Cerpen
Disukai
4
Dilihat
5,247
Sepasang Mata Bola di Kereta
Slice of Life

Terinspirasi dari: [SEPASANG MATA BOLA & ISMAIL MARZUKI]


Kutatap sepasang bola matamu lewat layar tv, air mataku runtuh begitupun dengan duniaku. Tak pernah sekalipun terpikir bahwa orang yang kutemui kurang dari dua jam berhasil menjadi pusat duniaku. 


***

Sore itu November musim penghujan, aksi unjuk rasa para mahasiswa dan buruh terkait rancangan UU semakin memanas, apalagi ditambah pemerintah yang mengirimkan pasukan bersenjata. Hal ini membuat jalanan di Jakarta semakin lumpuh; beberapa jalanan diblokir, kendaraan dialihkan, kemacetan di mana-mana. Akhirnya tak sedikit warga beralih menggunakan KRL, tak terkecuali Husein.

Mahasiswa semester akhir itu berjalan sempoyongan menuju peron yang dibanjiri manusia dengan bunyi snacer-nya yang berdecit karena basah. Begitu menjejalkan diri ke dalam gerbong, kepala Husein rasanya nyaris meledak, pasalnya dia harus berdesak-desakan di gerbong pengap dengan berbagai macam orang beserta aroma keringat bercampur wewangian yang menyengat.

Husein memijit pelipisnya, tidak hanya pening kerongkongannya pun terasa kering, sebab seharian ini dia terus berteriak memuntahkan aspirasi masyarakat sambil berjemur seperti ikan asin. Terlebih dia belum makan nasi sesuap pun, hanya roti tawar dengan gula pasir, itu pun pagi tadi. Meski begitu tak sekalipun dia menyesali keputusannya ikut andil membela masyarakat, hanya saja dia menyesali dua hal; menolak pulang menggunakan motor bersama Bahrudin— temannya, dan menunda memakan promagh. 

Begitu kereta meleset, tiga belas menit kemudian hujan kembali turun— pada momen itu Husein merasa ada yang salah, sesuatu yang tidak pada tempatnya, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pada siapa pun. Husein mencengkram ranselnya.

Dia baru saja memergoki seorang pria paruh baya bertubuh lemak tengah menggerayangi seorang gadis menggenakan seragam sma— meraba punggungnya.

Apa yang harus aku lakukan? Husein terus memandangi gadis yang sedang celingukan dengan raut bingung dan panik memandangi sekitar, kemudian mata mereka saling berserobok. Husain memalingkan wajah dari gerbong di depannya— pura-pura tidak tahu apa pun.

Kau begitu payah!

Jadi, apa artinya demo bagimu ketika ada seseorang yang membutuhkanmu tapi kau malah diam? 

Hanya untuk memamerkan bahwa kau pahlawan pembela masyarakat?

Hati dan pikiran Husein terus bergelut, hingga kepalanya kembali pening. Husein memberanikan diri kembali memandang gadis itu. Dia tersentak begitu dua mata gadis itu sedang memandanginya, penuh harap dan ketakutan seolah-olah mata gadis itu berkata; lindungi aku pahlawan daripada si angkara murka!

Tapi Husein tau dia bukan pahlawan, dan tak akan pernah menjadi pahlawan, bahkan pahlawan kesiangan sekalipun.

***

Dengan panik Gayatri memandang sekeliling, mencoba mencari tangan yang baru saja meraba punggungnya dan nyaris bergerak ke bawah— tidak ada yang mencurigakan, pemandangan yang biasa; seorang yang tengah mengobrol, pria bersetelan jas yang sedang tidur, seorang kakek yang tengah menguap, wanita yang sedang menepuk-nepuk balita di pangkuannya, selebihnya orang-orang sibuk menatap layar handphone.

Dari kejauhan, Gayatri memergoki seseorang tengah memandangnya, tapi kemudian pria itu memalingkan wajah. Tak lama kemudian pria itu kembali menatapnya. Pipi Gayatri memerah, antara malu dan kesal. Namun dibalik emosi itu, tanpa sadar Gayatri tengah mengharap pertolongan— meski dia sendiri tidak tahu persis, apakah pria itu tahu atau tidak sesuatu yang menjijikan baru saja menimpa dirinya.

Belum sempat bernapas lega, Gayatri merasakan sebuah tangan kembali menggerayangi punggungnya, kemudian turun ke paha. Alih-alih berteriak memakinya, Gayatri mematung ketakutan, dia terlalu malu untuk mengundang keributan, jadi yang bisa dia lakukan hanyalah bergeser, menghindar sejauh mungkin yang ia bisa.

Hingga tangan pria lain— pria yang sempat di pandanginya— berhasil menangkap pelaku. Gayatri merasa lega, namun kakinya terasa lemas ketika puluhan pasang mata kini memandangnya. Beberapa memandangnya iba, beberapa yang lain memandang dengan rasa penasaran, jijik, dan penuh hasrat.

Gayatri menunduk dengan mata berkaca-kaca, hingga seorang wanita mendekat dan merangkulnya, semata-mata berusaha menenangkannya. 

Dengan linglung, Gayatri bisa mendengar adu cekcok.

"Apa yang kau bilang Nak! aku melecehkannya? Kau gila!"

"Jangan mengelak Pak, aku melihatnya sendiri —"

"Hei Nak, Aku tak pernah sekalipun menyentuhnya. Asal kau tahu aku baru saja berbicara di telpon, Nak!"

"Aku melihat segalanya Pak, aku punya bukti, aku merekamnya! tangan kirimu memang kau gunakan untuk menelpon, tapi yang satunya lagi kau gunakan untuk menyentuhnya!"

Setibanya di stasiun Cikarang, pria itu bersama beberapa orang dewasa, mengadukan pelaku ke petugas KRL. Bersama Gayatri, mereka akhirnya membawa pelaku ke kantor polisi terdekat. Di sana Gayatri dan saksi mata dimintai keterangan, sementara sebuah video ditunjukan. Pelaku itu akhirnya ditahan.

Gayatri duduk di ruang tunggu menunggu orang tuanya datang menjemputnya sambil menggigiti kuku, sementara kakinya bergerak-gerak gelisah. Gayatri berjengit begitu seorang duduk di sampingnya, pria itu menawarinya sebotol air putih. "Aku Husein, mau minum?"

Gayatri nampak ragu-ragu sebelum akhirnya dia meraihnya. "Gayatri. Terima kasih." 

Gayatri meneguknya, setelahnya ia menunduk agak lama, kemudian tiba-tiba tangisnya pecah.

Husein nampak bingung, dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghibur dan menenangkannya, jadi dia hanya meraih ikat kepala di tas ranselnya, melipatnya, dan menyerahkannya pada Gayatri. "Belum sempat kupakai kok."

Gayatri meraihnya, kemudian dia menggunakannya untuk mengelap air mata dan ingusnya, namun dia tidak berhenti menangis.

Husein menggaruk tengkuknya. "Jangan takut, ini bukan salahmu. Mau kuantar pulang?"

Gayatri menggeleng bersamaan dengan itu, ibunya tiba. Beliau langsung meraih dan mendekapnya. "Tidak apa-apa sayang, sekarang kau aman." 

Tangis Gayatri kembali pecah.

***

Video pelecehannya sempat viral di media sosial. Membaca ulasan yang cukup positif, Gayatri akhirnya memberanikan diri bercerita lewat twitter. Dia ingin supaya tidak ada lagi korban seperti dirinya yang hanya terdiam ketakutan dan pasrah. Dan siapa sangka tulisannya trending. Selain mendapat ulasan positif, banyak orang yang men-dm— memberi dukungan sekaligus menguatkannya. 

Gayatri bersyukur. Tiba-tiba dia kembali teringat pria yang telah menolongnya, Husein. Dia ingin mengembalikan ikat kepalanya, dan mentraktirnya makan, semata-mata sebagai ucapan terima kasih, tapi bahkan dia tidak tahu alamat rumah, nama Ig atau bahkan nomor ponselnya.

Hingga suatu malam, ketika Gayatri tengah kembali mengikuti acara demonstrasi di televisi yang kian hari kian memanas hingga merenggut beberapa nyawa mahasiswa, Gayatri bisa melihat nama itu ikut terpampang jelas di layar televisi.

Ditatapnya sepasang mata bola milik Husein lewat layar tv, air matanya runtuh begitupun dengan dunianya. Tak pernah sekalipun terpikir bahwa orang yang dia temui kurang dari dua jam berhasil menjadi pusat dunianya.

Sebulan setelahnya Gayatri tidak sengaja menemukan DM Instagram milik Husein yang tenggelam; Hai, ini aku Husein, masih ingat? Semoga kita bisa bertemu lagi ya! 

Lidahnya kelu, hati Gayatri kembali kacau, benar-benar kacau.

***




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)