Cerpen
Disukai
3
Dilihat
16,604
Semua Rumah Ada Tikus
Drama

Banyak tikus di rumah Halimah, meski rumahnya bersih beraroma apel segar. Mungkin karena dekat persawahan. Mungkin karena sedang musim tikus berbarengan dengan musim durian. Mungkin karena anu, mungkin karena ini dan itu. Saat malam tikus-tikus berseliweran di segenap penjuru rumah; datang dan pergi seperti siluman. Tikus-tikus itu bagai penjajah menyebalkan!

Misi keluarga itu sekarang adalah: membebaskan rumah mereka dari penjajahan tikus!

“Kita pakai racun tikus saja. Beli di Shopee atau Lazada,” usul Herman, suaminya, suatu malam.

“Jangan. Nanti tikusnya mati di sembarang tempat. Repot kita,” sahut Halimah.

“Pakai jebakan saja, Ibu,” usul Astuti, anaknya.

“Bagaimana, Yah?” timpal Halimah, memandang suaminya.

Masih pukul 19.45, toko perabot di ujung gang tentu masih buka. Herman membeli jebakan tikus berbentuk kurungan dari besi. Beli dua sekaligus. Satu kurungan dipasang di dapur, satu lagi di ruang tengah. Pagi hari, dua tikus terjebak dalam kurungan itu. Tetapi tikus-tikus lain masih bermunculan tiap malam.

“Bagaimana ini?” tanya Halimah terdengar putus asa.

“Kita pakai lem tikus saja, Ibu. Bisa kita pasang di banyak tempat,” usul Astuti.

“Benar juga. Bagaimana, Yah?” timpal Halimah.

Herman membeli lem tikus. Ia memotong kardus bekas mi instan menjadi lima potongan. Tiap potongan kardus diolesi lem tikus, lalu diletakkan di berbagai sudut di dalam rumah. Pagi hari, banyak tikus lengket di potongan kardus berlem tikus itu.

Ketika lem tikus habis, Herman membelinya lagi. Tetapi tikus-tikus belum juga hilang dari rumah. Sungguh menyebalkan!

“Bisa bangkrut kita kalau beli lem tikus terus,” keluh Herman suatu malam. Mereka juga telah membeli banyak kardus bekas, memotong-motongnya, mengolesinya dengan lem tikus, namun semua terasa sia-sia.

***

Suatu hari ibu datang berkunjung, membawa seekor kucing cokelat muda polos, sewarna baju pramuka. Kucing itu tidak terlalu besar. Kata ibu, usia kucing itu sekitar tujuh bulan. Ibarat manusia, kucing itu masih remaja; lincah, gesit, dan agresif.

Ibu punya empat kucing di rumahnya. Satu ekor kucing, yang termuda, dibawanya ke rumah Halimah.

“Aku dengar kalian bermasalah dengan tikus,” kata ibu, membelai kepala kucing cokelat itu yang terdiam manja dalam pondongannya.

“Lebih dari bermasalah, Ibu. Tikus-tikus itu adalah teror bagi Imah dan keluarga. Tiap malam kami nyaris sulit untuk tidur nyenyak,” sahut Halimah.

“Semua rumah ada tikus,” kata ibu.

“Sepertinya begitu. Rumah Raffi Ahmad yang megah dan mewah juga ada tikusnya. Imah melihatnya di tivi,” tukas Halimah.

Ibu tersenyum, membungkukkan badan, lalu dengan lembut menurunkan kucing pramuka itu ke lantai. “Namun, tak semua rumah ada kucing,” kata ibu.

 “Tapi, Ibu. Bagaimana kalau kucing ini memakan tikus di dalam rumah? Hiii,” sahut Halimah bergidik, jijik.

“Jangan kawatir. Ini kucing yang pintar,” jawab ibu.

“Apa kucing ini punya nama, Ibu?” tanya Halimah.

“Ya. Namanya Hunter, karena ia pandai berburu.” jawab ibu.

Kucing itu mengeong, lalu berjalan menuju dapur. Kepalanya menengok ke segala arah, hidungnya seperti mengendus sesuatu. Ia bergerak cepat ke belakang lemari makan, belakang mesin cuci, belakang kulkas, lalu berlari ke kamar Halimah.

“Hunter mengendus jejak tikus,” kata ibu.

“Wah, kucing hebat!” seru Halimah kagum.

***

Keluarga itu berharap bisa tidur nyenyak. Ada Hunter yang menjaga rumah dari gangguan tikus. Namun, tengah malam mereka terbangun dan keluar dari kamar masing-masing. Mereka mendengar suara Hunter mengeong dan menggeram, suara benda-benda berjatuhan, serta suara cericit tikus.

“Di dapur!” seru Halimah.

Di dapur, mereka melihat Hunter sedang mengejar seekor tikus yang gesit menghindar, berlari ke belakang lemari makan, belakang mesin cuci, belakang kulkas.

Tikus itu melompat ke meja dapur yang terdapat teko, gelas, wadah gula, dan perabot lainnya. Hunter terus mengejar, tak peduli pada benda-benda di sekitarnya. Dapur jadi berantakan.

Hunter masih gigih mengejar hingga berhasil menangkap tikus itu. Tikus itu tak berdaya dalam cengkeraman mulut Hunter. Hunter sigap berlari meninggalkan dapur. Halimah, Herman, dan Astuti bergegas pula mengikuti.

“Gawat, Ayah. Hunter ke kamar kita!” seru Halimah cemas.

Halimah dan Herman bergegas ke kamar mereka dan melihat Hunter melompat ke meja rias, melompat lagi ke atas lemari pakaian, lalu melompat ke lubang ventilasi di atas jendela kamar. Melalui lubang ventilasi itu, Hunter pergi dari rumah membawa tikus.

Halimah, Herman, dan Astuti takjub bagai melihat adegan film kartun. Hunter begitu lincah membawa mangsanya pergi dari rumah.

“Luar biasa, kucing hebat!” seru Halimah dengan mata membelalak.

Hari-hari berlalu, tikus-tikus di rumah Halimah sudah berkurang. Kalau ada yang berani muncul, pasti segera disergap oleh Hunter.

***

Suatu malam Hunter bertarung dengan tikus yang besar dan gemuk. Dua hewan yang secara hukum alam saling bermusuhan itu saling berhadapan seperti banteng dan matador. Tikus gemuk itu bukan lari, tetapi malah menyerang hunter. Dapur menjadi medan pertempuran mereka.

Halimah, Herman, dan Astuti mengintip pertarungan itu dari balik dinding ruang tengah.

“Mungkin itu ratu tikus,” bisik Herman.

“Ratu atau bukan, aku tak peduli. Lihatlah, dapurku berantakan,” sahut Halimah, mendengus, membayangkan kerepotan dirinya membersihkan serpihan-serpihan gelas, piring, dan barang pecah lainnya.

“Apakah Hunter akan menang?” bisik Astuti. Gadis 12 tahun itu menggigit bibir menahan jantungnya yang berdebar kencang antara takut dan jijik.

“Berdoalah begitu,” sahut Herman.

Hunter melompat hendak menerkam namun disambut tikus itu dengan lompatan pula. Tubuh mereka beradu di udara, keduanya jatuh bergulingan di lantai. Hunter menggeram, tikus mencericit. Dalam satu terkaman berikutnya, Hunter mengunci gerak tikus itu dengan taring-taringnya yang berkilat ditimpa cahaya lampu dapur. Hunter berlari keluar dari dapur.

“Gawat, Ayah. Jangan ke kamar kita!” seru Halimah dan secara refleks berseru kepada kucing itu, “Hunter, jangan ke sana!”

Tetapi, Hunter telah masuk ke kamar Halimah. Mangsanya sempat lepas di ranjang, meninggalkan setetes darah di sprai. Hunter masih agresif, kembali menggigit tikus itu yang tampak mulai tidak berdaya. Hunter hanya berputar-putar di kamar Halimah, tidak membawa mangsanya pergi melalui ventilasi seperti biasanya.

“Oh, celaka, jangan makan tikus itu di kamarku!” pekik Halimah.

“Pintu depan!” sahut Herman, lalu berlari membuka pintu rumah. “Giring Hunter keluar, cepat!”

Keluarga itu bersama-sama menghalau Hunter agar keluar dari rumah. Hunter memang pintar, ia mengerti kemauan tuannya; ketika gagal melompat ke ventilasi kamar, ia bergerak keluar kamar menuju pintu depan rumah yang terbuka, lalu melompat dan menghilang di keremangan halaman rumah.

Keluarga itu menghela napas lega. Malam ini Halimah menolak tidur di kamar yang ranjangnya ternoda darah tikus.

“Semoga ini malam terakhir kita dijajah tikus,” kata Halimah. Wanita 35 tahun itu duduk di sofa ruang tamu, melepas lelah dan tegang.

“Ibu dan ayah mau tidur di sini? Astuti tidur di ruang tengah saja,” kata Astuti. Di ruang tengah ada sofa tempat mereka biasa duduk menonton televisi.

Herman menggelar kasur busa tipis di lantai, di dekat meja tamu. Membaringkan diri.

“Mungkin itu memang ratu tikus. Lantas, apa kita telah merdeka?” gumam lelaki 37 tahun itu, berusaha memejamkan mata.

***

Kini ada kesibukan baru dalam keluarga Halimah. Mereka harus merawat Hunter. Astuti secara rutin memandikan Hunter dan Herman membuang kotoran kucing itu. Sedangkan Halimah, kalau sedang belanja ke minimarket, selalu membeli makanan kucing. Itu membuat pengeluarannya bertambah.

“Tak apa, kita bisa menghemat untuk hal lain,” kata Halimah tersenyum bijak. Herman tersenyum lega. Astuti tersenyum ceria.

Mereka tetap memelihara Hunter karena mereka yakin bahwa, seperti kata ibu, semua rumah ada tikus.

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)