Masukan nama pengguna
Hujan deras mengguyur jalanan Cirebon saat seorang ibu muda bernama Risa berusaha menahan kontraksi yang semakin menyiksa. Suaminya, Anton, baru saja pergi mencari pertolongan karena mobil mereka mogok di tengah perjalanan menuju klinik bersalin. Jarak ke kota terlalu jauh, dan satu-satunya bangunan yang tampak hidup di kegelapan malam itu hanyalah bangunan tua bertuliskan: “RSU Arjawinangun”.
Dengan tubuh menggigil dan perut yang nyaris pecah, Risa menyeret dirinya masuk ke dalam rumah sakit yang tampak... aneh. Lampu-lampu menyala kekuningan, suara langkah kaki terdengar samar, dan suara pengumuman lewat speaker memanggil dokter ke ruang gawat darurat. Risa merasa lega. “Syukurlah... rumah sakitnya masih berfungsi.”
Seseorang menyambutnya di lorong. Seorang perawat berseragam putih klasik—lengkap dengan topi kecil khas perawat zaman dulu—tersenyum lembut dan menuntunnya masuk. “Tenang, Bu. Saya akan bantu,” katanya.
Mereka masuk ke kamar 308, kamar bersalin. Risa nyaris tak sadar karena rasa sakit yang luar biasa. Ia hanya ingat bau obat yang menyengat, dinding kusam, dan suara instruksi lembut dari perawat itu. “Tarik napas… dorong… bagus, Bu.”
Tangis bayi menggema di kamar itu. Risa menangis lega, mencium bayi mungil yang diletakkan di dadanya. “Terima kasih, Bu Perawat…” ucapnya lirih.
Perawat itu hanya tersenyum. “Istirahatlah, Risa. Kamu dan bayimu aman di sini.”
Pagi menjelang. Risa terbangun oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar. Tapi kamar itu kini gelap, berdebu, dan dipenuhi sarang laba-laba. Bau amis dan busuk memenuhi ruangan. Ia melihat ke sekitar—meja, lampu operasi, semuanya hancur, ditutupi debu dan lumut. Bahkan ranjang tempat ia berbaring sudah berkarat.
Dan yang lebih mengerikan bayinya tidak ada.
Panik, Risa berlari keluar lorong sambil berteriak memanggil. Tapi lorong itu kosong, lampunya mati, dan hanya terdengar suara angin menerpa jendela pecah. Dinding-dinding mengelupas, alat medis berserakan tak terurus. Rumah sakit itu... sudah lama ditinggalkan.
Di lobi, ia melihat sebuah foto tua di dinding yang sudah miring. Foto perawat wanita dengan nama: Suster Retno, gugur dalam tugas saat wabah tahun 1998. Risa menjerit. Itu wajah perawat yang menolongnya tadi malam.
Anton tiba dengan polisi dan petugas medis tak lama setelah itu. Mereka menemukan Risa duduk di lobi sambil memeluk sesuatu yang tak terlihat. Ia tersenyum sambil berbisik, “Bayiku sudah selamat, Suster yang baik menjaganya…”
Namun tak ada bayi, tak ada ranjang bersalin, dan tak ada perawat. Petugas menyatakan bahwa RSU Arjawinangun sudah tutup sejak 2002 setelah kebakaran dan wabah penyakit menewaskan puluhan staf medis—termasuk Suster Retno, yang terakhir terlihat membantu persalinan pasien dalam kondisi darurat, tapi ikut tewas karena infeksi parah.
“Tidak mungkin…” kata Anton, menatap bangunan kosong yang baru saja dimasuki istrinya semalam.
Namun di pintu kamar 308, petugas melihat satu hal ganjil: bekas darah segar di lantai… dan jejak kaki mungil menuju koridor belakang.
Sejak saat itu, banyak warga sekitar bersumpah melihat sosok ibu muda menggendong bayi di dekat bangunan rumah sakit itu. Kadang menangis, kadang tertawa. Suster Retno, katanya, masih setia bekerja… menolong pasien yang datang bahkan setelah kematian.