Flash
Disukai
1
Dilihat
12,906
Lelaki Penggali Tanah
Drama

Bakda asar Bejo menggali tanah di halaman rumah tetangga. Lelaki pemilik rumah marah lalu mengusirnya. Bejo mengacungkan cangkul, si pemilik rumah ciut nyali. Entah dari mana terdengar radio menyuarakan lagu Darah Muda. Mendengar lagu itu Bejo membuang cangkulnya lalu berjoget.

“Joget!” perintah Bejo pada si pemilik rumah. Tetapi yang diperintah hanya diam.

“Joget!” perintah Bejo lagi, mengangkat cangkul. “Ayo joget!” 

Si pemilik rumah ketakutan, ikut berjoget. Ketika lagu dangdut itu usai, Bejo berlalu dari halaman rumah. 

Sejak itu, orang-orang tahu bagaimana cara menghentikan aksi Bejo, lelaki 30-an tahun yang sepasang matanya melotot dan berambut kaku bagai landak. Karena gemar menggali tanah, ia mendapat julukan Si Gali. 

Sejak kecil Bejo punya kelainan. Konon, karena keturunan. Ayah dan ibunya juga berkelainan jiwa.

***

Suatu siang sekira pukul 10, orang-orang berkumpul di Balai Desa Kamulyan untuk mencoblos dalam pemilihan Kepala Desa. Suparjan lelaki berseragam hansip tergopoh-gopoh datang menemui Sarmidi, Ketua RT 01/RW 4 yang sedang berdiri ngobrol dengan beberapa orang di halaman Balai Desa.

“Si Gali kumat, Pak RT. Ia menggali tanah di kuburan,” lapor Suparjan. 

“Siapa yang meninggal?” 

“Tidak ada, Pak RT,” sahut Suparjan. “Kan tadi saya sudah bilang: Si Gali kumat.”

Sarmidi segera sadar dengan keadaan. Sigap ia mengajak Suparjan dan beberapa lelaki lain bergegas ke selatan menuju kuburan. Di sana mereka melihat Bejo sedang menggali tanah. Orang-orang terpana tak percaya, Bejo sudah menggali tanah sedalam hampir dua meter.

“Sejak kapan Si Gali menggali?” tanya Sarmidi.

“Tidak tahu. Mungkin sejak subuh,” jawab Suparjan. “Sekarang bagaimana, Pak RT?”

“Kalian tahu apa yang harus kita lakukan,” sahut Sarmidi pada orang-orang. “Tunggu apa lagi? Ayo, lakukan,” sambungnya bersiap membuat gerakan.

“Tunggu, Pak RT,” Suparjan menyahut, mengambil ponsel dari kantung baju, menggerak-gerakkan jemari di layar ponsel, lalu mengalunlah intro musik dangdut. “Biar lebih hot,” katanya menyeringai.

“Mantap!” seseorang berseru ketika lagu Darah Muda mulai mengalun. 

Mereka berjoget.

“Asoy geboy!”

“Ayo, Li,” seseorang mengulurkan tangan ke arah lubang tanah. “Kita joget bareng.” Lelaki itu menarik tangan Bejo untuk keluar dari lubang. Mereka dan Bejo berjoget. Asoy geboy!

***

Tengah malam orang-orang berkumpul di pos ronda membicarakan hasil pilkades. Dari kejauhan terdengar suara tiang listrik dipukul berkali-kali dan teriakan, “Maling! Maling! Maling!”

Orang-orang di pos ronda berhamburan keluar.

“Kuburan! Arah kuburan!” seru seseorang, entah siapa.

Orang-orang meninggalkan pos ronda, berlari menuju kuburan. Beberapa lelaki keluar dari rumah-rumah, ikut pula bergabung dan berlari.

“Itu dia!” teriak seseorang.

Mereka sampai di kuburan.

“Mana maling itu?” tanya seseorang.

“Itu! Di sana!”

Mereka kembali berlari. Cahaya-cahaya senter dari ponsel mereka bergerak-gerak seperti pedang. Langkah mereka terhenti di dekat sebuah lubang. 

Di hadapan mereka berdiri Bejo yang tubuhnya kotor oleh tanah. Bejo memegang cangkul yang gagangnya ada bercak darah. Bejo menyeringai, tangan kirinya menunjuk ke arah lubang.

“Itu malingnya,” seseorang melongok ke dalam lubang. Yang lain segera mendekat, mengarahkan ponsel masing-masing ke dasar lubang.

“Dalam sekali,” kata seseorang.

“Hampir empat meter, kukira,” sahut yang lain.

Tak sulit untuk turun ke lubang itu, karena di sisi utara lubang telah dibuat semacam anak tangga. Hmm, waras juga yang menggali lubang itu.

“Matikah?” tanya seseorang dari atas.

Orang yang di dasar lubang memeriksa keadaan si maling.

“Kepalanya berdarah, tapi masih hidup. Hanya pingsan, kukira,” jawab orang di dasar lubang.

“Dia maling apa?”

Orang di dasar lubang menggeledah sekujur tubuh si maling.

“Hanya ini,” katanya, menunjukkan selembar uang lima ribu rupiah.

“Maling apes! Belum dapat hasil, sudah kepergok,” komentar seseorang di atas.

Dua orang kemudian turun ke dasar lubang untuk membantu mengangkat tubuh si maling ke atas.

“Kita bawa ke Balai Desa,” usul seseorang.

“Langsung ke polsek saja,” sahut yang lain.

Beberapa orang menggotong tubuh si maling. Dua orang menggandeng Bejo. Satu orang membawa cangkul yang gagangnya ada bercak darah.

Sepanjang perjalanan mereka mengelu-elukan si lelaki kotor tanah, Si Bejo itu.

“Hidup Bejo!”

“Hidup Si Gali!”

“Bejo pahlawan!”

“Si Gali pahlawan!”

“Hidup Bejo Si Gali Pahlawan!”

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)