Masukan nama pengguna
Kau tahu siapa istri Sastro Kiwir? Mendekatlah ke rumahnya, bakda isya begitu, kau akan mendengar suara tik tik tik ... kreek! Suara itu berulang-ulang, berirama, sepanjang malam. Itu tanda jemari kurus tangan Sastro Kiwir sedang menari bersama istrinya. Begitulah orang-orang berkata.
Aku lelaki 42 tahun yang menyewa sepetak rumah di dekat rumah Sastro Kiwir. Rumah dengan harga sewa satu juta rupiah per tahun. Rumah yang dinding-dindingnya mengelupas menampakkan bata merah dan beratap seng itu mirip gudang tua. Tetapi, bagi lelaki juru ketik di sebuah percetakan berpenghasilan 2,5 juta rupiah per bulan sepertiku, rumah itu adalah istana.
Malam pertama di rumah yang hanya punya satu kamar itu aku begadang semalaman. Suara tik tik tik ... kreek dari rumah sebelah itu menyiksa telingaku.
Pagi hari sebelum berangkat kerja, aku bersilaturahmi ke rumah lelaki kurus, jangkung dan rambut memutih merata itu. Kami berkenalan dan di kemudian hari menjadi karib.
Aku memaksa diri untuk mengerti keseharian dan kebiasaan yang telah mengendap sekian puluh tahun pada jemari kurus tangan lelaki tetanggaku itu. Perlu kau tahu, sering aku membujuk agar Sastro Kiwir membuang atau setidaknya menyimpan mesin ketiknya. Kau tahu apa selalu jawabnya? Ia hanya terkekeh.
Sungguh unik, sampai sekarang Sastro Kiwir masih menulis menggunakan mesin ketik. Ia sangat bangga dengan mesin ketiknya. Ia telah memakainya sejak mula belajar menulis, sejak remaja. Pantaslah bila orang berkata, Sastro Kiwir dan mesin ketiknya bagai suami dan isteri; tiada terpisah.
Usia Sastro Kiwir 60 tahun. Ia telah menulis puluhan novel anak, ratusan cerpen anak dan dongeng. Lelaki bertubuh kurus dan jangkung itu telah menulis sejak remaja.
Padaku, Sastro Kiwir suka berkisah masa lalunya. Sebenarnya, ia bernama Sastro Wardoyo. Tetapi, tubuhnya kurus dan jangkung sejak muda. Kawan-kawan suka bercanda, tubuh Sastro ibarat kertas tertiup angin. Orang Batang bilang kiwir-kiwir, melayang-layang.
Konon, suatu ketika, pernah seorang wartawan bertanya mengapa Sastro Kiwir belum beralih menggunakan komputer atau laptop seperti pengarang lainnya? Sastro Kiwir menjawab bahwa ide-idenya mengalir lancar bila bersentuhan dengan mesin ketik.
Aku tertawa.
“Bilang saja kalau Pak Sastro tidak bisa pakai laptop,” kataku.
Sastro Kiwir terkekeh.
Mesin ketik Sastro Kiwir berwarna putih. Buatan Inggris. Awet sekali.
“Belum pernah rusak?” tanyaku.
“Pernah, beberapa kali. Namanya juga buatan manusia, tidak mungkin sempurna. Tapi aku punya tukang servis andalan.”
Sastro Kiwir bercerita, usia tukang servis langganannya itu sebaya dengan dirinya. Orang itulah satu-satunya tukang servis mesin ketik yang masih bertahan di kota ini. Tukang servis mesin ketik lainnya sudah beralih profesi.
“Kalau tukang servis itu sakit dan kebetulan mesin ketik Pak Sastro rusak lagi, terus bagaimana?” tanyaku.
Sastro Kiwir tertegun, diam beberapa saat.
“Sudah, jangan berandai yang tidak-tidak,” kata Sastro Kiwir.
***
Sudah tiga hari ini aku tidak mendengar suara mesin ketik dari rumah Sastro Kiwir. Rumah kami terpisah lahan kosong selebar tiga meter. Bila Sastro Kiwir sedang mengetik, suara mesin ketiknya terdengar sampai ke kamarku. Tetapi tiga hari ini, dari rumah lelaki tua itu tidak terdengar suara tik tik tik ... kreeek. Ah, mungkin si pengarang gaek itu sedang membaca buku untuk menambah ilmu dan wawasan.
Sore ini ketika aku pulang kerja, aku melihat Sastro Kiwir duduk di teras rumahnya. Ia berdiri dan melambaikan tangan ketika aku memasuki halaman istanaku. Ia melangkah gegas mendekatiku, lalu menyerahkan beberapa lembar kertas folio bergaris.
“Bisa kamu ketikkan naskah-naskah ini di laptopmu?” tanya Sastro Kiwir.
“Mesin ketik Pak Sastro rusak?” tanyaku dan menyilakan lelaki tua itu masuk.
Sastro Kiwir mengangguk.
“Pengatur spasinya macet.”
“Sudah dibawa ke tukang servis mesin ketik langganan Pak Sastro?”
“Sudah, tiga hari yang lalu,” sahutnya. “Tukang servisnya sakit. Kata isterinya, masuk angin dan kelelahan. Biasanya seminggu sudah baikan. Sudah biasa begitu. Nanti kalau tukang servisnya sudah sembuh dan mesin ketikku sudah beres, ia akan meneleponku.”
“Baiklah, Pak. Saya akan bantu.”
“Kalau bisa, naskah cerpen yang ini selesai nanti malam, yang lainnya menyusul. Besok aku akan mengirim cerpen yang ini dengan pos kilat khusus, agar dua hari kemudian sudah sampai ke redaktur. Aku sudah janji pada redaktur itu untuk membuatkan cerpen anak bertema detektif. Kau tahu kan apa itu redaktur?”
“Pak Sastro bercanda, ya? Masa tetangga pengarang tidak tahu apa itu redaktur?”
Pak Sastro terkekeh.
Aku melihat-lihat kertas-kertas folio bergaris pemberian Sastro Kiwir. Tulisan tangan lelaki tua itu tegak bersambung. Jelas dan mudah dibaca. Bagus sekali.
“Di laptop juga ada huruf model tegak bersambung, Pak,” kataku.
“Masa?”
“Iya, Pak. Makanya, Pak Sastro belajar pakai laptop, dong.”
Sastro Kiwir hanya terkekeh, lalu pergi.
Usai jamaah isya di masjid, aku ke rumah Sastro Kiwir menyerahkan naskah cerpen detektif yang sudah kuketik dengan laptop.
“Wah, rapi sekali, ya?” kata Sastro Kiwir.
“Makanya, Pak, beli laptop, dong.”
Sastro Kiwir terkekeh.
***
Dua hari kemudian aku hendak menyerahkan lagi tiga cerpen lainnya yang telah kuketik dengan laptop. Tetapi sore itu, rumah Sastro Kiwir sepi. Aku mencari-cari di sekitar teras rumahnya, mungkin lelaki tua itu meninggalkan kertas bertulisan pesan untukku, tetapi tak ada. Tetangga pun tak tahu. Tetangga hanya bilang, beberapa menit yang lalu terlihat Sastro Kiwir pergi dengan Vespa coklat bututnya.
Bakda isya, aku kembali ke rumahnya. Kulihat Sastro Kiwir termangu di kursi teras. Kuserahkan lembar-lembar kertas padanya. Ia mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Sorot matanya redup.
“Tadi sore Pak Sastro ke mana?” tanyaku, duduk di kursi dekatnya.
“Akhirnya, tiba juga apa yang kucemaskan,” gumamnya.
“Apa itu, Pak?”
“Sartono, tukang servis mesin ketik langgananku meninggal. Tadi sore aku melayat.”
Aku tertegun.
“Innalillahi wa innalillahi rojiun. Saya turut berduka, Pak.”
“Terima kasih,” sahutnya pelan.
“Terus, bagaimana dengan mesin ketik Pak Sastro? Apa sudah beres? Apa rencana Pak Sastro?”
Lelaki tua itu menggeleng pelan.
“Entahlah,” desisnya.
***
Hari Minggu aku libur. Duduk di teras membaca koran lawas yang kupinjam dari percetakan. Sekitar pukul 9 pagi, Sastro Kiwir berhenti di depan rumahku dengan Vespa coklat bututnya. Tanpa turun dari skuternya, ia memanggilku.
“Bisa antar aku?” serunya.
Aku turun dari teras dan mendekat.
“Ke mana, Pak?”
“Beli laptop.”
Aku bengong.
“Mau tidak antar aku?”
“Eh, iya, Pak. Sebentar, saya ganti baju dulu.”
Aku bergegas masuk rumah, mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian aku keluar mengenakan jaket kuning. Sastro Kiwir menyodorkan helm hitam padaku. Aku duduk di boncengan.
Sastro Kiwir mempercayakan padaku untuk memilih toko laptop dan laptop untuknya. Aku tahu laptop macam apa yang sesuai untuk lelaki tua itu. Usai membeli laptop, Sastro Kiwir mengajakku makan di warung Restu Ibu. Semur burung puyuh di warung itu enak sekali. Sastro Kiwir sering makan di warung itu sejak muda. Setelah itu kami pulang.
Dalam perjalanan pulang, Sastro Kiwir berkata, “Aku akan kursus laptop denganmu. Kamu mau bantu aku, kan?”
“Insyaallah, Pak.”
“Berapa biayanya?”
“Mm, berapa, ya? Satu juta per jam, Pak.”
“Oke.”
Aku tertegun.
“Tidak, tidak. Saya hanya bercanda, Pak.”
“Aku pun bercanda. Mana punya aku uang sebanyak itu?”
Sastro Kiwir terkekeh.
Vespa melaju santai. Dua perjaka tua membelah jalanan Batang, kota kecil di jalur pantura Jawa Tengah. Kota sekaligus ibukota kabupaten, yang bupatinya pernah masuk televisi karena meraih sebuah penghargaan. ***
Batang, Jawa Tengah, 2024