Flash
Disukai
1
Dilihat
13,186
Radio Kuna Kunawi
Drama

Kunawi memiliki sebuah radio kuna terbuat dari kayu, yang bergelombang AM, yang berisik suaranya, dan cuma mampu menangkap siaran satu stasiun radio. 

Melalui radio kuna itu Kunawi mendengarkan lagu-lagu nostalgia, keroncong, malam menjelang tidur. Kalau malam Minggu, radio antik itu menyiarkan wayang kulit dan Kunawi mendengarkannya sampai tuntas menjelang subuh. Tetapi, bila cucunya datang berlibur, Kunawi mematikan radio itu menjelang tidur.

Tiga bulan sekali Niken, cucunya, berkunjung ke kampung. Biasanya, Jumat sore Niken datang diantar ayahnya. Mengapa Jumat? Karena SD tempat Niken menimba ilmu menerapkan lima hari sekolah, sehingga Sabtu libur. Kemudian ayahnya akan menjemput Niken pada Minggu siang atau sore. Dua hari bersama cucu, sungguh menyenangkan bagi Kunawi.

“Mengapa kakek tidak mendengarkan wayang kulit, Kek?” tanya Niken ketika bersiap untuk tidur.

Kunawi yang duduk di tepi ranjang Niken, tersenyum.

“Suara radionya berisik. Nanti kamu tidak bisa tidur?” jawab Kunawi.

“Mengapa kakek tidak membeli radio yang baru, yang suaranya tidak berisik?”

“Itu radio kenangan. Kakek menabung berbulan-bulan untuk membeli radio itu. Lagi pula radio itu masih ada suaranya, kok, meski berisik,” jawab Kunawi terkekeh. Niken ikut terkekeh pula.

“Ya, sudah. Kamu tidur, sudah malam. Jangan lupa berdoa,” kata Kunawi.

“Ya, Kek.”

***

Keesokan harinya, Kunawi tampak sedang melakukan sesuatu pada radionya. Wajahnya tampak bingung dan beberapa kali tangannya memukul-mukul radio itu.

“Kenapa dengan radio kakek? Rusak?” tanya Niken.

“Tidak tahu,” jawab Kunawi tanpa menoleh. “Aneh. Kemarin masih ada stasiun radio yang bisa didengar, kenapa sekarang tidak ada sama sekali.”

Kunawi memutar tombol volume sampai maksimal, sehingga terdengar berisik yang sangat keras. “Ada suaranya, tetapi tidak ada siarannya. Padahal kakek ingin mendengar lagu-lagu nostalgia,” katanya kecewa.

“Kita bawa ke bengkel saja, Kek. Di sini ada bengkel radio, kan?” kata Niken.

“Ada, dan itu satu-satunya bengkel radio di kampung sini,” jawab Kunawi.

Pagi itu Kunawi mengajak Niken pergi ke bengkel radio di dekat pasar. Mereka berjalan kaki, melewati area persawahan yang hijau. Sepasang mata bening Niken tampak berbinar menikmati pemandangan hijau menawan itu.

Setengah jam kemudian mereka sampai di bengkel radio. Kunawi menyampaikan keluhannya pada si pemilik bengkel. Pak Budi, si pemilik bengkel, segera memeriksa radio kakek.

“Bukan radionya yang rusak, Kek. Tetapi stasiun radionya yang tutup,” kata Pak Budi.

“Tutup bagaimana? Masa jam sembilan pagi begini sudah tutup?” tanya Kunawi.

“Maksud saya, stasiun radio itu sudah tidak melakukan siaran lagi, alias bangkrut. Apa kakek tidak mendengar pengumumannya tadi malam, sebelum siaran wayang kulit, bahwa tadi malam adalah siaran terakhir stasiun radio itu?” kata Pak Budi.

“Aku tidak menyetel radio tadi malam,” jawab Kunawi terdengar sedih mendengar kabar itu. “Sayang sekali. Mengapa stasiun radio itu sampai tutup?”

“Zaman sudah berubah, Kek. Banyak stasiun radio beralih ke frekuensi FM. Kalau masih bertahan di frekuensi AM, ya ndak ada yang mau dengar, Kek. Kalau ndak ada yang mau dengar, ya bangkrut, seperti stasiun radio kesayangan kakek itu,” kata Pak Budi.

“Jadi, aku tidak bisa lagi mendengar siaran wayang kulit?” tanya Kunawi.

“Mau bagaimana lagi, Kek? Zaman memang sudah berubah,” kata Pak Budi.

Kunawi dan Niken pulang. Pagi itu Kunawi tampak sangat sedih. Ia memandang berlama-lama radio kuna kesayangannya, lalu menyimpannya di bagian bawah lemari pakaian, di dalam kamar.

***

Minggu siang, Satrio, anak Kunawi, datang dengan Avanza silver untuk menjemput pulang Niken. Kunawi melihat Satrio sedang membicarakan sesuatu bersama Niken di teras, lalu mereka berpamitan hendak pergi sebentar. 

Satu jam kemudian Kunawi mendengar Niken memanggil namanya.

“Kakek, kakek, Niken punya sesuatu untuk kakek!”

“Sesuatu apa?” tanya Kunawi keluar dari kamar.

“Ini, Kek. Bukalah,” kata Niken menyerahkan kardus seukuran kotak handphone pada Kunawi. 

“Apa ini?” tanya Kunawi.

“Itu radio, Kek,” jawab Niken.

“Radio? Kok kecil sekali bentuknya?”

“Radio zaman sekarang memang kecil, Kek. Tetapi suaranya jernih sekali,” kata Niken, lalu menunjukkan cara menggunakan radio itu. Terdengar lagu-lagu barat dari radio itu.

“Lagu apa ini? Ngak ngik ngok, ngak ngik ngok,” kata Kunawi.

Niken tertawa, lalu meraih radio itu dari tangan Kunawi. Terdengar sebuah lagu pop dari seorang penyanyi perempuan. “Aku masih seperti yang dulu ...,” begitu si penyanyi di radio bersuara.

Wajah Kakek Kunawi tampak gembira, lalu berteriak memanggil Sumarni, istrinya.

“Nek, nenek, sini! Ada lagu kesayanganmu. Tak Ingin Sendiri. Dian Piesesha!”

Sumarni muncul dari arah dapur.

“Mana? Wah, benar. Ini lagu kesukaan nenek waktu muda. Ini radio baru, ya? Wah, bagus sekali bentuknya. Suaranya juga jernih,” kata Sumarni.

Kunawi dan Sumarni gembira sekali. Mereka berebut ingin memegang radio baru itu. Niken dan Satrio tertawa melihatnya.

Minggu sore, Niken dan Satrio pamitan hendak pulang ke kota. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, Niken tersenyum bahagia. Niken bahagia karena mengetahui Kakek Kunawi telah menemukan kembali kebahagiaannya bersama radio baru.

***SELESAI***

Batang, Jawa Tengah, 2017

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)