Masukan nama pengguna
Dada Andre berdegup, ingin berontak, tidak rela Satria kesayangannya harus dijual. Bagaimana ia harus mempertahankan gengsi di hadapan cewek-cewek, bila tak lagi menunggang motor berkelir hitam gagah itu?
“Apa nggak ada cara lain, Yah?”
“Apa kamu punya cara lain?”
Andre diam. Nyaris sepanjang hidupnya, ia tidak memikirkan bagaimana memecahkan beragam permasalahan. Selama ini ia selalu berada pada posisi pasif, terima jadi, seperti ketika dua tahun lalu saat akan masuk SMA, ia hanya mau terima jadi, harus dibelikan motor Satria berkelir hitam yang gagah. Bila tidak, ia tidak mau melanjutkan sekolah. Biar jadi pengangguran pun tak masalah.
“Sudah saat bagi kamu belajar menjadi satria,” kata ayah, lalu mengeluarkan ponsel Nokia X3 zadul dari saku celana. Ayah menelepon seseorang.
“Calon pembelinya masih di jalan. Sebentar lagi sampai,” kata ayah, lalu turun dari teras, melangkah menuju pintu pagar. Memandang ke sudut gang, menunggu seseorang.
Andre duduk di kursi teras. Dadanya berdegup makin kencang. Ia memandang Satria hitam di depannya, rasanya ingin sekali memeluk motor itu. Mata Andre mulai terasa panas, lalu masuk rumah, melemparkan tubuh ke sofa ruang tamu.
Andre menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Ia memejamkan matanya yang memerah, sementara tangannya mencengkeram tepian sofa. Dadanya naik turun. Setetes air meleleh dari sudut matanya.
Beberapa saat kemudian Andre membuka mata. Di depannya, pada dinding ruang tamu bercat coklat muda, tergantung sebuah foto keluarga. Foto yang dibuat beberapa tahun silam, di sebuah studio foto. Sebuah foto keluarga; ada Andre, ayah, ibu, dan Lintang kakak perempuannya.
Tatapan Andre tertuju pada sosok Lintang dalam foto itu. Hati dan pikiran Andre segera menyalahkan Lintang sebagai biang keladi semua ini. Lintang akan wisuda, butuh biaya banyak, sementara ayah sudah setahun ini kerja serabutan setelah kena PHK dari pabrik tekstil.
Suara motor berhenti di depan rumah. Dari balik kaca jendela ruang tamu, Andre melihat ayah membukakan pintu pagar, lalu motor yang tadi berhenti –sebuah Vario hitam—melaju pelan memasuki halaman. Pengendara Vario itu seorang pemuda usia tanggung dan pemboncengnya seorang bapak—seusia ayah Andre—turun dari motor itu.
Lalu prosesi jual beli pun terjadi. Ayah sebagai penjual mempersilakan si pembeli melihat dan memeriksa kondisi Satria berkelir hitam gagah di teras.
Andre tak sanggup melihat peristiwa itu, meski dari balik kaca jendela ruang tamu sekalipun. Andre bergegas berlari ke kamarnya yang terletak di bagian belakang. Ia membanting pintu kamar! Ia tidak peduli seandainya ayah dan si pembeli motornya itu mendengar suara bantingan pintu! Ia tidak peduli, benar-benar tidak peduli!
***
Andre tidak mau sarapan. Saat hendak berangkat sekolah, ia hanya mencium tangan ibu, tapi tidak pada ayah dan terutama pada Lintang. Sepanjang perjalanan menuju halte, Andre selalu menunduk, ia merasa seakan dunia sedang menertawakannya.
Bergelantungan di bus kota, wajah Andre begitu suram. Bibirnya cemberut. Sial, Andre harus bergelantungan di bus kota sampai halte dekat sekolahnya. Andre turun dengan langkah berat, memasuki area sekolah dengan menyisir ke tempat yang sekiranya tidak terlihat oleh teman-teman sekelas.
Andre tidak tahu apa ia sanggup menerima beragam pelajaran hari ini dengan menyandang status sosial yang turun drastis? Dari seorang cowok bertungganggan Satria berkelir hitam gagah menjadi seorang cowok yang berjalan kaki dengan langkah berat.
***
Andre sudah mempercepat langkahnya dan berharap Inez tidak menemukannya. Tetapi ia mendengar seseorang memanggilnya, ketika ia sampai di dekat gerbang sekolah. Andre menoleh dan melihat Inez berlari ke arahnya.
“Tadi pagi aku menunggumu di tempat parkir, tapi kamu nggak ada. Kamu parkir motormu di mana, sih? Hape kamu juga nggak aktif,” tanya Inez dengan napas memburu.
“Ada apa?” Andre tak ingin menjawab pertanyaan perihal motornya.
“Antar aku ke Gramedia, dong. Aku mau beli majalah.”
“Aku nggak bawa motor. Motorku dijual sama ayah.”
Inez tertegun. Andre tak peduli. Sekarang atau nanti, Inez pasti tahu keadaan yang sebenarnya.
Inez mundur beberapa langkah, lalu berlari menjauh, entah ke mana. Sepasang mata Andre hampir tiada bercahaya menatap kepergian Inez. Dada Andre berdegup melihat Inez, cewek yang selama ini dekat dengannya berlari menjauh ketika mengetahui ia tidak bermotor lagi.
Andre menghela napas, membetulkan posisi tas punggungnya, lalu melangkah menuju halte.
“Mas, Mas, pulpenmu jatuh,” seru seseorang dari belakang.
Andre menoleh. Seorang gadis berjilbab putih menyodorkan pulpen padanya.
“Ini pulpen Mas?” tanya gadis itu.
“Ya. Terimakasih, ya?” sahut Andre meraih pulpen itu, lalu menyelipkannya di saku baju putihnya.
“Sama-sama,” jawab gadis itu tersenyum.
Berdiri menunggu bus di halte, diam-diam mata Andre mencuri pandang pada gadis berjilbab putih itu. Diam-diam pula Andre menggeser tubuhnya hingga mendekati gadis itu. Tinggi gadis itu sebatas telinga Andre. Kelas berapa dia, siapa namanya? Ah, ada dorongan di dada Andre untuk mengenal gadis itu.
Andre hendak menyapa gadis itu, tapi bus kota telah datang. Anak-anak yang telah menunggu di halte bergegas naik, termasuk gadis itu. Tanpa pikir panjang, Andre pun ikut masuk. Tak ada kursi kosong, dan Andre merangsek di antara penumpang yang berjubel, agar bisa bergelantungan dekat gadis itu.
Bus kota melaju pelan. Jalanan di Semarang padat siang itu. Kondektur bus kota itu seorang cewek berjilbab hitam, mendekati Andre, meminta cowok itu menunjukkan tiket.
“Turun mana, Mas?”
“Mangkang.”
“Aduh, salah bus, Mas. Ini jurusan Penggaron.”
Andre melongo. Gadis berjilbab putih di dekatnya tersenyum.
“Terus gimana, Mbak?”
“Nanti Mas transit di halte Simpang Lima saja,” kata kondektur.
Andre mengangguk. Sepuluh menit lagi bus akan sampai Simpang Lima. Baiklah, itu waktu yang cukup bagi Andre untuk mengetahui siapa nama gadis manis berjilbab putih itu. Kelas berapa, berapa nomor hapenya, tinggal di mana, dan sederet data lain tentang gadis manis itu. Andre akan memanfaatkan sebaik-baiknya waktu yang singkat itu. Andre yakin mampu melakukannya.
***SELESAI***