong Sylvester Stallone di becaknya masih tampak gagah.

Dengan tenaga yang masih tersisa di tubuhnya yang kini agak kurus dan mulai keriput, ia menganyuh becaknya meninggalkan rumah. Pada istrinya yang sedang mencuci pakaian tetangga, ia pamit akan mengais rezeki yang mungkin masih tersisa di kota itu dengan becaknya.

Ia mangkal di salah satu sudut taman di Perumahan Griya Permai. Banyak orang bersantai di sana pada Minggu pagi. Pada orang-orang, ia mempromosikan jasanya.

“Ayo, ayo, siapa yang mau keliling dunia? Cuma dua ribu perak satu putaran!”

Orang-orang tersenyum mendengar seruannya.

“Keliling dunia mana, Pak Rambo?”

Ia tersenyum. Ah, rupanya masih ada yang ingat julukannya. Si Rambo tua itu pun menyahut, “Keliling dunia taman. Ayo, ayo, sebelum becak benar-benar punah dari dunia ini!”

Seorang ibu dan anak perempuan mendekat.

“Saya, Pak. Dua putaran saja.”

“Siap!” Si Rambo sigap menjungkitkan becaknya ke depan agar memudahkan ibu dan anak perempuan itu untuk naik.

Taman itu seluas sekitar setengah lapangan bola. Rambo masih kuat mengelilingi taman itu beberapa putaran dengan becaknya.

Hari itu dari pagi sampai tengah hari, ia mendapatkan sepuluh penumpang dengan masing-masing durasi dua sampai lima putaran. Permulaan yang bagus meski ia merasa tenaganya nyaris habis. Ketika terdengar azan zuhur, ia memutuskan untuk pulang.

Selama empat tahun ia menjadi tukang becak wisata di taman perumahan itu. Suatu sore ia bertemu seorang pemuda jangkung dan gagah. Ia terharu ketika pemuda itu membungkukkan badan dan mencium punggung tangannya. Ia menepuk bahu pemuda itu.

“Apa kabar, Nak Hendra? Lama tidak ketemu. Sudah kelas berapa sekarang?” tanya lelaki itu dengan mata berbinar.

“Hampir lulus kuliah, Pak.”

“Oh, ya? Kuliah apa?”

“PGSD, Pak.”

“Wah, hebat. Calon guru SD, to?”

Hendra Budiman, pemuda itu, tertawa.

“Ayo, Pak. Antar saya keliling dunia. Satu putaran saja.”

“Siap, Bos!”

Tetapi baru setengah putaran, becaknya melambat. Rambo turun dari becak, memegangi kepalanya. Lelaki tua itu terhuyung-huyung.

“Tolong! Tolong!” jerit Hendra ketika melihat Rambo jatuh ke aspal.

***

Kehidupannya sebagai tukang becak benar-benar sudah tamat. Napas dan tenaganya sudah lemah. Maka ia beralih menjadi penjual roti keliling, pakai gerobak dorong.

Roti-roti itu buatan anak perempuannya yang pernah bekerja di toko roti. Si bungsu itu memilih keluar dari pekerjaannya setelah melahirkan anak pertama yang kini berusia tiga tahun, untuk mencoba berusaha mandiri membuat roti.

Lelaki tua itu berjualan roti di terminal bus antarkota, yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah. Mendorong gerobak tidaklah berat seperti mengayuh becak.

Seperti pada becak, ia pun mengecat merah gerobaknya. Baginya, merah adalah lambang semangat hidup. Tak lupa ia meminta bantuan temannya untuk membuat lukisan wajah Sylvester Stallone di kedua sisi gerobaknya.

Di kedua sisi kaca gerobak tertempel stiker merah bertuliskan: JUAL ROTI. Roti-roti jualannya tidak bermerek, tetapi orang-orang menyebutnya roti Rambo. Biasanya, pukul sembilan malam ia berangkat menuju terminal.

“Begitulah, ia hidup bahagia sebagai penjual roti,” lelaki tua itu mengakhiri dongengnya. Tak ada sahutan, karena cucu perempuannya telah terlelap.

Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda tersenyum, lalu berbisik, “Roti sudah siap, Bapak, sudah di gerobak.”

Lelaki tua itu mengangguk. Ia mencium kening cucu perempuannya yang terlelap, lalu berdiri, merapatkan jaket. Berdiri di depan cermin lemari pakaian, ia membusungkan dada, meyakinkan diri masih setangguh Rambo.

Dalam dingin malam, lelaki tua itu mendorong gerobak menuju terminal bus. Seperti malam yang sudah-sudah, ia berharap dagangannya laris diserbu calon penumpang yang gemar makan roti sambil menunggu bus malam datang yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)