Cerpen
Disukai
12
Dilihat
6,542
PRADUGA
Slice of Life

Kau pikir, menjalani hidup damai dengan tetangga itu semudah membalik telapak tangan. Kau pikir, dengan semua sikap santunmu, kau bisa diterima di tempat mana pun. Kau pikir juga, setiap orang yang bertemu denganmu, akan bersikap baik dan tulus. Nyatanya, apa yang kau alami sekarang, tidak seperti yang kau impikan dan harapkan. Apa yang kau dapatkan sekarang, bukanlah balasan dari semua perbuatan baikmu.

Semenjak kecil, kau sudah didoktrin oleh orang tua dan lingkungan masyarakat. Bahkan di buku-buku pelajaran sekolah pun, selalu ditanamkan sikap untuk saling menghargai sesama, saling menolong, dan membantu. Namun, apa yang kau temukan di dunia nyata, sangatlah jauh berbeda. Semua orang memahami teori dengan baik, bahkan hapal di luar kepala. Tak jarang pula mereka memaki atau mengomentari sikap orang yang tidak sesuai dengan norma-norma itu. Sayangnya, praktek yang dilakukan sendiri, nol besar.

Diskriminasi, perundungan, tatapan sinis, dan hal-hal semacam itu, seringkali kau terima tanpa alasan yang jelas. Kau tidak mengerti mengapa kau harus menerima semua perlakuan buruk itu. Kau juga tidak bisa memahami apa yang salah dari sikapmu atau dirimu, sehingga patut mendapat ketimpangan itu. Yang jelas, kau berusaha menerimanya dengan lapang dada. Kau tetap bersikap baik dan santun pada mereka. Meski mereka memperlakukanmu dengan semena-mena, kau tetap memamerkan senyum manis dan tawa yang riang, seolah hal itu tidak menjadi masalah buatmu. Kau terus melakukannya tanpa lelah. Menurut pendapatmu, bukan hakmu untuk menghakimi mereka. Kau percaya hukum sebab akibat itu pasti ada. Siapa yang menabur, akan menuai.

Kau, seorang wanita berusia 27 tahun dengan tinggi 165 cm dan berat 55 kg. Cantik, berparas blasteran Belanda-Tionghoa dan Jawa. Kulitmu memang tidak seputih gadis-gadis keturunan lainnya, yang sering kau anggap sebagai kekurangan dari dirimu. Kau merasa berbeda dari saudara-saudaramu. Namun, hal itulah yang justru menarik dari dirimu. Kau unik. Kau istimewa. Begitu kau pernah mendengar seseorang bicara tentangmu. Seseorang yang wajah dan namanya pun sudah sirna dari ingatanmu. Yang pasti, kata-katanya lah yang menjadi penyemangatmu hingga saat ini.

Kau adalah seseorang yang penuh percaya diri dan tekun. Dalam hal apa pun, semua yang kau kerjakan hampir selalu berhasil. Tak heran, kau mampu berdiri di atas kakimu sendiri di usia yang masih terbilang muda. Kau telah mendapatkan kesuksesan dan kekayaan dengan usahamu sendiri. Sudah sepatutnya kau bangga.

Satu-satunya yang menjadi masalah saat ini adalah, kau masih melajang. Kau masih belum memiliki pasangan, di saat teman-teman sebayamu, bahkan adik-adik kelas maupun saudara-saudaramu yang lain, sudah berkeluarga dan beranak lebih dari satu. Semua orang sibuk mengomentari dirimu yang masih single, mencela dirimu yang belum menikah. Kau sendiri sering meledek dengan mengatakan si calon suami belum kelihatan jelas hilalnya.

“Kamu itu wes umur berapa tho, Dev? Kayaknya kok sepantaran sama anakku dulu.” Seorang kerabat bertanya dengan penuh keheranan. Saat itu memang sedang ada acara kumpul keluarga besar dalam rangka hari raya. Hampir semua kenalan dan kerabat datang ke rumah salah satu saudaramu yang cukup berada.

Kau jelas datang sendirian. Kau yang memang anak tunggal dan sudah sebatang kara karena kedua orang tuamu sudah meninggal, jelas jadi sasaran empuk mulut-mulut penuh bisa dan racun itu. Setelah yang satu menyalakan api, yang lain ikut menyiram bensin sehingga merembet ke mana-mana.

“Kamu kok dateng sendiri, Dev? Nggak bawa suami? Eh, kamu udah nikah belum sih?” Yang lain ikut bertanya.

“Boro-boro suami. Calon pacar aja belum ada!” Celetukan lain terdengar.

“Kamu kebanyakan milih. Jangan ketinggian! Mentang-mentang udah sukses, punya banyak duit!”

“Kamu jangan kerja terus. Kapan ketemu jodohnya kalau gitu?”

“Mau cari yang kayak gimana sih? Keburu jadi perawan tua nanti!”

Untuk kesekian kalinya dalam pertemuan-pertemuan seperti ini, kau hanya mengangguk sopan dan tersenyum. Meski telingamu panas, dadamu bergejolak, dan tanganmu ingin menampar atau menyumpal lubang bibir mereka, sebisa mungkin kau menahan diri. Hanya karena hubungan kerabat dan perbedaan usia itulah, mereka masih bisa leluasa berkomentar buruk.

Namun, kau sudah memastikan dengan penuh percaya diri, bahwa kali ini adalah pertemuan terakhirmu dengan mereka. Sosok yang menghubungkanmu dengan mereka sudah tidak ada. Selama ini kau bertahan demi rasa hormat yang ternyata tidak layak mereka dapatkan. Sekarang, sudah waktunya kau menentukan dan menjalani hidupmu sendiri dengan bebas. Apa pun yang akan terjadi nanti pada mereka, kau sudah tidak ambil pusing lagi. Pepatah yang menyebutkan “darah lebih kental daripada air”, tidak berlaku buatmu.

Karena itulah, sekarang kau berdiri di sini. Di depan rumah kontrakan mungil sebuah perumahan yang asri dan tentram, kau memegang erat koper besarmu. Kau pandangi rumah berukuran 50 meter persegi dengan pagar kayu yang masih mengilap karena baru dipoles. Memang, baru dua hari lalu kau menghubungi pemiliknya dan menyetujui penawaran sewa rumah ini. Usaha yang dilakukan si pemilik terhadap kondisi rumah ini jelas terlihat saat kau datang.

Kau tersenyum lalu masuk ke bangunan bergaya minimalis modern yang sudah lengkap berisi perabot. Tidak terlalu mewah dan tidak sebesar rumah-rumah yang kau miliki di kawasan lain, tetapi sangat sesuai dengan dirimu yang menyukai hal-hal sederhana.

Ya, kau memang memiliki beberapa rumah yang kau beli dengan jerih payahmu sendiri. Semua rumah dengan luas lebih dari 100 meter persegi yang tersebar di lokasi-lokasi elite itu, kau sewakan pada orang-orang yang ingin menaikkan derajat mereka walau tak mampu. Orang-orang yang ingin tampak “wah” meski dompet menjerit dan perut melilit. Istilah populer saat ini Budjet Pas-pasan Jiwa Sosialita, telak menggambarkan kondisi itu. Kau menyadari masih banyak yang seperti mereka di sekitarmu, dan kau berhasil mengambil kesempatan dalam kesempitan.

“Aku sangat cerdas, bukan?” Begitu kau membanggakan dirimu di depan cermin setelah membersihkan diri di rumah barumu. Hasil yang kau dapat dari sana sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu yang memang tidak terlalu banyak.

Kalau sebagian besar perempuan di luar sana melakukan segala cara untuk merawat diri agar tetap awet muda dan menarik, berbeda dengan dirimu. Kau tidak perlu melakukan hal itu. Sejak dulu, kau dianugerahi kecantikan alami dan tidak neko-neko. Wajahmu yang masih terlihat lebih muda dari usiamu dan kulitmu yang lembut, membuat pengeluaran untuk skincare tidak terlalu besar. Meski begitu, ada saja yang memberimu hadiah barang-barang mewah sebagai balasan untuk pekerjaanmu yang sempurna. Skincare merek terkenal atau keanggotaan premium di salon-salon kecantikan, bahkan jalan-jalan ke luar negeri tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Hidupmu memang sungguh indah.

Pengeluaran terbesarmu hanyalah untuk makanan. Kau sangat menyukai makanan enak. Semua makanan di restoran-restoran mahal pun sudah pernah kau cicipi. Kau juga suka menjelajah berbagai tempat kuliner, bahkan yang masih baru buka dan sedikit pengunjung. Berkatmu, usaha mereka laris dan sukses. Begitulah kau mendapatkan banyak keistimewaan, diundang dalam pembukaan-pembukaraan resmi berbagai gerai makanan.

Tentu saja mendapat makanan gratis itu adalah berkat, tetapi kau lebih menikmati membelinya sendiri. Oh, bicara soal makanan, sepertinya sudah waktunya kau mengisi perutmu setelah membereskan barang-barang pindahanmu tadi.

Kau bergegas mengambil tas dan keluar dari kamar. Baru saja pintu kamarmu tertutup, terdengar ketukan dari luar. Kau bertanya-tanya siapa gerangan yang mengetuk pintu di luar. Seingatmu, kau tidak ada janji dengan siapa pun. Bahkan tidak ada yang tahu kau berada di sini.

Ketika kakimu semakin mendekati pintu, ketukan di luar semakin keras terdengar, disertai beberapa celotehan beberapa orang perempuan. Bayangan di jendela yang tertutup gorden putih berjumlah tiga.

“Nggak ada orang kayaknya. Sepi banget kayak kuburan.”

“Kamu yakin?”

“Yakin banget. Aku tadi lihat sendiri kok ada yang masuk ke sini.”

“Lagi keluar kali.”

“Apa besok aja? Mungkin dia lagi istirahat habis pindahan.”

“Eh, tapi beneran, ya, kamu nggak salah lihat? Jangan-jangan bukan orang yang masuk.”

“Hush! Ngaco! Kamu nggak percaya?”

“Ya, siapa tahu aja, ‘kan? Rumah ini ‘kan udah lama nggak ada yang ngontrak. Katanya fengshuinya jelek.”

“Hush! Udah, udah! Coba ketuk lagi.”

Kau membuka pintu tepat ketika tangan salah satu perempuan itu terangkat. Kini, kau dan tiga perempuan itu saling bertatapan. Mereka bertiga tampak terkejut karena pintu yang terbuka tiba-tiba, tetapi langsung memberikan senyum manis mereka. Serupa salam perkenalan untukmu yang merupakan penghuni baru kompleks ini.

“Selamat malam,” sapamu pada mereka. Tak lupa, kau juga memberikan senyum ramah tanda kesopanan yang masih kau pegang teguh.

Tiga perempuan yang usianya sekitar 30 sampai 40 tahun itu saling mendorong satu sama lain. Mereka seperti sedang berdebat siapa yang harus memulai pembicaraan dan menjelaskan kedatangan mereka ke mari.

Lalu, salah satu yang kau duga sebagai “kepala suku” maju dan mendekatimu dengan senyum yang amat lebar. Deretan giginya yang putih dan besar terlihat di antara sepasang bibir tebal yang merah menyala. Matanya bulat dengan bulu mata anti badai dan alis yang menukik tajam. Beberapa perhiasan emas menempel di beberapa bagian tubuhnya. Kau bisa melihat dia ingin menunjukkan posisi dirinya di tempat ini.

“Selamat malam, Mbak ….” Perempuan itu berhenti sambil menatapmu. Kau pun paham dan segera memberi jawaban.

“Devina. Saya Devina, penghuni baru kontrakan ini.”

“Oh, iya, Mbak Devina, saya Marni, ketua ibu-ibu di sini.” Dia mengulurkan tangannya. Cincin besar di jari tengahnya tampak mencolok. Juga sejumlah gelang ronce di kedua lengannya.

Kau tersenyum karena dugaanmu tentang perempuan ini benar.

“Saya Puput, wakilnya.” Perempuan berwajah mungil dan lucu di samping Bu Marni segera meraih tanganmu dan menjabatnya erat. Perempuan ini tampak polos dan lugu. Rambut panjangnya dikepang dua. Kau menduga, dia adalah yang termuda.

“Kalau saya Niya, pake ‘y’. Jangan salah, ya. N-I-Y-A.” Perempuan terakhir juga menjabat tanganmu. Dia berperawakan kurus dengan sorot mata yang tajam dan bibir tipis. “Oh, saya juga bendahara.”

Kau mengangguk-angguk dan membalas sambutan mereka. Tidak sulit bagimu untuk mengingat wajah dan nama mereka meski dalam suasana malam dengan lampu teras tiga watt.

“Pindahan dari mana, Mbak?”

“Umur berapa, ya? Kayak masih muda.”

“Kerjanya apa? Di mana?”

Tanpa basa-basi lagi, mereka berebut menanyakan jati dirimu. Hal yang wajar memang dalam sebuah lingkungan masyarakat. Namun, perhatian dan kepo itu beti, alias beda tipis. Kau berusaha memakluminya sebagai etika sopan-santun penghuni baru. Memang itu yang seharusnya kau lakukan, bukan?

“Anu, maaf sebelumnya, Ibu-ibu. Tolong maafkan ketidaksopanan saya, saya belum sempat bersilaturahmi ke tetangga sekitar. Saya baru selesai membereskan barang. Saya ingin istirahat dulu,” katamu dengan penuh penyesalan. “Besok saya akan unjung-unjung ke tetangga sambil membawa oleh-oleh kecil,”

“Tuh, ‘kan! Apa kubilang? Besok aja ke sininya!” Puput menunjuk-nunjuk hidung Niya. “Kamu nggak sabaran banget! Jadi ganggu ‘kan nggak enak.”

“Halah, kamu sendiri juga yang paling semangat buat ke sini. Dari tadi nanyain terus!” Niya tidak mau kalah.

“Ehem!” Marni berdeham keras. Wajahnya amat kesal. Sepertinya dia tidak suka dirinya diabaikan.

Puput dan Niya langsung kicep, tetapi masih saling melempar lirikan dan cibiran.

“Maaf, Mbak Devina. Mereka memang begitu. Kayak anak kecil aja tingkahnya.” Marni menunduk sedikit.

“Nggak apa-apa, Bu. Saya juga salah karena belum sempat berkunjung.”

“Oh, iya, jangan panggil ‘bu’ dong. Panggil ‘mbak’ aja gitu, biar akrab.”

Kau tersenyum mengiakan. “Iya, Mbak Marni.”

“Nah, gitu ‘kan lebih enak. Saya juga belum terlalu tua kok. Masih panteslah dipanggil ‘mbak’. Ya, ‘kan, Put? Niya?”

Puput dan Niya mengangguk bersamaan.

“Kalau gitu, kami permisi dulu, Mbak Devina. Maaf udah mengganggu waktunya.” Mirna memberi isyarat pada Puput dan Niya dengan tangannya.

“Ah, iya, Mbak. Ini mohon dibaca.” Puput menyerahkan selembar kertas selebaran.

Kau menerimanya dan membaca yang tertera di sana. Selebaran itu berisi program-program kerja yang dilakukan para wanita di kompleks ini beserta biaya iuran bulanan, di luar arisan. Alismu terangkat sebelah mencerna maksud dan tujuan dari banyaknya kegiatan itu.

“Ini ….” Kau ragu melanjutkan kalimatmu dan memandang tiga perempuan di depanmu. Mereka mengangguk kompak dengan senyum serupa.

“Ini udah disepakati bersama kok, Mbak. Pak RT juga tahu. Tenang aja, semua iuran itu masuk ke kas dan digunakan untuk kepentingan bersama.” Niya menjawab keraguanmu yang justru membuatmu semakin ragu.

“Betul, Mbak. Sesuai slogan demokrasi negara kita. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ya, rakyatnya ya warga di sini semuanya.” Marni menambahkan dengan semangat menggebu.

“Kegiatannya asyik deh pokoknya, Mbak,” timpal Puput senang.

Kau menganggukkan kepala tanda mengerti. “Oh begitu. Baiklah.”

“Oh, ya, iurannya bayar ke saya, ya, Mbak.” Niya mengulurkan tangan.

Kau kebingungan karena ditodong saat itu juga. “Hah? Apa?”

“Hush!” Marni menampik tangan Niya. “Besok aja ‘kan bisa? Nggak sabaran banget sih!”

“Udah lewat tanggal soalnya, sekalian mau direkap,” balas Niya.

“Oh, harus sekarang, ya? Kalau begitu, ini ….” Kau mengeluarkan dompet dari tas.

“Aduh, nggak, Mbak. Besok aja nggak apa-apa kok.” Marni menggoyang-goyangkan tangan menolak dua lembar uang seratus ribuan yang kau sodorkan.

“Makasih, Mbak Devina.” Niya langsung menyambar uang itu dari tanganmu dan memasukkannya ke saku. “Mbak adalah pembayar tercepat di kompleks ini. Yang lain tuh, kalau ditagih, susahnya minta ampun!”

Kau terkejut, tetapi dengan segera menampakkan senyum maklum.

“Duh, maaf lho, Mbak.” Marni tampak menyesal.

“Nggak apa-apa. Mumpung ketemu di sini, takutnya malah saya yang telat bayar,” katamu memberi alasan.

“Ya, udah kalau begitu, Mbak. Kami pamit dulu. Maaf udah menganggu.”

“Ditunggu besok lho, Mbak.”

“Makasih, Mbak.”

Mereka bertiga pun pergi, meninggalkanmu sendiri di depan pintu. Helaan napas panjang tanpa sadar lolos dari hidungmu yang mancung.

“Sepertinya aku jadi nggak selera makan lagi,” katamu lesu. Kau pun kembali masuk dan mengunci pintu.

Hari esok pun tiba. Tak disangka kau terbangun karena terkejut mendengar suara-suara di depan rumahmu. Sesuatu yang tidak pernah kau rasakan selama tinggal di apartemen. Berbagai macam celotehan wanita terdengar nyaring hingga terasa menggangu. Belum lagi suara cempreng seorang pria yang meladeninya.

“Iya, Bu Marni, cabenya seperempat cuma lima ribu aja. Murah di saya, Bu.”

“Cabe apaan segitu? Abang mau nipu, ya?”

“Ikannya berapa, Bang Jon?”

“Tiga ekor bandeng segar, tiga puluh ribu aja, Bu Puput. Udah cabut duri lho, udah mulus lus kayak jalan tol.”

“Bang, Bang, sawi seiketnya seribu, ya, Bang!”

“Mana bisa, Bu Niya cantik? Seiket seribu lima ratus. Kalau beli dua baru dua ribu.”

“Kan sama aja, Bang, beli dua, harga dua ribu. Ya satu iketnya seribu dong!”

“Aduh, Ibu Niya ini pagi-pagi bikin gemes pen nyubit aja sih. Nggak bisa begitu, Ibu sayang. Saya dapet untungnya dari mana coba?”

Kau mengintip dan mendengar keributan kecil itu dari balik gorden. Kau pegang kepalamu yang mendadak pusing dan memberi pijatan kecil. Ingin sekali kau mendamprat mereka yang merusak pagi harimu yang tenang. Namun, segera kau urungkan niat itu. Kau tidak boleh bersikap tidak sopan seperti itu. Kau pendatang baru di sini. Sudah seharusnya kau beradaptasi dengan suasana baru.

Kau pun segera merapikan pakaian dan rambutmu. Sedikit membasuh wajah dengan air akan memberikan kesan segar. Lalu dengan percaya diri kau membuka pintu dan keluar.

“Selamat pagi,” sapamu ramah. Kau memandang semua orang di sana. Marni, Puput, Niya, dua ibu lainnya, dan juga Abang sayur yang gelagatnya sedikit gemulai.

“Selamat pagi, Mbak Devina,” balas Marni. “Tidurnya nyenyak, ya, Mbak, di rumah baru?”

Kau mendekati gerobak sayur dan tersenyum. “Iya. Kayaknya saya nyaman dan bakal betah di sini.”

Puput dan Niya senyum-senyum sendiri sambil mengedipkan mata penuh arti. Dua ibu lainnya juga melakukan hal sama.

“Wah, ada penghuni baru nih!” celetuk si abang sayur. “Kenalkan saya Jojon, biasa dipanggil Bang Jon. Untuk keperluan sayur, buah, bumbu, dan lauk pauk, serahin sama saya. Saya siap menyediakan semua request Ibu Devina.”

Bang Jon memamerkan deretan giginya yang menguning. Kau hanya mengangguk-angguk saja.

“Mau belanja apa, Mbak Dev? Eh, saya panggil Mbak Dev aja nggak apa-apa, ‘kan?” Puput bertanya.

“Hmm … apa, ya?” Kau mengerutkan dahi tanda berpikir.

“Mbak biasanya masak apa? Sukanya makan apa?” Niya ikut penasaran.

Kau mengelilingi gerobak sayur dan memperhatikan bahan-bahan yang ada di dalamnya. Mungkin ada sesuatu yang bisa kau beli untuk mengisi perut di pagi hari. “Roti atau jajanan lain nggak ada, Bang?”

“Kalau roti, biasa ada tukang roti yang lewat jam setengah tujuh, Mbak. Sekarang udah jam delapan, udah pindah dia. Saya juga biasa bawa jajan dan gorengan, tapi udah habis. Sisa yang ini aja,” jawab Bang Jon.

Kau kecewa, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Sebenarnya tidak ada yang ingin kau beli dari gerobak sayur Bang Jon. Namun, demi kesopanan, kau membeli dua biji wortel dan tomat dengan alasan untuk membuat jus sehat.

“Mbak Devina bisa pesen sama Bang Jon lewat WA sehari sebelumnya. Pasti disiapin buat Mbak.” Niya memberi tahu. “Oh, ya, minta nomor WA-nya dong, buat dimasukin grup ibu-ibu.”

Mirna dan Puput turut mendekat pada Niya dengan ponsel di tangan. Setelah dua ibu lainnya pergi, Bang Jon juga mendekat.

“Saya izin save juga ya, Mbak, nomornya. Pokoknya, Mbak butuh apa, saya siapin segera,” kata Bang Jon sambil mengeluarkan benda pipih dari saku celananya.

Dengan sedikit keberatan, kau memberikan nomormu pada mereka. Dalam hati, kau berpikir, mungkin kehidupan sosial di kompleks perumahan berbeda dengan di apartemen. Kau harus terbiasa agar bisa tinggal di sini dengan nyaman.

“Baiklah, kalau begitu. Makasih semuanya.” Kau pun pamit dan masuk ke rumah.

Gerobak Bang Jon rupanya masih stand by di depan rumahmu hingga pukul sembilan. Sepertinya itu memang jam kerjanya. Namun, Marni, Puput, dan Niya juga belum beranjak dari sana. Mereka masih setia berbincang meski sayuran di kantong plastik mereka mulai layu, tetesan air di bungkusan ikan mulai habis, dan matahari sudah meninggi.

Kau bisa mendengarnya dengan jelas dari balik pintu sambil memegang wortel dan tomat. Mereka jelas tidak berniat mengurangi volume suara ketika membicarakan dirimu.

“Eh, si Devina itu kerjanya apa sih? Jam delapan baru bangun. Masih kelihatan lho ada belek di matanya,” kata Marni.

Mendengar hal itu, tanganmu refleks mengusap sudut mata dan memang ada sedikit kotoran yang tidak ikut terbasuh dengan air. Sial, rutukmu dalam hati. Urusan belek aja mereka segitu pedulinya.

“Belagu banget dia, masak pagi-pagi nyari roti buat sarapan. Kayak bule aja,” timpal Niya.

“Eh, tapi dia emang bule, ‘kan? Kayak blasteran gitu. Cantik juga orangnya.” Puput memberikan pendapat berbeda yang membuat sudut bibirmu tertarik ke samping.

“Blasteran dari hongkong! Kamu ini kalau lihat nggak pernah bener, ya!” Marni menyahut.

“Oh, ya, katanya dia mau unjung-unjung, ‘kan? Bawa oleh-oleh katanya.”

Ucapan Niya membuatmu teringat janjimu semalam. Gara-gara ini pula, kau harus bersiap pergi untuk membeli oleh-oleh itu. Itung-itung sebagai selamatan pindah rumah baru. Biasanya para tetangga akan mendoakanmu kerasan tinggal di tempat ini dan bisa hidup rukun dengan sesama. Itu yang kau butuhkan.

Belanja beberapa makanan untuk dibagi-bagi memang tidak memakan waktu lama, tetapi kau masih ada urusan lain dan menundanya hingga sore. Kau sudah siap berangkat dengan tas besar di tangan. Makanan-makanan tadi sudah kau kemas sedemikian rupa hingga tampak cantik dan menarik seperti parsel di hari raya. Kemudian ponselmu memberikan banyak notifikasi beruntun.

Rupanya Marni telah memasukkanmu dalam grup WA yang berisi ibu-ibu kompleks. Marni telah memperkenalkanmu di sana. Disusul ucapan selamat datang oleh Puput dan Niya, juga nomor-nomor lain yang tidak kau kenal.

Kau mengambil napas panjang. Satu hal yang perlu kau lakukan sekarang adalah membalas semua salam mereka dan memperkenalkan diri dengan sopan. Kau pun mengetik pesan di sana, “Terima kasih, Mbak Marni, Puput, dan Niya yang sudah mengizinkan saya gabung di grup ini. Perkenalkan, nama saya Devina.”

Pesan-pesan berikutnya berisi nama dan alamat masing-masing pemilik nomor. Kau tidak mungkin membalasnya satu per satu, jadi kau pun membalas, “Maaf, Ibu-ibu. Kalau berkenan, saya ingin mampir sebentar. Ada sedikit pemberian dari saya sebagai tanda kasih.”

Sudah bisa diduga bagaimana riuhnya respons mereka. Kau pun tersenyum dan melenggang pergi dengan tas besarmu. Kau mulai mendatangi satu per satu rumah di sekitarmu. Dimulai dari depan, samping kanan dan kiri, lalu terus hingga sampai di ujung gang, rumah Marni. Rumah Puput berseberangan dengan Niya yang berjarak tiga rumah dari Marni. Ketiga orang itu sangat girang bukan kepalang ketika menerima pemberianmu.

Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu telah kau lewati. Tidak terasa sudah satu bulan kau tinggal di lingkungan baru ini. Kau mulai merasa nyaman dan damai di sini, seperti keinginanmu sewaktu pindah dari apartemen. Kau juga mulai terbiasa dengan tingkah aneh para tetanggamu yang masih suka bergosip ria di depan rumahmu saat Bang Jon datang hingga pergi. Mereka juga selalu ramah dan menyapamu jika tidak sengaja berpapasan di jalan. Semua itu membuatmu berpikir akan menetap selamanya di sini.

Hanya saja, harapanmu mungkin tidak akan mudah terwujud. Memasuki bulan kedua, keanehan mulai terjadi. Beberapa kali kau merasakan tatapan sinis dan curiga ditujukan padamu saat keluar rumah untuk suatu urusan. Mereka memang masih menyapamu dengan ramah, tetapi mereka akan langsung berbisik-bisik dan membicarakan hal buruk tentangmu setelah kau berlalu.

Marni, Puput, dan Niya juga sama dengan orang-orang lainnya. Sikap mereka berubah drastis, tidak lagi seramah sebelumnya. Terkadang mereka terang-terangan membuang muka saat berpapasan denganmu, padahal kau menyapa dan tersenyum ramah seperti biasanya.

Kau heran. Teramat heran malah. Padahal kau selalu bersikap baik dan sopan. Kau juga sukarela mengikuti setiap kegiatan ibu-ibu. Tak jarang, kau juga mengeluarkan kocek lebih besar dari yang diminta. Seharusnya mereka berterima kasih padamu, setidaknya, sikap mereka tetap baik. Bukan seperti sekarang, yang semakin lama, semakin menjadi. Semakin kau biarkan, semakin semena-mena dan terang-terangan. Sungguh, kau sama sekali tidak mengerti jalan pikiran mereka.

Kau masih ingat di suatu pagi, kau duduk santai di teras rumah dengan pakaian tidur sambil bermain ponsel. Mereka yang sedang berbelanja di Bang Jon, seringkali tertangkap basah sedang menatapmu. Gelagat mereka menunjukkan bahwa dirimu yang mereka bicarakan. Bibir-bibir merah mereka bergerak ke berbagai sudut sesuai dengan pembicaraan dan emosi yang mengikutinya.

“Nggak belanja, Mbak?” tanya Marni dengan nada sinis.

Kau tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan kegiatanmu.

“Perempuan-perempuan zaman sekarang itu malas-malas, ya? Bangun jam delapan pagi, nggak pernah masak, nggak pernah beberes rumah. Tahunya main hape terus, santai-santai terus, nggak jelas pula kerjanya apa. Mana ada yang mau sama perawan tua macam itu? Aku aja ogah jadi mertuanya.” Ucapan Marni yang terdengar jelas sejelas-jelasnya terperangkap di gendang telingamu.

“Emang dia nggak kerja? Eh, tapi aku emang sering lihat dia di rumah sih. Pagi, siang, sore, di rumah terus. Malem baru keluar. Jangan-jangan kerjanya nggak bener lagi!”

“Waduh, gawat kalau begitu! Bisa mencoreng nama kompleks kita kalau sampai ada yang begitu.”

“Dilaporin aja, Bu Marni!”

“Aduh, aku jadi takut. Mana minggu lalu dia ke rumah nawarin bisnis ke suami.”

“Hati-hati lho, Bu. Zaman sekarang itu pelakor terang-terangan. Kita sebagai istri sah harus berani melawan!”

Kau sudah tidak bisa berkonsentrasi dengan kegiatanmu lalu berdiri. Baru saja kau berbalik hendak masuk rumah, ada celetukan lain terdengar.

“Udah panas, ya, Mbak?” Setelah itu terdengar cekikikan dari mereka.

Dari balik pintu, kau mengamati seisi rumahmu yang sudah bersih dan tertata rapi, hasil dari kerja kerasmu sejak subuh. Makanan pun sudah siap tersaji di meja makan. Ya, kau terkadang suka memasak sendiri di rumah. Kebetulan kau membeli bahan dalam perjalananmu sepulang bekerja, bukan di Bang Jon. Lalu, apa salahnya bersantai-santai setelah bekerja keras?

Tentang pekerjaan, apakah bekerja itu selalu di kantor atau di pabrik? Menggunakan seragam kantor atau pakaian formal? Bukankah lazim orang-orang bekerja dari rumah dengan pakaian yang nyaman, baik pria maupun wanita? Apalagi di zaman sekarang yang serba canggih, semua pekerjaan bisa dilakukan dengan ponsel atau laptop tanpa harus ke kantor. Lalu, apakah perempuan yang bekerja di malam hari itu bukan wanita baik-baik? Apakah wanita yang keluar malam hari selalu identik dengan wanita penjaja tubuh di luar sana? Picik sekali jika mereka menganggap demikian.

Kau mendengus kecil sambil duduk di sofa dan kembali bermain ponsel. Pesanan yang masuk cukup banyak dalam minggu ini. Hampir semua janji temu itu berlangsung sore dan malam hari. Kau mengamati pesanan-pesanan itu dan membandingkannya dengan kalender mungil di meja. Sebagian besar kalender itu telah tertandai penuh oleh spidol.

“Hmm ….” Kau bergumam sambil terus menatap kalender dengan spidol di mulut. Dalam hal ini kau memang penuh pertimbangan. Kau harus bisa membagi waktu dengan baik agar tidak bentrok dengan yang lain. Lalu, dengan senyum cerah, kau menandai kalender yang masih kosong dengan nama-nama. Senyummu semakin lebar karena jadwal bulan ini telah terisi penuh.

Baru saja kau meletakkan kalender ke tempat semula, pintu diketuk. Kau bergegas membukanya dan menyambut seseorang di luar sana yang telah memberi kabar sebelumnya.

“Oh, Bapak sudah datang?” sapamu ramah. “Sudah izin sama Mbak Marni belum? Saya kena omel melulu soalnya sama tetangga.”

Pria yang adalah suami Marni itu tertawa. Kau membawanya duduk di sofa, setelah itu kau mengeluarkan beberapa berkas dan brosur. Kau memulai pekerjaanmu dengan menjelaskan beberapa hal di dokumen tersebut. Pak Tejo yang sesekali mencuri pandang pada wajahmu dan tubuhmu, mengangguk-angguk tanda mengerti lalu mengeluarkan sejumlah uang.

Kau tersenyum menatap beberapa lembar uang berwarna merah muda itu. “Mestinya transfer aja bisa lho, Pak. Lebih gampang malah,” katamu sambil menyimpan uang itu dalam dompet khusus.

“Ah, malah gampang ketahuan, Mbak. Istri suka ngecekin saldo ATM saya soalnya. Begini aja lebih aman,” jawab Pak Tejo. “Nah, semua sudah beres, ‘kan? Saya mesti buru-buru balik.”

“Iya, Pak. Sudah. Nanti kalau hasilnya sudah keluar, saya segera kabari Bapak. Tenang aja, Pak, percaya sama saya. Dijamin berhasil deh!” Kau menepuk dadamu dengan bangga.

“Baiklah. Saya pamit dulu. Makasih banyak lho, Mbak Dev.”

Kau mengantar Pak Teja keluar dengan senyum lebar. Begitu pintu tertutup, kau tidak tahan lagi berteriak kegirangan. Kau bahkan sampai melompat-lompat menuju kamar. Di kamar itu, dua koper besar telah menanti untuk ditutup. Satu berisi pakaian, dan satu lagi berisi beberapa tas kecil. Kau memasukkan segepok uang seratus ribuan dalam salah satu tas itu, bersama beberapa sertifikat rumah dan sejumlah emas batangan 10 gram.

Hari berikutnya dan berikutnya lagi kau menepati janji temu dengan beberapa orang seperti yang telah kau tandai di kalender. Kadang-kadang di rumah, kadang-kadang di luar, entah di kafe atau restoran. Sama seperti Pak Teja, orang-orang yang kau temui adalah para suami warga di sini yang tertarik untuk berbisnis denganmu. Tentu saja tanpa sepengetahuan istri-istri mereka. Dengan begitu, kau bisa leluasa berbicara tanpa harus menghadapi tatapan sinis dan curiga mereka. Bisnismu pun berjalan lancar. Hati senang, kau pun tenang.

Di akhir hari bulan ini, kau telah menutup kedua koper yang semakin banyak dan berat isinya. Ketika hari masih gelap, kau menyeret koper itu keluar dan menutup pintu. Sejenak kau pandangi rumah yang telah kau tempati selama kurang lebih dua bulan, lalu ke sekeliling yang masih senyap dibuai malam.

Kau pun pergi meninggalkan lingkungan itu tanpa sepengetahuan warga. Sama seperti kau datang diam-diam kalau tiga perempuan itu tidak menemuimu lebih dulu.

Langkahmu pasti. Hatimu bahagia. Terlihat dari senyummu yang mengembang lebar saat membayangkan mereka menyerbu rumahmu yang kosong. Mereka pasti shock dan meraung-raung melihat kalender yang sudah kau tandai dengan nama-nama mereka. (SELESAI)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (15)