Flash
Disukai
1
Dilihat
16,447
Rumah Murah Berhantu
Drama

Herman membeli rumah itu dengan susah payah. Dalam keadaan normal, harga rumah itu selangit. Herman membelinya sangat murah, karena rumah itu berhantu.

Sebulan setelah menempati rumah baru, pada suatu malam Minggu saat Herman duduk di pos ronda menanti warga lain datang, seorang tetangga bertanya, “apakah kau sudah menemukan hal-hal aneh di rumahmu?”

Rumah di dekat pertigaan di RT 04/RW 02 Kelurahan Kamulyan itu berkamar tiga, ruang tamu, ruang tengah, dapur, dua kamar mandi, dan gudang yang sempit. 

Di depan ada halaman yang cukup untuk membangun garasi. Di sebelah timur dan belakang rumah masih ada sedikit tanah untuk menanam cabai atau sayuran lain. Di sebelah barat ada sepetak tanah kosong. 

Herman membeli rumah itu seharga Rp150 juta. Harga yang miring. Kata si pemilik lama, ia sedang butuh uang. Herman tak punya uang sebanyak itu. Marina, istrinya, meminjam uang dari kantornya. 

Itulah enaknya punya istri pegawai bank. Itu pula sebab Herman mengatakan dirinya membeli rumah itu dengan susah payah; karena harus memikirkan bayar cicilan bank.

Herman dan Marina cepat membaur dan akrab dengan warga. Kalau malam, meski bukan giliran jaga, Herman suka nongkrong di pos ronda. Marina, kalau ada waktu luang, menyempatkan ikut kegiatan ibu-ibu PKK. Dari pembauran itu mereka mendapatkan berbagai informasi tentang rumah mereka.

Konon, rumah mereka semula adalah tempat kos mahasiswi. Ada sebuah universitas di dekat situ, tetapi kemudian kampus itu pindah ke daerah pinggiran di selatan kota. 

Bekas kampus itu kini menjelma mal dan hotel. Ah, di negeri ini mal dan hotel memang selalu menang. Banyak tempat kos yang tutup; sebagian beralih fungsi untuk usaha lain, sebagian dijual oleh pemiliknya. 

Si pemilik lama sudah sekian lama menawarkan rumah itu, tapi tak jua laku. Kabarnya, karena harga yang ditawarkan terlalu tinggi. Semula rumah itu ditawarkan seharga Rp 750 juta. Tetapi, kabar yang santer karena rumah itu berhantu.

Konon, ada mahasiswi bernama Poppy yang meninggal di rumah itu. Meninggalnya sih di rumah sakit, karena paru-paru basah, tetapi karena si mahasiswi kos di rumah itu, ya dikait-kaitkanlah. 

Usia Poppy 20 tahun saat meninggal. Kabarnya, arwah Poppy sering pulang ke rumah itu. Satu per satu penghuni kos meninggalkan rumah itu. Lantas, si pemilik rumah memutuskan untuk menjualnya.

Waktu Herman dan Marina sedang proses tawar-menawar dan mencari informasi tentang rumah itu, cerita tentang hantu itu pun mampir ke telingga mereka.

“Bagus itu. Semakin banyak hantu di rumah itu, harganya akan semakin miring,” kata Marina yang berambut pendek, jangkung, dan gemar memakai kemeja kotak-kotak serta celana jins. Wanita tomboy seperti Marina, mana takut pada hantu?

Marina tampak terpikat dengan rumah itu, terutama karena tiga kamarnya. Itu sesuai dengan rencana hidupnya. Marina ingin punya dua anak dan untuk itu mereka harus punya rumah dengan minimal tiga kamar. Herman pun ingin segera punya momongan. Meski, dua tahun mereka menikah, belum ada tanda-tanda akan hadir tangis si kecil.

***

Herman menyelesaikan kalimat penutup lalu menekan tombol enter. Selesai sudah novel ke-17 karyanya. Lelaki berambut ikal itu menatap layar laptop dan tersenyum lega. Ia meraih cangkir kopi di dekat laptop, lalu menyeruputnya hingga tandas. 

Angin berkesiur di kamar berukuran 4 x 4 meter itu, menyentuh wajah Herman. Herman tersenyum, lalu menekan keyboard laptop merahnya.

“Selamat pagi. Apa kabar, Poppy?” tulis Herman.

Herman menjauhkan kedua tangannya dari keyboard. Sesaat kemudian ia melihat beberapa tombol keyboard bergerak naik turun dan di layar laptop muncul tulisan.

“Pagi. Kabar baik, Om. Sudah selesai novelnya, Om?”

Sekarang, gantian Herman yang mengetik.

“Sudah,” tulis Herman.

“Novel tentang apa, Om?”

“Tentang seorang lelaki paro baya yang merindukan anak,” tulis Herman.

“Apakah itu cerita tentang Om Herman sendiri?”

“Tidak sepenuhnya, Poppy. Om masih muda, sedangkan tokoh dalam novel itu sudah paro baya,” tulis Herman.

“Tetapi, Om Herman ingin punya anak juga, kan?”

Herman tertegun. Menatap layar laptop beberapa saat. Setelah menghela napas, Herman mengetik lagi.

“Begitulah, Poppy. Om ingin sekali punya anak,” tulis Herman.

“Bagaimana kalau Poppy jadi anak Om Herman saja?”

Herman kembali tertegun. Angin berkesiur sekali, membelai wajah Herman.

“Kau serius, Poppy?” tulis Herman.

“Ya, Papa Herman. Poppy serius.”

“Baiklah, Poppy. Terima kasih kau mau menjadi anak saya,” tulis Herman.

“Sama-sama, Papa Herman. Oh, ya, Poppy mau ucapkan terima kasih sama Papa Herman.”

“Terima kasih soal apa?” tulis Herman.

“Dulu, para penghuni kamar ini suka bakar kemenyan untuk mengusir Poppy. Tetapi, Papa Herman tidak melakukannya. Terima kasih ya, Papa Herman? Tahu nggak, bau kemenyan itu bikin Poppy mual.”

Herman terkekeh.

Begitulah. Herman menemukan semangat hidupnya yang sempat surut. Herman tak lagi memikirkan vonis dokter bahwa dirinya mandul. Ia tak lagi merindukan tangis si kecil. 

Kini Herman sudah memiliki anak; si Poppy yang selalu membawa kesiur angin di kamar bila datang. Tetapi, ini rahasia. Kalian jangan bilang siapa-siapa, ya? ***  

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)