Masukan nama pengguna
Suatu malam, di sebuah kafe dengan ruangan bernuansa pink, di table nomor 5 yang dekat jendela, Mala berkali-kali mendengus. Mungkin sudah puluhan kali ia melakukannya; menghela napas lalu menghembuskannya dalam satu hembusan yang keras. Di depannya ada sebuah meja bundar dengan diameter tak terlalu lebar. Di meja itu ada dua gelas berbentuk tinggi dan ramping; satu gelas berisi orange juice yang isinya tersisa sedikit, satu gelas lagi masih utuh isinya.
Mala melirik jam tangannya. Pukul 21.10. Mala masih ingat, saat tadi ia masuk ke kafe itu lalu duduk di table dekat jendela, jam tangannya menunjukkan pukul 19 lebih sedikit. Mala menatap ke luar jendela, memperhatikan deretan motor yang berjejer rapi di tempat parkir. Sekali lagi Mala mendengus.
Mala menyedot orange juice di depannya hingga tandas. Mala merapatkan jaket, lalu beranjak, berjalan menuju kasir. Ia membayar untuk dua orange juice. Meski hanya satu orange juice yang telah habis ia minum, sementara satu gelas orange juice lainnya masih utuh, tapi Mala tetap harus membayar untuk dua orange juice yang telah dipesannya.
Mala keluar dari kafe, mencegat taksi.
“Ke mana, Mbak?”
“Jalan saja, Pak. Nanti saya beritahu ke mana,” Mala menyandarkan kepala ke sandaran kursi belakang. Taksi melaju pelan. Jalanan kota mulai lengang.
Mala memejamkan mata.
“Menunggu seseorang tapi tidak datang?”
Mala membuka mata. Ia menatap kaca spion dalam taksi, dan ia melihat refleksi mata si sopir.
“Gimana, Pak?” Mala menggeser duduknya, agar ia dapat lebih jelas menatap wajah –setidaknya kepala si sopir.
“Hanya menebak, Mbak,” sopir taksi menoleh sesaat, tapi cukup bagi Mala untuk memastikan bila si sopir masih muda.
“Maksud Mas?” tanya Mala, mengganti panggilan kepada si sopir dari Pak menjadi Mas –karena Mala yakin si sopir masih muda.
“Hampir tiap malam saya mendapat penumpang dari kafe itu. Beberapa diantara mereka sama seperti Mbak. Gelisah dan beberapa ada yang menangis,” jawab si sopir tanpa menoleh.
“Apa yang Mas ketahui tentang mereka?”
“Ada yang bahagia, sedih, atau kecewa.”
“Mas selalu bertanya masalah tiap penumpang Mas?”
“Tidak,” si sopir menggeleng. “Mereka yang bercerita tanpa saya minta. Mungkin mereka butuh teman curhat. Begitulah kehidupan sopir taksi, Mbak. Siap menampung masalah yang dihadapi penumpang,” sopir itu terkekeh.
Spontan, Mala ikut terkekeh.
“Kayak konsultan, dong?”
“Dan gratis, tidak tercatat di argo,” si sopir menimpali.
Mala tertawa.
“Kita ke mana nih, Mbak?”
Mala melihat di depan ada pertigaan. Mala berpikir sesaat.
“Ke kiri, Pak.”
Taksi berbelok ke kiri. Masih melaju pelan.
“Mas benar,” kata Mala kemudian.
“Menunggu seseorang tapi tidak datang?”
“Ya.” Mala mengangguk.
“Dia satu kampus dengan Mbak?”
“Ya. Kami bertemu saat masa orientasi kampus tahun lalu.”
“Pacar?”
Mala tertegun, tidak menjawab. Si sopir melirik kaca spion, memperhatikan reaksi penumpangnya.
“Entahlah. Ini semua dilema bagi kami, Mas.”
“Kami? Cinta segitiga?”
Mala tertegun lagi. Alisnya bertautan.
“Bagaimana Mas tahu? Apa Mas ini pengarang sehingga bisa tahu cerita hidup orang lain?”
Sekilas Mala melihat si sopir tersenyum.
“Saya sopir taksi, Mbak,” kata si sopir.
“Ya, ya, Mas sudah katakan tadi. Sopir taksi yang tahu banyak kehidupan penumpangnya.” Mala tersenyum.
“Boleh saya kasih saran, Mbak?”
“Saran apa?”
“Bila Mbak mengundangnya tapi dia tidak datang, maka tinggalkan saja dia.”
Mala terhenyak.
“Mengapa begitu?”
“Itu bukti yang cukup. Dia tidak datang menemui Mbak, karena dia tidak mencintai Mbak.”
“Oh,” suara Mala tercekat. Ia menghempaskan tubuh ke kursi. Memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Dari sudut matanya meleleh kristal bening. Mala sesenggukkan.
“Maafkan saya, Mbak. Saya tidak bermaksud .....”
“Tidak, Mas,” sergah Mala. “Mas benar. Dia tidak mencintai saya. Karena itu dia tidak datang.”
Mala menyeka air mata dengan punggung tangannya. Dari kaca jendela, Mala mengenali bila taksi telah memasuki daerah tempat tinggalnya.
“Di depan ada gang. Masuk saja ke gang itu, Mas.”
“Ya, Mbak.”
Taksi berbelok ke kiri, memasuki sebuah gang.
“Rumah bercat putih di depan, Mas. Berhenti di depan rumah itu.”
“Ya, Mbak.”
Mobil berhenti di depan rumah bercat putih.
“Tempat kos yang bagus,” kata si sopir.
Mala tersenyum, lalu membayar ongkos taksi.
“Ambil saja kembaliannya, Mas.”
“Terimakasih, Mbak,” sopir taksi menoleh ke belakang, dan itulah kali pertama Mala dapat melihat dengan jelas wajah si sopir.
Mala terpana. Oh my God! Sopir taksi yang tampan!
Si sopir mengeluarkan sesuatu dari saku baju seragamnya.
“Ini kartu nama saya, Mbak. Bila Mbak butuh taksi, bisa kontak saya. Tapi hanya siang sampai malam ya, Mbak. Kalau pagi saya kuliah. Psikologi.”
Mala masih terpana, tapi segera sadar, lalu menerima kartu nama itu, menyimpannya ke dalam dompet merahnya.
Mala keluar dari taksi. Taksi segera berbalik arah, melaju pelan meninggalkan Mala yang berdiri di depan rumah bercat putih, hingga akhirnya taksi itu berbelok dan menghilang di ujung gang.
“Mala.”
Seseorang muncul dari gardu ronda di sebelah rumah bercat putih.
“Yudi?” Mala tertegun.
“Aku mau bicara,” Yudi mendekati Mala.
“Cukup,” sergah Mala. “Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kamu tidak datang ke kafe itu. Kamu telah memilih Renata. Itu kesepakatan kita. Cukup! Tak perlu kamu jelaskan mengapa kamu matikan hapemu. Cukup! Selamat malam!”
Mala membuka pintu pagar, menuju pos satpam.
“Pak Jamin, tolong usir dia,” pinta Mala menunjuk ke arah Yudi yang masih berdiri di luar pagar.
“Siap, Mbak!”
Mala berjalan melintasi halaman, melintasi koridor, melintasi kamar-kamar yang berderet, mengambil kunci di dompet, membuka pintu kamarnya yang terletak di pojok lantai satu. Semua ia lakukan tanpa menoleh ke belakang. Mala tak peduli dengan apa yang terjadi pada Yudi. Benar-benar tak peduli.
Di dalam kamar, Mala melepas jaket lalu menggantungnya di balik pintu. Melempar dompet merahnya ke meja belajar. Mala tertegun. Ia pandangi dompet merahnya beberapa saat. Lalu ia meraih dompet itu, membukanya, mengeluarkan sebuah kartu nama.
Mala membaca kartu nama itu. Ada foto si pemilik di pojok kiri kartu. Oh, ganteng sekali. Mala tersenyum. Mala menggenggam kartu nama itu, seperti menggenggam sesuatu yang pasti akan diraih.
Mala melempar tubuhnya ke springbed warna pink bergambar Barbie. Senyum mengembang di bibirnya tiada henti. Malam ini Mala ingin bermimpi. Bermimpi tentang cowok ganteng mahasiswa psikologi. Aha!
***SELESAI***