Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,607
Balas Dendam Seorang Pengarang Yunior
Drama

Jim Keri berdiri di depan pintu rumah bercat sewarna semen. Wajahnya tegang seperti hendak bertemu dengan kekasih, meski lelaki kurus itu masih nyaman hidup sendiri. Hendak bertemu dengan Sang Idola memang mendebarkan.

Jim menghela napas, membetulkan selempang tas yang melingkar di bahunya. Menekan bel di dinding dekat pintu. Tak ada sahutan dari dalam rumah. Jim menekan bel berkali-kali, tak peduli dianggap kurang ajar. Ia harus bertemu dengan Sang Idola.

Ada sahutan kecil dan berat dari dalam rumah. Bila pintu itu terbuka dan mendapatkan pertanyaan siapa dirinya, Jim telah menyiapkan jawaban:  “Saya Jim Keri, 23 tahun, penjual nasi kuning, gemar membaca cerpen karya Anda. Ke sini hendak berguru. Sudikah Anda membaca cerpen saya ini?”

Pintu terbuka. Muncul seorang lelaki jangkung dan kurus dengan mata merah --mata pengarang sejati. Itu mata milik Salman Kusdi, pengarang berumur 45 tahun yang masih lajang, memakai celana jins biru belel, kaos oblong hitam bergambar tengkorak, mengisap rokok kretek tanpa filter.

“Pukul berapa ini?” tanya Salman.

Jim melirik arloji di tangan kirinya.

“Delapan lewat empat puluh lima.”

“Anda datang terlalu pagi. Siapa Anda?”

Salman duduk di kursi kayu yang tampak kusam di teras. Melalui isyarat mata, Salman meminta Jim untuk duduk pula. Teras itu tampak sempit; ada satu meja dan dua kursi yang berdesakan dengan Vespa butut.

“Saya .....”

“Langsung saja, ada apa Anda ke sini?” sahut Salman.

Jim mengeluarkan lima lembar kertas A4 dari tas selempang, menyerahkannya pada Salman.

Jangan Kibarkan Bendera Itu,” Salman membaca judul cerpen. Kedua matanya menyipit seperti sedang meneropong sesuatu.

“Saya perlu waktu tiga puluh menit. Banyak penulis pemula menemui saya. Persis seperti Anda, mereka meminta masukan dari saya. Saya tidak punya banyak waktu. Urusan saya banyak. Tiga puluh menit. Tunggulah di sini,” kata Salman, beranjak dari kursi.

Itu kali pertama Jim Keri bertemu Salman Kusdi, tetapi ia telah mengetahui seluk-beluk pengarang idolanya itu. Ternyata rumah mereka hanya berjarak 10 menit naik Vario merah.

Tiga puluh menit kemudian, Salman muncul membawa kertas A4 penuh coretan dan tanda silang bertinta merah.

“Cerpen yang buruk!” kata Salman, duduk menyilangkan kaki. Menyulut rokok.

Lemas sudah raga Jim. Ia datang dengan semangat menyala-nyala, kini nyala itu seketika padam.

“Saya memang masih pemula, Bapak,” kata Jim menundukkan kepala. Ia memutuskan memanggil Bapak, karena rambut pengarang idolanya itu nyaris putih merata.

“Lebih dari itu, Anda tidak punya bakat! Diksi Anda monoton, plot kacau. Anda hanya menumpuk kalimat!”

“Ya, Bapak. Saya masih pemula. Mohon masukan dari Bapak.”

“Kau penjual nasi kucing?” tanya Salman, menunjukkan bionarasi di bagian akhir naskah cerpen itu.

Jim Keri mengangguk.

“Hentikan mimpimu jadi pengarang! Menjual nasi kucing masih lebih baik. Selamat pagi. Urusan saya banyak!”

Salman beranjak untuk mengunci pintu rumah kontrakan itu, lalu menuntun Vespa butut ke halaman, untuk kemudian pergi menyisakan asap knalpot putih mengepul. Meninggalkan Jim sendirian di teras yang diam-diam mengepalkan tangan menahan geram.

***

Setiap malam Jim Keri berjualan nasi kucing di emperan sebuah pertokoan dekat warnet. Nasi kucing. Sekepal nasi berlauk oseng-oseng tempe yang dibungkus kertas minyak atau kertas koran, adalah masakan yang populer bagi orang yang gemar begadang. Karena hanya sekepal nasi, banyak orang menyebutnya mirip makanan untuk kucing. Jadilah namanya: nasi kucing.

Sembari menunggu pembeli datang, Jim menyempatkan menulis cerpen di buku kecil.

Dini hari setelah menutup warung angkringannya, lelaki kurus itu mampir ke warnet untuk menyalin cerpen dari buku kecil ke flash disk, untuk kemudian mengirimkannya ke media melalui surel. Hampir dua tahun ia melakukan rutinitas itu, tetapi tak satupun cerpennya yang tembus ke media.

Setelah pertemuannya dengan Salman Kusdi yang sangat menyakitkan hati itu, Jim Keri menyadari dirinya tidak berbakat jadi pengarang. Ia membakar semua buku kecilnya. Cerpen-cerpen yang tertulis di sana musnah bersama kertas-kertas menjadi abu.

Pada suatu hari, bulan ke sekian setelah pertemuan menyakitkan dengan Sang Idola, Jim berkunjung ke agen koran, membeli lima kilogram koran bekas untuk membungkus nasi kucing.

Meski impiannya menjadi pengarang telah sirna, hari itu Jim rindu membaca cerpen. Ia memilah-milah tumpukan koran bekas, lalu memilih koran edisi Minggu untuk menemukan cerpen di halaman sastra.

Jim membelalak membaca cerpen berjudul Jangan Kibarkan Bendera Itu. Judul yang sangat membekas dalam ingatan lelaki berambut ikal itu.

Siapa pengarang cerpen itu?

Astagfirullah,” desis Jim menahan geram.

***

Suatu malam sekira pukul 21.00, Jim keluar rumah membawa tas selempang hitamnya. Ia libur, tidak jualan. Ia melajukan motornya ke utara. Sesampai di kawasan kos-kosan, ia berhenti, mengamati pohon-pohon di sekitar.

Dua pemuda keluar dari pos ronda, mendekati Jim.

“Cari apa, Bang?” tanya pemuda bertubuh jangkung.

“Mau maling, ya?” timpal pemuda bertubuh pendek.

“Bukan, Bang,” sahut Jim. “Saya mencari tempat untuk memasang spanduk. Anda bisa bantu saya?”

“Ada fee-nya, nggak?” tukas pemuda bertubuh pendek.

“Ada, Bang. Tenang saja. Bantu saya pasang spanduk di sana.”

Dua pemuda itu melakukan tugas mereka dengan cekatan. Mereka bersamaan memanjat dua pohon mahoni yang tumbuh berjarak sekira tiga meter, mengikat tali tambang pada ketinggian tertentu.

Tak sampai setengah jam, spanduk itu telah terpasang dengan sempurna; tepat menghadap ke sebuah rumah kontrakan di seberang jalan.

“Spanduk apa itu, Bang? Kampanye, ya?” tanya si pemuda jangkung.

Jim hanya tersenyum kemudian berlalu setelah menyerahkan selembar uang seratus ribuan pada pemuda jangkung itu.

***

Esok pun tiba. Pukul 9 pagi, Salman Kusdi membuka pintu rumah kontrakannya. Matanya belum terbuka benar, tetapi ia dapat dengan jelas melihat spanduk di seberang jalan. Seketika matanya terbuka lebar.

Spanduk itu membentang sepanjang sekira tiga meter, warna hitam dan tulisan putih berbunyi: Pengarang Yunior Menjiplak, Pengarang Senior Mencuri Ide. Di pojok kanan bawah dengan warna putih pula tertulis: Penjual Nasi Kucing.

Salman Kusdi bergegas masuk rumah dengan wajah gusar. Membanting pintu.

***

Beberapa hari kemudian, suatu pagi ketika hendak ke agen koran, Jim Keri melihat spanduk itu telah hilang. Di seberang jalan, di depan rumah Salman Kusdi terpampang tulisan Dikontrakkan. Jim menghubungi nomor ponsel yang tertera, meminta bertemu dengan pemilik rumah.

Setelah tawar menawar harga, Jim sepakat untuk mengontrak rumah itu. Si pemilik rumah itu seorang lelaki paroh baya, tersenyum lebar menerima sejumlah uang dari Jim sebagai tanda jadi.

“Anda pengantin baru, ya? Mana istrinya, kok nggak diajak?”

Jim hanya tersenyum. Ah, itu pertanyaan basa-basi.

Seminggu kemudian, di halaman rumah itu ada gerobak kayu lengkap dengan tiga kursi panjang, dan beberapa kursi plastik sebagai cadangan bila pengunjung membludak. Di gerobak itu terpampang spanduk bertuliskan: Angkringan Nasi Kucing Yunior.

Memandang spanduk itu, Jim Keri tersenyum penuh kemenangan.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)